Surat Samudra #3


Kepada Samudra,

Kamu ada tanpa hadir. Apakah hadirmu utuh? Maaf, saya lancang bertanya. Saya tahu bahwa banyak hal tidak perlu dipertanyakan lagi. Bukankah pertanyaan akan menggiring kita pada suatu pernyataan semu dan perasaan nyata?
Saya teringat pembicaraan saya dan kamu di beranda sore itu yang diiringi sunyi. Katamu, seserpih pun masih merupakan keutuhan. Utuh atas bagian yang kecil itu. Lagipula, katamu lagi, apa yang utuh di dunia ini? Semua luka pernah tertinggal dan berbekas. Mungkin saja, seserpih akan menjadi utuh dengan serpihan lainnya. Ah, sering kali manusia begitu tergila-gila dengan keutuhan. 
Samudra, saya tahu kamu ada. Apakah ada serta-merta hadir? Apakah hadir serta-merta ada? Apakah kamu akan menjadi tujuan saya? Apakah saya justru bertemu dengan kamu di ujung padang rumput tak berbatas? Apakah kita hanya saling berpapasan untuk terus ada tanpa pertemuan lagi? Apakah malam-malam ini kamu hadir?
Samudra, hari ini saya mempunyai banyak pertanyaan. Kamu tidak harus menjawab, saya selalu mendengarkan. 
Semoga saja kamu bisa membaca kata-kata.

Salam manis.

Komentar