Kobra Jalang


“In Durkheim’s sense, religious beliefs are, as it were, above ideologies; they are shared by all, as everyone believes that any person belonging to the social group also shares these beliefes (despite possible private disagreement).” – Gilbert Rist


Dalam dua minggu terakhir, setidaknya dua kali saya dikira berasal dari Jepang oleh orang-orang yang berasal dari negara di luar Indonesia. Satu yang terakhir, akhirnya memutuskan duduk di sebelah saya. Saya menjadi punya kesempatan untuk bertanya apa yang membuat dia berpikir saya orang Jepang. Katanya, selama tiga tahun tinggal di asrama yang selalu penuh dengan mahasiswa internasional, dia tidak pernah melihat satu pun perempuan Indonesia seperti saya. Merokok, bertato, duduk di luar sendirian, tidak berjilbab, dan—ini sedikit mengherankan—bisa diajak mengobrol. “I’ve never had a conversation with Indonesian woman.” Selama pembicaraan, saya merasa begitu dihargai: dikasih informasi tentang Den Haag, tidak ada obrolan yang menyinggung, diajak makan malam dengan sopan, dan permisi untuk mengangkat telepon. Ketika dianggap lebih “terbuka”, saya tidak merasa mendapat “ancaman”.

Terus terang, sebagai orang yang selalu kelabakan untuk memulai pembicaraan dengan orang baru, saya begitu berjibaku menjalin pertemanan. Persoalan insecure tidak perlu dipertanyakan lagi, itu sudah pasti. Dan, mohon buang jauh-jauh segala tips dan trik untuk memulai pembicaraan atau menjadi lebih terbuka. Kalau punya dan gatal betul untuk kasih tahu orang, tulis saja di Facebook atau buat kultwit dengan penomoran yang bisa kaya raya dengan notifikasi like dan share. Cukup membahagiakan, kan?

Lagipula, nasihat cap tikus itu sudah saya dapatkan dari beberapa kenalan orang Indonesia di sini. Ketika saya sedang merokok di jeda jadwal kampus, seseorang menghampiri dan menasihati saya—panjang kali lebar, dipangkat, kemudian dikuadratkan. Singkatnya begini, “Jangan sendirian terus, Mbak, teman kita cuma ini. Semua saudara, apalagi kalau lagi jauh dari keluarga dan teman. Nanti stres kalau sendiri, apalagi kalau lagi kangen dengan orang-orang di Jakarta.” Saya tersenyum, mungkin sedikit tertawa. Bukan tertawa sinis, tapi ini memang lelucon yang luar biasa. Saya bahkan bisa membayangkan beberapa teman saya atau kakak-kakak saya akan tertawa terbahak-bahak dengan cerita ini.

Memang, kenalan-kenalan itu lebih mahir dalam menjalin percakapan dengan orang-orang lain dari berbagai negara. Percayalah, saya bahkan tidak mengingat nama-nama orang dengan perkenalan yang basa-basi internasional itu atau terlibat dalam percakapan lebih lama dari seseruput kopi. Seseruput; bukan seseruput-seseruput lagi-dan seseruput lagi.

Keberhasilan tertinggi saya selain cerita awal tadi adalah jalan mengitari secuil bagian Den Haag dengan seorang teman dari Nepal malam-malam setelah welcoming party. Cukup menyenangkan karena kami pura-pura menjadi Raja dan Ratu Belanda yang berjalan anggun di karpet jingga yang dengan sengaja diletakkan di tengah jalan sebagai persiapan festival esoknya. Kami menaikkan dagu dan juga melambaikan tangan ke sekitar yang sudah tidak ada orangnya. Tidak, saya tidak mabuk sama sekali. Dan, selama perjalanan itu, insecure saya juga sudah mempersiapkan banyak skenario.

Keberhasilan dengan kenalan internasional lainnya? Nihil.

Kemudian, ada beberapa kenalan dari Indonesia lainnya juga. Saya merasa mereka terbuka dan saya merasa diterima. Dan, ketika sudah merasa diterima—tanpa saya harus berusaha, saya baru membuka diri dan “membiarkan diri”. Semua baik-baik saja. Itu perlu saya sebutkan. Dalam keadaan baik-baik sekali pun, selalu ada cerita menarik yang lumayan untuk diingat-ingat dan dibahas dengan diri sendiri dalam rutinitas duduk di taman atau jalan-jalan sendirian. Ini cerita misalnya.

Kesan yang mereka dapat selain keadaan fisik ataupun yang bisa dilihat langsung (tato dan merokok):
1.     minum wine dan bir di welcoming party; dan
2.     memberikan pernyataan bahwa saya makan babi (dalam rangka menjelaskan alasan saya tidak menawarkan pan saya ketika makan dengan mereka).

Pertanyaan yang terlontar pada hari Minggu nan cerah ini: “Kok lo nggak ke gereja?”

Pertama, asumsi saya beragama Hindu, Buddha, Konghucu, atau aliran kepercayaan lain sudah dicoret dari pernyataan pikirannya. Apalagi ateis, dalam konteks ini, saya merasa bisa jadi itu sudah tidak terpikirkan sama sekali. Kedua, urusan kepercayaan (pun jika ini memang menyangkut tuhan/Tuhan—sesuai dengan kepercayaannya) yang begitu personal dan begitu privat menjadi urusan publik. Apalagi, dengan tingkat kenalan/pertemanan yang seumur jagung (bukan karena durasinya yang hampir tidak ada kaitan dengan kualitas, tetapi keadaan bahwa masih perlu diolah untuk bisa menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat), pertanyaan yang digunakan bisa lebih terbuka. Itu pun jika memang ingin sekali mendapat jawaban untuk sesuatu yang sama sekali tidak diperlukan dan tidak berpengaruh apa-apa kemungkinan besar. Ketiga, seru juga untuk memperhatikan penggunaan kata kok. Kata itu menunjukkan penyimpangan yang terjadi terkait suatu standar dalam pikirannya. Dalam contoh lain, “kok masih di sini?” cenderung dilontarkan ketika pengucap mempunyai asumsi bahwa seharusnya orang itu sudah tidak ada di sini.

Pertanyaan tadi tidak pernah saya jawab. Saya pun tidak meninggalkan pernyataan apa-apa. Itu pun membuat ada buntutnya. Apakah saya tidak meninggalkan pernyataan itu karena saya merasa tidak perlu? Apakah ini soal privasi? Atau, ini sekadar penyelamatan diri agar tetap merasa menjadi bagian dari kelompok yang sudah mempercayai sesuatu seperti dikatakan Durkheim yang dikutip Rist di atas? Apalagi, ini adalah kelompok kenalan satu-satunya dari sekian puluh orang sewarga negara lainnya. Atau malah ini cara menghindar dari debat panjang tentang tuhan/Tuhan dan agama yang belum pernah selesai? Atau, parahnya, saya memang belum bisa memberikan jawaban dari pertanyaan itu?

Atau, ini memang yang dimaksud penggalan Chairil Anwar dari puisinya yang sudah meraja lela.

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

*foto di atas adalah gambar tempel yang didapat dari majalah Cobra versi cetak

Komentar