Beperjalanan
Sore itu, Ia hanya
duduk manis di depan meja makan. Kepalanya sedikit menunduk dan tangannya
bergerak menulis. Rangkaian kata terlihat tersusun rapi berderet ke bawah. Aku
mengamatinya. Kagum. Aku selalu kagum dengan mimik setiap orang yang sedang
serius mengerjakan sesuatu. Energinya terlihat lebih besar.
Setelah mengamatinya dari samping, aku mendekatinya. Duduk diam di sampingnya sambil menyeruput teh panas. Aku sangat berharap Ia tidak keberatan dengan kehadiran orang lain di sebelahnya. Nyatanya, Ia memang tidak terganggu. Terus saja kepalanya sedikit menunduk dan tangannya bergerak menulis. Tak diindahkan kehadiranku, meskipun Ia tahu betul aku ada di sampingnya.
Tak berapa lama, Ia menarik punggungnya ke belakang. Untuk sementara waktu, matanya tidak berpindah dari kertas yang ada di atas meja dan penuh dengan tulisan tangannya. Kemudian, Ia melihatku. Tersenyum. Aku menahan tanyaku. Setiap orang patut berkegiatan tanpa harus ditanya macam-macam. Ia membakar sebatang rokok yang sudah tergeletak di meja sejak tadi.
"Daftarku makin panjang," katanya berbangga hati.
Aku sambut celotehnya sambil tersenyum kagum. Aku memang kagum sedari tadi atas keseriusannya.
"Siap berangkat setelah semua lengkap," katanya mengisi kekosongan responsku.
Temanku yang satu ini memang pengelana. Hampir tak pernah berhenti beperjalanan. Tujuannya selalu jelas dan tak pernah pergi seorang diri.
"Sudah punya tujuan?" tanyaku menghindari pertanyaan yang terlalu mendalam.
"Menurutmu, cari teman perjalanan dulu kemudian cari tujuan atau kutentukan tujuan kemudian cari teman seperjalan yang mau ke tempat yang sama?"
"Mau cari teman perjalanan yang lain lagi?"
"Teman perjalananku yang terakhir kurang sesuai untuk diajak ke mana saja, " jawabnya melebihi pertanyaanku.
"Mungkin, dia sudah punya tujuan yang pasti."
Temanku tertegun. Kali ini, dialah yang tidak merespons tanggapanku.
"Jadi, menurutmu, aku harus tentukan tujuan terlebih dulu?" Ia berusaha kembali pada pertanyaan awal.
"Apa yang harus dalam hidup ini?" jawabku asal.
Dia memandangi daftarnya kembali. Tak lama, Ia menatapku. Wajahnya menunjukkan keseriusan.
"Daftar ini pun tak harus kupenuhi?"
"Itu daftarmu yang kamu buat dan kamu ciptakan keharusan di dalamnya. Mungkin, orang lain punya daftar yang berbeda. Atau, bahkan, orang lain tak punya daftar sama sekali," aku segera tahu ini akan menjadi perbincangan yang panjang.
"Seperti kamu? Kamu adalah orang yang tak mempunyai daftar apa pun karena kamu tak hendak pergi ke mana-mana. Lihatlah ke luar, lebih banyak yang bisa kamu dapat." Ah, jawabannya menyerangku.
"Iya, kamu betul. Aku hanya ingin menjejaki setiap jengkal di tempat ini. Masih begitu banyak yang belum aku kenal, masih begitu banyak yang belum aku nikmati."
"Kalau begitu, kamu tidak akan ke mana-mana," jawabnya sambil berjalan mengambil poci yang berisi sisa tehku. Setelah menaruh poci di samping daftarnya, Ia menuju lemari tempat kami menyimpan cangkir-cangkir kecil. Kakinya sedikit menjijit untuk mengambil cangkir favoritnya yang selalu aku taruh di rak bagian atas. Aku memang melakukannya untuk menyusahkannya dan Ia akan mengomel kecil kepadaku.
"Belum lelah untuk menaruh si cangkir merah di rak atas? Kasihanlah sedikit kepadaku yang pertumbuhannya belum selesai sehingga masih pendek." Benar, kan? Ia begitu lucu untuk menertawakan dirinya sendiri.
Ia duduk kembali di meja itu. Dituangkan sisa tehku ke dalam cangkir merah favoritnya.
