Tsunami
Entahlah, aku, ayah , dan ibu berada di
lautan lepas. Luas sekali. Bibir pantai hampir tidak terlihat dari tempat kami.
Ayah dirawat di tengah laut itu. Terlihat dari infusnya yang aku pegang dengan
tangan kanan yang kujulang ke atas menjauhi perairan. Tidak ada sesiapa selain
kami bertiga.
Aku melepas pandangan selebar-lebarnya dan
sejauh-jauhnya. Air laut begitu tenang, tanpa riak sama sekali. Aku panggil
ayah dan ibu untuk mengajak mereka menebar pandangan yang sama.
Pada saat aku menunjuk lautan lepas itulah,
aku melihat laut di ujung pandangan lautan lepas sedang mempersiapkan
gelombangnya yang serba dashyat. Seketika kumelihat sekeliling dan air di
sekitarku menurun. Menyisakan pandangan akan bintang laut yang mulai terlihat
di dasar.
Aku teriak. Meminta kami bertiga seketika
menepi ke bibir yang tidak dekat pula. Muka ayah tidak sehat. Aku bertanya
kepada apa ia sanggup dan mau untuk berjalan menepi atau mungkin dengan langkah
yang lebih cepat. Jikapun tidak, aku akan meminta ibu berjalan mendahului kami.
Aku akan menemaninya berjalan pelan tanpa memedulikan gulungan yang seakan
mengejar kami.
Ayah menyanggupinya. Dengan segala usaha
terbaiknya dalam kondisi sakit, ia mengikuti langkahku yang kian mencepat.
Sebentar-sebentar, aku melihat ke belakang, memastikan kami tidak segera
disergap gulungan ombak yang kian meninggi dan kian mencepat.
Kami sudah tiba di daratan. Ibu berbelok
arah entah ke mana. Hanya ada aku dan ayah. Aku bawa ayah ke belakang bukit.
Dalam perjalanan, kuambil secara sembarang satu buah bangku. Untuk ayah duduk
nanti, pikirku. Napas ayah sudah tersengal-sengal. Aku berhenti. Meminta ayah
untuk duduk dan memberikan waktu kepada ayah untuk duduk sejenak. Aku pikir,
aman kami di sini.
Aku pandangi lagi gulungan ombak itu. Kian meninggi.
Rasanya, tempat kami pun pasti tersergap oleh gulungan ombak itu. Aku bertanya
pelan-pelan kepada ayah, apa ia siap untuk mendaki bukit dalam keadaan itu.
“Airnya mungkin sampai sini, Ayah. Kita sebaiknya naik ke atas bukit. Apa Ayah
mau? Atau, Ayah mau ktia di sini saja?”
Ayah tidak bicara sama sekali sedari awal.
Ia hanya menganggukkan kepalanya. Kami pun naik ke atas bukit. Kubawa lagi
bangku yang semapt didudukinya lagi. Dari atas bukit, kami bersama-sama melihat
gulungan ombak mencapai bibir pantai. Tsunami.
Ibu ke mana?
*Setelah itu, aku terbangun dari mimpiku. Aku
memastikan ayah dan ibuku yang sedang berada dalam satu ruangan denganku. Ibuku
berbaring di sebelahku. Ayahku di kasur rumah sakit dengan infus di tangannya.
Ini semua pasti terlewati.
Komentar
Posting Komentar