Sepandai-pandainya Optimisme Meloncat, Ia akan Jatuh Juga?: untuk Dibaca pada 2018


“Ingat pembicaraan ini lima tahun lagi.” Itulah pemantik dari kelahiran tulisan ini. Dibuat untuk dilihat kembali pada lima tahun mendatang; sekadar pengingat.

Malam itu, ajakan—untuk makan malam dari seorang teman dekat—saya terima begitu saja. Sedatangnya, ia menceritakan kekesalannya terhadap ketidakcakapan atas cara kerja rekannya. Pasalnya, mimpinya kadung dijalankan, tetapi rencana yang tidak sesuai dengan mula sudah biasa. Pun biasa, bukan berarti ada maklum dan bisa berjalan baik-baik saja. Dalam sela-sela obrolannya, saya ingat ia bilang, “Ini bukan soal harga diri semata, ini ada soal lain.” Tentu saja, soal lain yang ia maksud adalah mimpinya; satu hal yang sudah dikorek-korek selama sekian tahun, dipendam kekagumannya selama hampir sepertiga hidup, dan akhirnya didiamkan di depan mata begitu saja—bukan oleh dia, tapi oleh rekan kerjanya.

Bicara tentang mimpinya, saya begitu semangat mendengarnya. Setiap kali dia cerita tentang itu, saya yakin ada harapan pada masa yang akan datang. Suatu waktu, dia juga pernah bilang, “Zaman sekarang, kita sudah tidak butuh harapan.” Pun saya sempat terganggu dengan pernyataannya, saya tidak meninggalkan pertanyaan.

Beda pada malam itu, saya merasakan kegelisahan. “Apa yang membuatmu begitu pesimis akan masa depan?” saya memajukan badan saya. Dia membaca bahasa tubuh saya dengan baik sehingga berusaha memberikan jawaban untuk kegetiran saya. Realistis, kemudian ia menatap saya diikuti serentetan argumentasi yang pasti dibentuk oleh kepelikan. Namun, siapa yang tak punya kepelikan? Mungkin, saya belum sebegitu dikecewakannya oleh kehidupan. Saya pun tak mengelak bahwa kehidupan tak pernah sebegitu terlalu baiknya kepada saya.

Berpikir realistis tentu sah-sah saja, bahkan dibutuhkan. Apalagi, zaman sekarang, kita kadung berada di dunia yang batas antara semu dan nyata semakin tipis. Realistis kadang membantu kita untuk membedakannya. Akan tetapi, realistis bagi saya tak serta-merta menghilangkan harapan akan masa depan. Kita butuh harapan, iya. Kita perlu menjadi orang realistis, juga iya. Toh, mimpi saya juga bukan membawa perubahan besar-besaran dan memimpikan keadaan serba baik di negara dengan pemerintah yang justru lebih sering menyusahkan masyarakatnya. Namun, perubahan kecil juga patut dihargai sedemikian rupa karena segala yang besar juga awalnya dari yang kecil. Dan, saya yakin, untuk memberikan perubahan, tak perlu menunggu menjadi besar.

Ini bukan semata-mata kuantitas orang yang menjadi lebih baik, tetapi kualitas yang pun dalam jumlah kecil, setidaknya masih ada. Teman dekat saya ini begitu yakin bahwa sepuluh tahun dari sekarang, tak akan ada perubahan kualitas. Jika memang demikian, apa yang membuat kita terbelenggu di dalamnya?

Keseharian kami memang—setidaknya mencoba—merapikan kebobrokan sistematis. Maka itu, apa yang membuat kita rela bersusah payah—padahal ada pilihan lain yang siapa tahu lebih mudah—untuk melakukan sesuatu yang tidak dipercaya akan menjadi lebih baik? Kepuasan batin, mungkin. Ketenteram hati, bisa jadi. Bagi saya, kepercayaan yang lebih besar bahwa ada celah dalam ruang dan waktu untuk menjadi lebih baik justru berkekuatan besar untuk mendorong kita melakukan lebih dan mungkin lebih dari apa yang kita lakukan setiap hari.

Tidak semua orang memiliki kesempatan untuk merasakan kegundahan dalam kehidupannya. Mereka berkesempatan mempunyai hidup yang seolah terlihat baik-baik saja, tetapi ada hampa yang mungkin selalu ditutupi. Biarlah mereka mengisi kehampaan itu dengan caranya sendiri. Hal kecil, begitu kecil bagi sebagian orang, dapat dilakukan oleh mereka. Itu semu, memang. Namun, apa yang tidak semu? Setidaknya, sekali lagi setidaknya, kesemuan itu memberikan dampak baik bagi orang lain.

Misalnya, saya percaya, sepuluh tahun dari sekarang, peraturan menjadi lebih baik. Buktinya, ada banyak peraturan memang lebih baik dari sepuluh tahun lalu. Contoh lainnya adalah saya juga percaya bahwa anak saya dapat membaca karya sastra yang mumpuni dari sastrawan masa kini—yang siapa tahu bulan depan penulis yang sama masih mengeluarkan chicklit. Mungkin, sastra sepuluh tahun lagi di negara ini belum sanggup menyaingi kualitas masa lampau. Sastra berkualitas akan tetap ada dan bertambah, biar jumlahnya sedikit. Seni dan budaya bisa jadi stagnan, tetapi sanggup memberikan nilai baik dalam setiap individu yang merasakannya. Bagaimana pula nilai bisa diukur riil?

Lima tahun dari sekarang, saya mungkin sama sekali tidak percaya akan harapan. Bisa jadi, saya juga mengiyakan dengan sangat setiap kata dari teman dekat saya itu. Namun, selama masih sanggup untuk percaya dan belum menemukan alasan untuk tidak percaya, kenapa tidak saya gunakan dampak positif berupa energi besar-besaran ini untuk sesuatu yang saya anggap penting—sesuatu yang saya yakin berkaitan dengan kehidupan orang lain?


Setidaknya, lima tahun lagi atau mungkin lebih lama karena lupa untuk membaca tulisan ini, saya akan mengingat teman dekat saya itu; di mana pun dia berada; bagaimana pun kedekatan kami. Saya akan mengingat pembicaraan kami malam itu. Saya akan ingat dia.

Komentar