Jalan Harapan


Bagi saya—mungkin saya hanya satu-satunya, jalanan itu merupakan jalan harapan. Setiap kali melintasi jalanan itu, harapan saya membuncah tak karuan. Setiap masuk di ujung jalan, saya selalu menepiskan harapan. Sudahlah, harapan hanyalah harapan, tak akan berkelebihan jika terlaksana sekali pun. Selalu demikian ucapan saya.

Selalu juga, sepanjang jalan, harapan seolah menepis untuk disingkirkan. Hadir begitu saja, tanpa persetujuan. Sepanjang jalan, hati saya selalu risau. Tatapan saya tebar. Tak ada yang bisa mengalihkan perhatian saya sepanjang jalan itu.

Di jalan itulah, saya acap berpapasan dengan dia. Dalam diam. Tanpa mata yang berbalas tatap. Tidak pernah lebih lama dari lima detik. Begitu sekejap. Rasanya tak lenyap hingga hinggap pada bulan.

Tak selalu, hanya terjadi dalam hitungan ruas jari dari sekian banyak kesempatan. Hanya terjadi di jalan itu. Ketika terjadi, tak ada sesuatu yang berlebihan pun. Semua terasa begitu cukup. Singkat cukup. Diam cukup. Sendiri pun cukup.

Di ujung jalan keluar, saya sering berada pada kesimpulan yang sama. Harapan tak senyata itu. Namun, saya tetap butuh harapan agar jalan tak hanya sekadar jalan. Jalan menyimpan makna yang menyapa pagi. Bawa cerita sampai lelap. 

Komentar