Begitu-begitu Saja


Datang dengan jaket hijau andalannya, ia memilih duduk di sebelahku. Keringatnya menunjukkan usahanya sampai bisa ada di hadapanku, tetapi senyumnya tidak berkurang sedikit pun. Hobinya memang jalan kaki. Dari kantornya yang ada di sekitaran bundaran HI, ia berjalan kaki menuju kuningan, tempat janjian kami. Pada awalnya, aku sudah menawarkan untuk bertemu di tempat yang lebih dekat dengan kantornya. Toh, aku juga naik mobil. Namun, katanya, kuningan selalu manis untuk pertemuan.

***

Setelah memesan satu cangkir kopi hitam yang panas tanpa gula, aku membuka jaketku. Perjalanan tadi memang tidak sejauh biasanya, tapi cukup membasahkan punggungku untuk pertemuan yang kuduga akan manis. Kemudian, kuperhatikan matanya. Ia sering mencuri pandang ke lenganku. Dia memang pernah bilang tertarik dengan lelaki bertato. Namun, aku mencurigai itu sebagai penarik kenangan dari lelaki yang pernah dekat dengannya.

***

“Apa kata Jakarta malam ini?” pertanyaan pembukaku sambil melirik tatonya di lengan. Pertanyaan itu sungguh sudah kupersiapkan dengan sedemikian rupa. Artinya bisa banyak. Bisa saja, hanya ingin menunjukkan bahwa aku begitu menyimak ketertarikannya akan Jakarta. Bisa pula, meyakinkannya bahwa aku sudah tahu pasti ia berjalan kaki sehingga bisa memperhatikan Jakarta begitu dekat. Bisa juga, aku hanya ingin mempertanyakan hal yang tidak sama dengan orang kebanyakan, sekadar kabar, naik apa, dan dengan siapa.

***

Selalu saja memberikan pertanyaan yang tidak umum. Hanya perempuan dengan pengalaman tertentu yang dapat merangkai pertanyaan semacam itu. Aku hampir lupa bahwa pertemuan kali ini menuntutku untuk mempersiapkan banyak jawaban yang tidak begitu-begitu saja. Namun, itu justru membuatku hanya sanggup menjadi biasa-biasa saja tampaknya. “Yah, masih sama seperti sebelumnya. Belum banyak perubahan. Mungkin juga, aku justru tidak siap dengan perubahan. Jadi, melihat Jakarta, ya, begitu-begitu saja.”

***

Ini adalah pertemuan pertama setelah beberapa bulan lalu kami mengatasnamakan pekerjaan. Entah apa tujuan pertemuan ini. Dibuat atas kecanggihan teknologi yang menjadikan kami semakin intim hanya dalam satu kali percakapan panjang seharian. Memang begitu mudah memanggil kembali apa yang telah berlalu.

***

Ia mengulang kembali penjelasan panjang-lebarnya yang sudah diberikan cuplikannya dalam satu media teknologi. Pada saat ia menceritakannya dengan sangat antusias, ingatanku justru kembali pada pertemuan kami yang terakhir kali. Berbulan-bulan lalu. Malam itu, kami bertiga, dengan seorang teman lain yang satu kantor, duduk di satu kedai kopi. Ia pamit untuk mengundurkan diri dari kantor. Aku tahu betul ia masih ingin berkelana, seperti yang sering ia sungging dalam tulisan-tulisannya. Kami begitu dekat melalui tulisan. Saling berbalas pemikiran melalui tulisan di lembar terakhir majalah itu dan jarang-jarang berbincang panjang sambil berhadapan, kecuali malam itu—malam perpisahan dengannya.

Kami bercerita banyak sambil menunggu hujan yang tak reda-reda malam perpisahan itu. Kudengar mimpinya. Kubagi rencanaku yang tak sampai-sampai. Kisah sedihnya dalam memadu kasih kuperhatikan betul. Ia mendengar dengan saksama kisah tragisku dengan orang yang sudah mendekam selama enam tahun terakhir. Lewat bahkan.

Ia menyunggingkan senyumnya dengan terlampau manis. Matanya kerap berbinar ketika menceritakan mimpinya untuk tinggal di satu kota kecil di luar ibukota, seperti malam itu. Dan, tiba-tiba, aku tersadar. Aku kembali pada kini. Saat ini. Tepat saat ia tertawa. Aku tidak tahu apa yang dia tertawakan karena tadi pikiranku melayang. Kemungkinan besar, ia menertawakan hidupnya, seperti biasa. Apa lagi yang bisa kulakukan selain ikut tertawa?

***

Selain derai tawanya yang merenyah, sorot matanyalah yang paling ingin kulihat. Tentu saja, paling yang pertama adalah pendapat-pendapatnya tentang satu penulis dari Asia Timur yang baru saja ia lahap. Aku juga yakin ia telah membuat karya tandingan yang mungkin hanya tiga sampai empat halaman. Dulu, biasanya, ia akan mengirimkannya langsung kepadaku untuk kubabat hingga menjadi satu halaman dan mengoceh tidak setuju setelahnya.

Kali ini, ia lebih banyak memilih untuk diam. Mungkin, pembicaraan ini memang sudah kedaluwarsa. Mungkin juga, itu hanya ilusiku saja yang hanya terlalu takut bahwa sesuatu yang baik bisa juga terjadi dalam kehidupan ini. Tak lama, ia berceloteh kembali. Berbagi kisah dengan istilah teman yang sudah bisa kutebak siapa yang dimaksud. Aku menikmati saja, pura-pura pastinya.

***

Malam ini, hujan tidak turun. Langit cerah benderang. Tak ada alasan untuk berlama-lama untuk tidak segera pulang selain percakapan ini sendiri yang terlalu sayang untuk dihentikan. Adakah lagi kesempatan menukar kisah semacam ini?

***

Malam ini, tak ada satu pun di antara kami yang melirik jam tangan. Aku ingin menghabisi malam di sini agar tak perlu lagi ada pertemuan macam begini yang membuat curiga bahwa hidup tak mungkin sebaik-baik ini. 

Komentar