tepatnya teh panas

Dapat dikatakan mereka sudah berteman cukup lama. Menghabiskan berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus malam bersama. Duduk saja sambil berbicara tentang pikiran-pikiran orang yang sudah tiada. Teori-teori para intelektual diperdebatkan dan disesuaikan dengan keadaan masa kini.

Dering telepon tengah malam untuk bertemu dan membicarakan hal yang terlalu dianggap penting, padahal terlalu wajar, merupakan kewajaran. Bunyi pesan di pagi hari untuk menyantap sarapan di berbagai tempat baru dan beriukar berita di koran adalah kewajaran lainnya. Sesekali mereka juga bertemu dengan teman lainnya dan berbagi tawa. Tak ada teori dan tak ada rasa. Hanya pengalaman keseharian yang terlalu biasa dan pantas untuk ditertawakan.

Hingga akhirnya suatu sore, laki-laki itu datang dengan secangkir teh panas yang sudah diseduh. Mengaduk gula yang sudah ditaruhnya dengan ukuran yang sudah pas sesuai selera si perempuan. Memang, beberapa kali sebelumnya, banyak gula itu seringkali salah. Berkelebihan atau berkekurangan dengan selera perempuan itu. Walaupun pada awalnya perempuan itu tetap menikmatinya, toh pada akhirnya ia memberitahukan kadar yang pas. Hingga sore itu, teh itu begitu pas. Pas kadar gulanya dan pas dengan cuaca yang sedang gerimis di belakang rumahnya. Jangan salah pikir, si perempuan pun sudah melakukan kesalahan berkali-kali dengan kadar gula yang pas dengan selera teh atau kopi si laki-laki.

Kembali lagi, hingga sore itu, mereka duduk dengan secangkir teh panas di tangan masing-masing. Kali ini, laki-laki yang membuatnya. Tiba-tiba saja, begitu tiba-tiba, si perempuan sadar semuanya begitu pas. Diam yang mereka lakukan begitu tepat, teh yang dibuatkan begitu tepat, gerimis itu begitu tepat—tak terlalu deras dan tak terlalu sedikit air yang jatuh, topik yang begitu sedikit pun terasa begitu tepat, dan yang paling penting adalah kesadaran yang entah tepat atau tidak. Si perempuan memulai kesadarannya bahwa kehadiran laki-laki itu terasa tepat. Dan, tidak hanya pada sore itu, tapi ia baru menyadari kehadiran laki-laki itu tepat bahkan pada hari-hari sebelumnya. Pun pertama kali bertemu.

Diam selanjutnya begitu berbeda. Diam itu diisi perempuan untuk mengingat kata-kata teman-temannya. Mereka bilang, perempuan dan laki-laki itu begitu besar jika bersama, begitu terlihat penuh. Namun, perempuan dan laki-laki itu selalu mengelaknya. Membuktikan dengan saling bercerita kisah cinta masing-masing dengan seorang atau beberapa orang yang lain.

Setelahnya, mereka bertatapan dan menyunggingkan senyum yang jauh berbeda dengan senyum-senyum sebelumnya. Mereka sadar. Mereka sadar bahwa proses itu akan memulai proses yang baru. Tapi, tak ada kata yang mewakili. Hanya senyum, rasa, dan tawaran secangkir teh lainnya.

sekitarnovember2008

Komentar

  1. *menawarkan senyum, rasa, dan secangkir teh hangat lainnya
    tidak selamanya membutuhkan kata-kata :)

    BalasHapus

Posting Komentar