"Apa yang membuatmu harus beperjalanan dengan orang lain? Tidakkah kau mau mencoba untuk beperjalanan seorang diri?" tanyaku karena benar-benar ingin tahu.
"Selama beperjalanan, begitu banyak barang yang harus dipersiapkan dan dibawa. Eh, maksudnya, begitu banyak barang yang sebaiknya dibawa. Aku hampir lupa, kamu tidak percaya dengan harus," ia menaikkan kaki dan melipatnya di atas kursi tempat Ia duduk.
"Hahaha. Kenapa sebaiknya dibawa?" tanyaku sama sekali tidak ada gambaran karena Ia adalah ahli beperjalanan.
Setelah mendapat posisi yang enak, ia melanjutkannya.
"Untuk bertahan. Sesederhana itu. Dengan segala barang itu, orang-orang sudah siap tetap berjalan dalam cuaca apa pun, keadaan alam apa pun."
"Bukankah alam dan cuaca tidak semudah itu untuk ditebak?"
"Setidaknya, sebagian keadaan sudah diantisipasi. Misalnya, kalau hujan, aku sudah siap payung maupun jas hujan," jelasnya sambil menunjukkan tulisan payung dan jas hujan dalam daftar yang Ia buat.
"Jadi, aku membutuhkan teman seperjalanan untuk membantu membawa barang-barang itu. Kalau tidak, bebanku terlalu berat," Ia menjawab pertanyaan semula.
"Kalau badai?" aku memajukan badanku.
"Mungkin, aku harus menambah daftarku untuk antisipasi badai. Atau, aku hanya perlu teman untuk melalui badai," tutur temanku itu sambil menyeruut kembali tehnya yang masih panas.
"-Memang pasti ada barang-barang yang dibawa, tetapi apa harus sebanyak itu? Bukankah itu serunya beperjalanan? Merasakan keadaan alam dan cuaca yang berubah-ubah dan bertahan sebisa mungkin dengan barang-barang yang ada saja. Bagaimana bisa menikmati perjalanan kalau punggung kita sibuk memikul barang-barang? Tapi, apalah aku ini, sama sekali bukan pengelana. Asal saja aku ini," jawabku.
"Orang-orang sibuk bercerita tentang berbagai kemungkinan yang terjadi saat kita sedang beperjalanan. Sebisa mungkin pula, kita menghindari itu," sanggahnya.
"Apa dengan demikian semua akan baik–baik saja?" tanyaku penasaran.
"Selalu ada kondisi lain memang," jawabnya sambil matanya terlihat mengenang kejadian-kejadian yang telah ia lalui.
"Itu, ya, beperjalanan dengan orang lain cenderung teras lebih baik daripada sendirian?" aku mulai paham.
"Iya, serunya menuju satu tempat yang sama sejak awal," Ia semangat menambahi pemahamanku.
Kali ini, aku ikut membakar rokok miliknya yang ada di atas meja. Kutarik dalam-dalam sambil mencoba memahami kalimatnya.
"Bahkan, orang yang berada dalam satu kapal pun, kadang punya tujuan yang berbeda. Tujuan satu orang memang pelabuhan selanjutnya. Namun, bagi orang lainnya lagi, bisa jadi pelabuhan itu hanya tempat singgah untuk menuju pelabuhan lainnya lagi."
Temanku terdiam. Tiba-tiba, matanya berbinar.
"Bahkan, orang lainnya lagi pergi sendirian karena ada yang menunggunya di pelabuhan nanti. Orang yang menangnya sudah selesai beperjalanan," lanjutnya.
"Atau, sesederhana teman seperjalanan ditemukannya justru di kapal itu. Kemudian, mereka menentukan tujuannya. Mereka bertahan dengan segala kondisi alam dan cuaca bukan karena barang bawaan mereka saja, tetapi dengan apa pun yang mereka temukan selama perjalanan," jawabku jadi ikut menggebu-gebu.
"Atau, ada pula orang yang sudah memilih teman seperjalanan dan menunggu untuk mengarungi apa pun sampai tak beranjak ke mana-mana," ia tidak menatapku sama sekali. Ia berjalan sambil membuang daftar yang Ia buat dengan serius. Aku ditinggalnya sendirian di meja itu. Aku matikan puntung rokok.
