Si Berani
Berapa banyak orang yang berani? Ada sebagian yang terlalu berani hingga tak kenal takut sama sekali. Mereka melanglang buana tanpa tahu mencari apa. Sebagian lainnya terlalu duduk sepi dalam ketakutan yang mendekap, walaupun mereka tahu apa yang mereka butuhkan. Kemudian, bertanyalah mereka, apa arti berani sesungguhnya.
Mereka duduk di puluhan meja ditemani bercangkir teh panas tanpa gula. Bahkan, mereka tak punya keberanian untuk mencicipi manis yang katanya bisa membuat orang merasa senang. Senang menjadi pemicu kesedihan bagi mereka. Sedih dan sakit pun tak membawa harapan. Harapan menjadi seperti benda di museum yang enggan untuk disentuh. Kotoran sedikit apa pun dapat menghilangkan keasliannya.
Padahal, pembicara dan atau penulis posmodernisme menganggap bahwa tidak ada lagi yang orisinil. Garis ekstrimnya, keaslian tidak diperlukan lagi karena akan terus berubah, mengalami proses yang tidak pernah berhenti, jauh dari kata stabil—yang sering dijadikan tujuan banyak orang. Begitu pula dengan mereka, mereka terus berproses. Sayang saja, berani tidak hadir pada malam-malam pencarian walaupun masih banyak malam-malam lainnya.
Pagi ini, rumah mereka diketuk oleh seorang perempuan indah yang mengaku bernama Pandora. Dibawanya satu kotak hitam dan ditinggalkan begitu saja. “Apa isinya?” tanya mereka. “Harapan,” jawab Pandora. Mereka terkejut. Kotak itu sama sekali tidak disentuh. Hanya dijadikan bahan tontonan tanpa kedip. Harapan dan takut--yang mereka simpan--merupakan musuh bebuyutan yang sulit sekali menjadi akur.
Suatu saat nanti, datanglah dengan sederhana seorang yang biasa saja di antara mereka. Duduk bersebelahan sambil memandangi kotak itu. Kemudian, semua itu akan diawali dengan kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari ketakutan itu. Tak bisa bergerak bebas untuk menikmati segala yang ada.
Saling bertanyalah mereka tentang satu-satunya hal yang tidak mereka takuti. “Aku tidak takut mengaku, itu saja,” jawab salah satunya. Mulailah mereka mengaku bahwa mereka takut. Takut bicara. Takut mendengar. Takut membaca. Takut merasa. Takut bertanya. Takut menjawab. Takut tertawa. Takut bosan. Takut sedih. Takut datar. Takut paham. Takut tahu. Tahut sadar. Takut kenal. Takut lupa. Takut datang. Takut tetap. Takut berubah. Takut pergi. Takut membagi eksistensi. Takut menjadi takut. Takut menjadi berani. Takut menghadapi kenyataan bahwa satu-satunya jalan keluar dari rasa takut itu adalah berani.
Berpandanganlah mereka. Cukup lama. Pandangan siapa-yang-mau-belajar-berani-bersama. Hingga akhirnya saling beri senyum. Senyum saja. Sepakat sudah. Mereka semua sepakat. Sepakat untuk belajar dan menyulam bolong di sana-sini. Bukan dengan berani, justru dengan takut yang begitu besar. Namun, mereka menjadi kuat dengan takut.
Ketika waktu sudah mati, mereka sudah berjalan jauh dari sana. Menjadi dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, sekelompok, sekerumunan yang berani.
Pandora pun tersenyum saja.
Mereka duduk di puluhan meja ditemani bercangkir teh panas tanpa gula. Bahkan, mereka tak punya keberanian untuk mencicipi manis yang katanya bisa membuat orang merasa senang. Senang menjadi pemicu kesedihan bagi mereka. Sedih dan sakit pun tak membawa harapan. Harapan menjadi seperti benda di museum yang enggan untuk disentuh. Kotoran sedikit apa pun dapat menghilangkan keasliannya.
Padahal, pembicara dan atau penulis posmodernisme menganggap bahwa tidak ada lagi yang orisinil. Garis ekstrimnya, keaslian tidak diperlukan lagi karena akan terus berubah, mengalami proses yang tidak pernah berhenti, jauh dari kata stabil—yang sering dijadikan tujuan banyak orang. Begitu pula dengan mereka, mereka terus berproses. Sayang saja, berani tidak hadir pada malam-malam pencarian walaupun masih banyak malam-malam lainnya.
Pagi ini, rumah mereka diketuk oleh seorang perempuan indah yang mengaku bernama Pandora. Dibawanya satu kotak hitam dan ditinggalkan begitu saja. “Apa isinya?” tanya mereka. “Harapan,” jawab Pandora. Mereka terkejut. Kotak itu sama sekali tidak disentuh. Hanya dijadikan bahan tontonan tanpa kedip. Harapan dan takut--yang mereka simpan--merupakan musuh bebuyutan yang sulit sekali menjadi akur.
Suatu saat nanti, datanglah dengan sederhana seorang yang biasa saja di antara mereka. Duduk bersebelahan sambil memandangi kotak itu. Kemudian, semua itu akan diawali dengan kesadaran bahwa mereka adalah bagian dari ketakutan itu. Tak bisa bergerak bebas untuk menikmati segala yang ada.
Saling bertanyalah mereka tentang satu-satunya hal yang tidak mereka takuti. “Aku tidak takut mengaku, itu saja,” jawab salah satunya. Mulailah mereka mengaku bahwa mereka takut. Takut bicara. Takut mendengar. Takut membaca. Takut merasa. Takut bertanya. Takut menjawab. Takut tertawa. Takut bosan. Takut sedih. Takut datar. Takut paham. Takut tahu. Tahut sadar. Takut kenal. Takut lupa. Takut datang. Takut tetap. Takut berubah. Takut pergi. Takut membagi eksistensi. Takut menjadi takut. Takut menjadi berani. Takut menghadapi kenyataan bahwa satu-satunya jalan keluar dari rasa takut itu adalah berani.
Berpandanganlah mereka. Cukup lama. Pandangan siapa-yang-mau-belajar-berani-bersama. Hingga akhirnya saling beri senyum. Senyum saja. Sepakat sudah. Mereka semua sepakat. Sepakat untuk belajar dan menyulam bolong di sana-sini. Bukan dengan berani, justru dengan takut yang begitu besar. Namun, mereka menjadi kuat dengan takut.
Ketika waktu sudah mati, mereka sudah berjalan jauh dari sana. Menjadi dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, sekelompok, sekerumunan yang berani.
Pandora pun tersenyum saja.
Komentar
Posting Komentar