Renyah


Tawa renyahnya justru yang menjawab dering telepon kesekian. Saya dengar sepenuh hati dan malah membalas tawanya. 

Kemacetan di kota besar sering kali membuka kesempatan untuk bertegur sapa dengan orang-orang lain maupun diri sendiri. Pagi itu memilih kami untuk saling berhubungan. Saya mendahului geriknya untuk menelepon duluan. 

"Mungkin, kamu kira kita tidak sedekat itu, padahal kita dekat sekali."

"Tahu dari mana?"

"Saya tahu karena kita sangat dekat. Saya merasakannya."

Tidak ada cerita lagi pagi itu. Kami hanya berbagi tawa selama seperbagian perjalanan. Cerita bertumpuk yang sudah dipersiapkan buyar dalam sekejap. Saya merasa paham yang mendalam tanpa harus berbagi. Saya menertawakan pagi ini. Dia juga.

Dia menunggu saya untuk bercerita sekian lama. Saya menunggu saat untuk bercerita sekian lama. Pada saatnya, tidak ada cerita, hanya tawa.

Komentar