Temanku itu selalu yakin, Ia tidak pernah ketinggalan kapal karena kalau satu kapal jalan, satu kapal lainnya akan merapat di pelabuhan.
Setelah mengamatinya dari samping, aku mendekatinya. Duduk diam di sampingnya sambil menyeruput teh panas. Aku sangat berharap Ia tidak keberatan dengan kehadiran orang lain di sebelahnya. Nyatanya, Ia memang tidak terganggu. Terus saja kepalanya sedikit menunduk dan tangannya bergerak menulis. Tak diindahkan kehadiranku, meskipun Ia tahu betul aku ada di sampingnya.
Tak berapa lama, Ia menarik punggungnya ke belakang. Untuk sementara waktu, matanya tidak berpindah dari kertas yang ada di atas meja dan penuh dengan tulisan tangannya. Kemudian, Ia melihatku. Tersenyum. Aku menahan tanyaku. Setiap orang patut berkegiatan tanpa harus ditanya macam-macam. Ia membakar sebatang rokok yang sudah tergeletak di meja sejak tadi.
"Daftarku makin panjang," katanya berbangga hati.
Aku sambut celotehnya sambil tersenyum kagum. Aku memang kagum sedari tadi atas keseriusannya.
"Siap berangkat setelah semua lengkap," katanya mengisi kekosongan responsku.
Temanku yang satu ini memang pengelana. Hampir tak pernah berhenti beperjalanan. Tujuannya selalu jelas dan tak pernah pergi seorang diri.
"Sudah punya tujuan?" tanyaku menghindari pertanyaan yang terlalu mendalam.
"Menurutmu, cari teman perjalanan dulu kemudian cari tujuan atau kutentukan tujuan kemudian cari teman seperjalan yang mau ke tempat yang sama?"
"Mau cari teman perjalanan yang lain lagi?"
"Teman perjalananku yang terakhir kurang sesuai untuk diajak ke mana saja, " jawabnya melebihi pertanyaanku.
"Mungkin, dia sudah punya tujuan yang pasti."
Temanku tertegun. Kali ini, dialah yang tidak merespons tanggapanku.
"Jadi, menurutmu, aku harus tentukan tujuan terlebih dulu?" Ia berusaha kembali pada pertanyaan awal.
"Apa yang harus dalam hidup ini?" jawabku asal.
Dia memandangi daftarnya kembali. Tak lama, Ia menatapku. Wajahnya menunjukkan keseriusan.
"Daftar ini pun tak harus kupenuhi?"
"Itu daftarmu yang kamu buat dan kamu ciptakan keharusan di dalamnya. Mungkin, orang lain punya daftar yang berbeda. Atau, bahkan, orang lain tak punya daftar sama sekali," aku segera tahu ini akan menjadi perbincangan yang panjang.
"Seperti kamu? Kamu adalah orang yang tak mempunyai daftar apa pun karena kamu tak hendak pergi ke mana-mana. Lihatlah ke luar, lebih banyak yang bisa kamu dapat." Ah, jawabannya menyerangku.
"Iya, kamu betul. Aku hanya ingin menjejaki setiap jengkal di tempat ini. Masih begitu banyak yang belum aku kenal, masih begitu banyak yang belum aku nikmati."
"Kalau begitu, kamu tidak akan ke mana-mana," jawabnya sambil berjalan mengambil poci yang berisi sisa tehku. Setelah menaruh poci di samping daftarnya, Ia menuju lemari tempat kami menyimpan cangkir-cangkir kecil. Kakinya sedikit menjijit untuk mengambil cangkir favoritnya yang selalu aku taruh di rak bagian atas. Aku memang melakukannya untuk menyusahkannya dan Ia akan mengomel kecil kepadaku.
"Belum lelah untuk menaruh si cangkir merah di rak atas? Kasihanlah sedikit kepadaku yang pertumbuhannya belum selesai sehingga masih pendek." Benar, kan? Ia begitu lucu untuk menertawakan dirinya sendiri.
Ia duduk kembali di meja itu. Dituangkan sisa tehku ke dalam cangkir merah favoritnya.
"Apa yang membuatmu harus beperjalanan dengan orang lain? Tidakkah kau mau mencoba untuk beperjalanan seorang diri?" tanyaku karena benar-benar ingin tahu.
