Amer Bersama Amal #1: Waktu di Belanda
Saya suka minum wine. Ini
dimulai waktu saya sekolah di Belanda
dulu.
Wine di sana enak.
“Semua hal yang dari Eropa itu enak,” kata teman saya. Itu bohong besar.
Nggak semua hal—termasuk
pemikiran—dari Eropa itu enak. Makanan, contohnya. Makanan mereka nggak ada rasanya. Buat saya, rasanya
hambar. Roti dingin, daging dingin, dan keju dingin untuk makan siang. Beda
dengan rendang atau gulai di rumah makan padang.
Tapi, saya memang selalu makan di tempat-tempat yang sebisa
mungkin tidak mengeluarkan uang, sih. Rumah dosen, tempat teman, dan masakan
saya sendiri. Jadi, argumentasi saya juga payah. Bisa jadi, masakan dosen saya
atau teman saya saja yang rasanya kurang enak. Kalau masakan saya, itu hampir
pasti. Hampir pasti tidak enak.
Mungkin memang ada makanan Eropa yang enak. Saya cuma nggak mampu beli saja. Atau, saya nggak diundang ke rumah dosen lain yang masakannya
lebih enak. Atau, saya memang nggak
punya teman lain yang masakannya enak. Mereka nggak masak, sebenernya, soalnya nggak pake ulekan dan kompor. Apapun rasanya,
kalau ada wine, indera perasanya jadi
lebih cuek.
Waktu saya sekolah di Belanda, kalau datang ke konferensi
atau acara sosial kampus, biasanya disediakan wine gratis. Jadi, saya suka wine karena kebiasaan juga. Kebiasaan
gratis.
Selain itu, wine
juga bikin kita merasa kemampuan berbahasa asing meningkat. Hanya merasa. Bukan
betul-betul.
Ada film series Big
Bang Theory. Rajesh, salah satu karakternya, harus minum alkohol supaya
bisa ngobrol sama cewek. Waktu nonton
film itu, saya ingat-ingat betul. Kalau bisa test IELTS sambil minum alkohol,
mungkin hasil saya jadi-jadian alih-alih pas-pasan.
Kalau harus presentasi di kelas, saya minum wine dulu. Harga wine di sana jauh lebih murah dibanding di Indonesia. Dengan 2
sampai 3 euro, saya sudah bisa beli wine
di supermarket. Itu setara dengan Rp30.000—Rp45.000 waktu itu. Saya nggak pernah beli yang lebih mahal.
Bukan karena nggak mampu, cuma karena
nggak punya duit.
Wine membantu saya
merasa sedikit lebih percaya diri. Kadarnya bisa tambah 3,7%. Itu lebih sedikit
dari kadar alkohol wine.
Saya merasa bisa presentasi, jelasin ini-itu pakai bahasa Inggris.
Pas sudah selesai, banyak orang tepuk
tangan. Berhasil, pikir saya. Setelahnya,
banyak orang tunjuk tangan. Antuasias,
saya kira. “Terima kasih sudah menjelaskan pendapat Nancy Fraser yang awas
tentang bahaya feminisme yang beraliansi dengan neoliberalisme. Saya juga lihat
slide presentasinya dibuat dengan
baik menandakan ini sudah disiapkan matang-matang.” Saya sumringah.
“Boleh Anda jelaskan lagi kenapa Nancy Fraser beranggapan
begitu?”
Lha, itu pertanyaan presentasi saya. Ternyata mereka nggak mengerti penjelasan saya. Betul
itu, mereka berarti benar-benar memperhatikan saya. Soalnya, saya juga kurang
mengerti Nancy Fraser ngomong apa di tulisannya. Bahasa Inggris semua
tulisannya. Atau, atau, atau, saya nggak mengerti pertanyaan mereka? Soalnya,
mereka juga bertanya dengan bahasa Inggris.
