Bukan Hanya Hantu yang Datang Tiba-tiba, Rindu Juga

Ada banyak cara untuk mengelabui rindu. Ah, rindu saja dikelabui. Baiklah, saya ulang. Ada banyak cara untuk mensiasati rindu. Apakah rindu butuh disiasati? Oke, saya coba sekali lagi, ya? Ada banyak cara untuk merasakan rindu. Iya, saya rindu. Dan, apalah rindu tanpa bisa melakukan apa-apa?

***

Kami diberikan kesempatan untuk menjadi relawan di World House. Bukan World Bank. Itu adalah tempat bagi para imigran Belanda--dengan dokumen dan tanpa dokumen. Asal mereka macam-macam: Turki, Prancis, Indonesia, dan saya belum tahu dari mana lagi. Kami diminta untuk melakukan kegiatan bagi mereka. Katanya begini kurang lebih: kegiatan yang bisa membuka diri mereka, juga menebar jaringan, juga meningkatkan keberdayaan. Ketika mendengarnya, saya rasanya ingin ikut kegiatan itu. Dengan kemampuan sosial yang sangat minim seperti saya, kegiatan seperti itu--yang berbau instan bagi mereka dan mengharapkan hasil yang cemerlang (macam klien)--memang dinanti-nanti.

Saya teringat pada satu kegiatan yang bisa membuat saya senyum-senyum sendiri. Perkenalan LDT. Setiap kali aktivitas perkenalan Legislative Drafting Training (LDT), saya selalu merasa menjadi orang yang dibebaskan, entah sebagai peserta maupun sebagai fasilitator. Akhirnya, dengan modal pengalaman sendiri (semua begitu personal, bukan, pada akhirnya?), saya menawarkan kegiatan semacam itu. Saya mencoba menggabungkannya ala "Vision Board", yaitu menjawab pertanyaan perkenalan dengan menempelkan gambar-gambar dari tumpukan majalah bekas. Perkenalan para relawan ini pun saya rancang seakan-akan perkenalan tim LDT.

Ketika merancangnya, saya membayangkan tim LDT ketika sedang badai otak membicarakan ini. Bayangan saja sudah bisa membuat senyum-senyum, mungkin kalau kenyatan belum tentu sesenyum-senyum ini. Senangnya, kegiatan itu disetujui oleh relawan yang lain juga oleh pihak World House. Jadi, saya pergi cari kertas warna-warni. Pinjem gunting dan lem dari teman-teman yang lain dan mengetok pintu kamar mereka satu per satu. Juga memotong kertas warna-warni sendirian. Saya senang bisa seberhasrat seperti ini.

***

Sabtu ini adalah kali pertama kami bertemu dengan teman-teman di World House. Kami datang lebih awal dengan maksud bisa mendekatkan diri dulu dengan teman-teman yang lain. Kami disambut dengan salah satu staf World House. Kemudian, benar-benar di awal pertemuan, dia langsung bilang bahwa dia menolak kegiatan kami hari itu. Dia bilang, itu membahayakan kami dan lebih penting lagi   itu membahayakan teman-teman di World House juga anak-anak mereka. Kegiatan kami, katanya, bisa memancing ingatan mereka tentang kejadian yang buruk.

Kami bertahan. Dia balas bertahan. Kami mencoba mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sudah dibuat.
1. Apa simbol diri Anda?
2. Apa pengalaman Anda yang paling lucu?
3. Apa hal terbaik yang bisa Anda lakukan?
4. Apa yang akan Anda lakukan lima tahun dari sekarang?
5. Siapa idola Anda?

Kemudian, setelah membacanya, nadanya mulai turun. Tiga dari lima pertanyaan itu dia tolak. Kali ini, bukan lagi alasan memori yang menakutkan dan membahayakan. Katanya, pertanyaan-pertanyaan itu sudah pernah dia berikan. Kami diminta untuk menggantinya dengan pertanyaan yang tidak terlalu mendalam. Akhirnya, ada empat pertanyaan yang diajukan.
1. Apa pengalaman Anda yang paling lucu?
2. Apa yang membuat Anda bahagia?
3. Bagaimana Anda membuat orang lain bahagia?
4. Siapa selebriti yang Anda kagumi? (ini katanya dalam rangka untuk menghindari jawaban "Tuhan" atau hal-hal yang berbau religius)

Sambil menunggu teman-teman imigran datang, akhirnya kami berbicara dengan lebih santai. Kami menerima banyak pertanyaan tentang pembangunan. "Bagaimana Anda mendefinisikan pembangunan?" Jawaban-jawaban kami banyak mendapat tantangan dari dia. Pun, pada akhirnya, kami ternyata ada di kapal yang sama. Di penghujung dia bilang begini, "Sebagai perempuan, kita harus kuat. Sadar apa yang kita tahu dan tahu juga apa yang kita tidak tahu. Kalau orang lain lebih tahu, kita belajar dari dia. Jadi, kalau dapat kritik, ambil saja. Jangan dijadikan personal dan kemudian menangis. Perempuan seperti itu." Saya setuju bagian awal, kemudian memberikan beberapa pertanyaan terhadap pernyataannya yang terakhir. Saya juga sadar bahwa itu adalah cara dia untuk memotivasi perempuan, tetapi motivasi juga perlu pola pikir yang lepas dari stereotipe.

Dari situ, saya belajar. Semua pertanyaan yang saya rancang pada awalnya memang saya ambil dari pengalaman di LDT. Dan, saya memang tidak belum tahu konteks teman-teman di World House. Saya belajar mengolah pertanyaan yang lebih sesuai konteks. Walaupun pada awalnya dia minta pertanyaan yang tidak begitu mendalam, bagi saya, pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan justru lebih mendalam. Juga tentang sensitivitas agama. Pandangan bahwa pertanyaan idola bisa memancing jawaban berbau religius lepas dari asumsi awal saya. Kemudian, saya juga tidak pernah membayangkan bahwa agama atau sesuatu hal yang religius menjadi begitu membahayakan. Di sini,  isu agama menjadi jauh lebih sensitif; banyak orang mudah merasa diserang--pun dia adalah ateis.

Sayangnya, keadaan cuaca dan juga jadwal yang kurang tepat membuat teman-teman batal datang ke World House hari itu. Hanya ada dua orang yang datang. Akhirnya, kegiatan itu akan dilakukan bulan depan. Staf World House akan mulai mempromosikan kegiatan ini agar semakin banyak yang datang. Bahkan, kami juga sudah merencanakan akan mengadakan pelatihan dansa: Colombia dan poco-poco. Saya tidak sabar sendiri. Dan, rasanya ingin loncat-loncat sambil menyanyikan "Starlight".

***

Rindu datang tiba-tiba. Tak terduga. Mengetuk, tanpa masuk, dan meninggalkan bunga di depan pintu.
Apalah rindu tanpa bisa melakukan apa-apa? Jadi, apa yang bisa dilakukan ketika sedang rindu?

Komentar