"Selama beperjalanan, begitu banyak barang yang harus dipersiapkan dan dibawa. Eh, maksudnya, begitu banyak barang yang sebaiknya dibawa. Aku hampir lupa, kamu tidak percaya dengan harus," ia menaikkan kaki dan melipatnya di atas kursi tempat Ia duduk.
"Hahaha. Kenapa sebaiknya dibawa?" tanyaku sama sekali tidak ada gambaran karena Ia adalah ahli beperjalanan.
Setelah mendapat posisi yang enak, ia melanjutkannya.
"Untuk bertahan. Sesederhana itu. Dengan segala barang itu, orang-orang sudah siap tetap berjalan dalam cuaca apa pun, keadaan alam apa pun."
"Bukankah alam dan cuaca tidak semudah itu untuk ditebak?"
"Setidaknya, sebagian keadaan sudah diantisipasi. Misalnya, kalau hujan, aku sudah siap payung maupun jas hujan," jelasnya sambil menunjukkan tulisan payung dan jas hujan dalam daftar yang Ia buat.
"Jadi, aku membutuhkan teman seperjalanan untuk membantu membawa barang-barang itu. Kalau tidak, bebanku terlalu berat," Ia menjawab pertanyaan semula.
"Kalau badai?" aku memajukan badanku.
"Mungkin, aku harus menambah daftarku untuk antisipasi badai. Atau, aku hanya perlu teman untuk melalui badai," tutur temanku itu sambil menyeruut kembali tehnya yang masih panas.
"-Memang pasti ada barang-barang yang dibawa, tetapi apa harus sebanyak itu? Bukankah itu serunya beperjalanan? Merasakan keadaan alam dan cuaca yang berubah-ubah dan bertahan sebisa mungkin dengan barang-barang yang ada saja. Bagaimana bisa menikmati perjalanan kalau punggung kita sibuk memikul barang-barang? Tapi, apalah aku ini, sama sekali bukan pengelana. Asal saja aku ini," jawabku.
"Orang-orang sibuk bercerita tentang berbagai kemungkinan yang terjadi saat kita sedang beperjalanan. Sebisa mungkin pula, kita menghindari itu," sanggahnya.
"Apa dengan demikian semua akan baik–baik saja?" tanyaku penasaran.
"Selalu ada kondisi lain memang," jawabnya sambil matanya terlihat mengenang kejadian-kejadian yang telah ia lalui.
"Itu, ya, beperjalanan dengan orang lain cenderung teras lebih baik daripada sendirian?" aku mulai paham.
"Iya, serunya menuju satu tempat yang sama sejak awal," Ia semangat menambahi pemahamanku.
Kali ini, aku ikut membakar rokok miliknya yang ada di atas meja. Kutarik dalam-dalam sambil mencoba memahami kalimatnya.
"Bahkan, orang yang berada dalam satu kapal pun, kadang punya tujuan yang berbeda. Tujuan satu orang memang pelabuhan selanjutnya. Namun, bagi orang lainnya lagi, bisa jadi pelabuhan itu hanya tempat singgah untuk menuju pelabuhan lainnya lagi."
Temanku terdiam. Tiba-tiba, matanya berbinar.
"Bahkan, orang lainnya lagi pergi sendirian karena ada yang menunggunya di pelabuhan nanti. Orang yang menangnya sudah selesai beperjalanan," lanjutnya.
"Atau, sesederhana teman seperjalanan ditemukannya justru di kapal itu. Kemudian, mereka menentukan tujuannya. Mereka bertahan dengan segala kondisi alam dan cuaca bukan karena barang bawaan mereka saja, tetapi dengan apa pun yang mereka temukan selama perjalanan," jawabku jadi ikut menggebu-gebu.
"Atau, ada pula orang yang sudah memilih teman seperjalanan dan menunggu untuk mengarungi apa pun sampai tak beranjak ke mana-mana," ia tidak menatapku sama sekali. Ia berjalan sambil membuang daftar yang Ia buat dengan serius. Aku ditinggalnya sendirian di meja itu. Aku matikan puntung rokok.
Temanku itu selalu yakin, Ia tidak pernah ketinggalan kapal karena kalau satu kapal jalan, satu kapal lainnya akan merapat di pelabuhan.
Komentar
Posting Komentar