Alkohol cuma buat kita merasa lebih percaya diri, tetapi
nggak bisa bikin mendadak cerdas. Sayangnya.
Tapi, kalau kadar alkoholnya mulai berkurang, kepercayaan
dirinya merosot. Mulai menghadapi kenyataan dengan jeli. Mulai siaga. Rasa
nggak enak mulai muncul. Insecure nongol
pelan-pelan.
Kalau lagi insecure,
kita perlu teman baik yang nggak suka kasih nasihat. Saya kurang cocok dengan
orang yang menanggapi insecure saya dengan,
“Yah, lain kali lo usaha lebih baik saja”, “Lo baca Nancy Fraser dalam bahasa lo
aja”, “Lo perlu belajar bahasa Inggris lagi mungkin.”
Saya pengen ngomong depan mukanya, “Sayangnya, ini udah
usaha terbaik gua tapi tetep nggak berhasil, Nyet. Udah gitu, banyak buku bagus
nggak ada terjemahan bahasa Indonesianya, Njing. Pun ada, terjemahannya kayak kitab
suci, susah dimengerti soalnya pakai kata-kata yang hanya dia dan akademisi
lain yang paham. Belajar bahasa Inggris lagi? Gua udah ngabisin uang dan waktu
untuk belajar Bahasa Inggris. Kenapa nggak lo dan dosen-dosen lo di kampus Belanda
yang belajar bahasa Indonesia sekalian?”
Nggak, deh, terima
kasih. Dalam situasi insecure, saya
malah bisa nasihatin diri sendiri jauh lebih panjang daripada orang lain. Biarpun
begitu, rasanya juga lebih enak. Daripada dinasihatin orang lain. Kalau
dinasihatin orang lain, rasanya beneran. Beneran ndablek.
Jadi, kalau lagi insecure,
saya lebih milih ngobrol dengan teman baik saya. Wine. Masuk kamar sendirian. Berantakan. Gelas-gelas kotor semua.
Saya punya 4 gelas. Waktu itu, saya pikir perlu punya gelas banyak kalau ada
tamu main ke kamar. Tapi, keempat gelas itu saya pakai sendiri semuanya. Minum
kopi, kotor, ambil satu lagi. Minum wine, kotor, ambil satu lagi. Minum air
keran, walaupun masih bersih, saya ambil satu lagi soalnya sudah berhari-hari
nggak dicuci. Jadi, teman saya memang nggak sampai 4 jumlahnya.
Buka wine. Minum.
1. Denial. “Ah, saya sudah bagus
menjelaskannya. Teman-teman sekelas saya aja dan dosen saya aja yang ngerti. Mereka
nggak baca Nancy Fraser pakai hati kayak saya.”
2. Anger. “Mereka emang nggak pernah anggap
serius mahasiswa dari Global Selatan. Dianggapnya terbelakang. Kampus apa ini?”
3. Bargaining. “Mungkin, kalau tadi saya jelasin pakai bahasa Indonesia, hasilnya
bisa jauh lebih lancar.”
4. Depression. “Saya emang nggak pantes sekolah di sini. Pantesan saya
perlu 8 tahun untuk dapat beasiswa, sedangkan orang lain satu kali ngelamar, langsung dapat. Saya mau
berhenti sekolah aja.”
5. Acceptance. “Ya emang nggak ngerti aja. Konsep dasarnya Nancy Fraser
“liason”, tapi ngerti kata itu aja nggak.”
Saya akhirnya nyeneng-nyenengin
diri dengan bikin narasi baru bahwa ini semua merupakan kendala bahasa. Orang-orang
yang bahasa keduanya adalah bahasa Inggris jadi punya hak istimewa sendiri. Mereka
dengan mudah mengerti jurnal-jurnal ilmiah. Lancar kalau lagi diskusi dan
presentasi. Kalau mau jadi akademisi, bahasa Inggris jadi senjata utama. Bahasa
Inggris menjadi standar kelayakan. Terlalu berpusat pada Eropa! Cih.
Ada solusi lain. Saya ingat Rajesh. Katanya, alkohol bisa
bantu untuk ngomong bahasa asing
lebih lancar. Hari itu, saya kasih harapan untuk diri saya sendiri, “Sesampainya
kamu di Indonesia, kamu bisa ngomong apa saja, ngejelasin hal-hal yang paham,
tanpa ada kendala bahasa, tanpa ada kontrol bahasa Inggris.”
Ketika balik ke
Indonesia, ternyata saya juga nggak
bisa ngomong banyak. Saya mungkin
memang nggak punya pemikiran untuk disampaikan dan nggak ngerti apa-apa. Sama sekali
bukan karena bahasa.
Waktu balik ke Indonesia, tingkat kesukaan saya terhadap wine berkurang. Bukan karena rasanya
beda dengan di Belanda, tapi karena harganya.
Waktu partner saya ulang tahun, saya semangat ingin minum wine. “Sayang, kita rayakan dengan wine!” Kami pergi ke salah satu tempat
jual wine. Paling murah Rp300.000-an.
Shit. That’s a lot of money for a wine.
“Ini aja, Sayang,” mengambil wine
paling murah, “ini enak; dari Spanyol.” Dia percaya saja karena saya suka
cerita dulunya saya peminum wine di
Belanda. Mungkin dia pikir pilihan ini berdasarkan pengalaman dan pengetahuan
saya. Padahal, itu karena paling murah.
Sampai di kasir, “Ayo, Sayang, kita patungan.” Pilih wine paling murah bukan berarti saya
sanggup untuk membeli sendiri. Lebih jauh, sekolah jauh-jauh di Belanda bukan
berarti punya gaji yang bisa gantiin air putih sama wine. Negara nggak menjamin air putih dan wine yang kita minum. Malah kasih pajak tinggi.
Pelan-pelan, dia yang ulang tahun ikut patungan. Padahal,
sebelumnya, saya kasih narasi, “Waktu di Belanda, orang yang ulang tahun selalu
ditraktir oleh teman-temannya.” Dia kira saya masih menjalani kebiasaan Belanda
tersebut. Tidak, Sayang, kita tinggal di Indonesia. Penjajahan macam apa yang kita
masih saja gunakan peninggalan budayanya?
Hmm, penjajahan di Indonesia, sih. Kitab Umum Hukum Pidana
kita masih pakai bikinan mereka. Masih melarang aborsi, padahal Belanda-nya
sendiri sudah nggak melarang aborsi karena itu jadi hak perempuan. Kita masih menyebut
“meses” yang diambil dari bahasa Belanda “nona kecil”. Kita masih pelit. Saya
baru sadar kenapa kalau di film-film, orang-orang ngomong, “Let’s go Dutch.” Waktu di Belanda, setiap makan semua
orang bayar sendiri-sendiri sampai jumlah sen. Kalau ada utang, besok ada email
masuk nagih setengah sen.”Sebagian dari kita masih demikian.
“Waktu di Belanda…” Coba perhatikan teman kalian yang pernah
sekolah atau pernah tinggal atau sekadar jalan-jalan ke luar negeri. Biasanya,
mereka jadi ahli negara itu dan selalu menyelipkan cerita, “Waktu saya di sana
dulu…” I hate that! But, I did that.
No, sorry, I mean, I am
still doing that. How can I not? That’s the only thing that my mother proud of.
So, I keep saying that just to reconfirm myself that she at least was proud of
me once.
Indonesia juga punya wine.
Amer alias anggur merah cap orang tua. Kalau lagi minum sambil ngeliat botol,
rasanya seperti mabuk ditungguin orang tua. Disuruh pulang.
Jadi, kalau lagi minum Amer, saya biasanya tuang ke wadah
lain. Biar lupa pulang. Ngobrol ngalur-ngidul. Walaupun sendirian.
-->
Komentar
Posting Komentar