Sepatu Merah

Sini, semuanya. Kita duduk-duduk manis di taman hijau membentang. Aku akan tetap mengenakan sepatu merah dan terlentang melihat rerimbunan pohon. Sekali-kali, aku akan melihat matamu bergantian ketika sedang cerita. Mohon jangan anggap aku tak peduli ceritamu, aku hanya mau terlihat seakan santai dan tidak menaruh perhatian penuh. Kadang, itu membantu orang untuk bercerita tanpa henti. Setidaknya, cara itu berarti bagiku ketika aku sedang ketakutan sampai menggigil dan memilih bercerita kepada Ibu.

Bagaimana kalau kita mulai dengan cerita tentang teman-temanmu? Atau, mau cerita tentang mimpimu? Nanti, aku akan mulai bercerita tentang kegelisahanku. Kesusah-payahanku menjalani sesuatu yang tidak berarti. Keraguanku melakukan sesuatu yang tak ada guna. Satu-dua kali, aku akan ceritakan bagaimana orang tua kalian begitu membantuku dalam menghadapi semua. Apa-apa yang terjadi tentang hidup akan dilalui bersama. Aku pernah bilang kepada salah satu orang tuamu, “makin sekarat, makin rapat”. Dan, mohon jangan anggap bahwa kita butuh sekarat untuk rapat.

Salah satu dari kalian akan ikut-ikut tiduran di sampingku setelah memberikan senyum. Satu lainnya akan memainkan dandelion di sekitar kita. Aku akan cerita tentang kecintaanku terhadap dandelion. Lalu, aku menanti cerita tentang cinta-cintaan, juga patah hati kalian. Boleh pula kita sambung tentang makna dalam berhubungan. Apakah memang ada hubungan yang gagal? Apakah hubungan hebat adalah hubungan yang selamanya? Nanti, aku akan bilang, “Kalian adalah saksi hidup bagaimana hubungan diperjuangkan sebegitunya. Mungkin itu saja yang perlu kita lihat. Kalian adalah bukti nyata dari hubungan hebat. Dan, perpisahan bukanlah tanda bahwa hubungan itu gagal.”

Akhirnya, kita semua tiduran. Menatap rerimbunan pohon yang sama. Satu dari kalian akan menceritakan rindu akan kebersamaan yang komplit. Komplit itu ada di hati. Bukan raga. Buktinya, pun aku sempat jauh, aku masih merasa dekat dengan kalian. Aku merasa komplit. Kita sempat terdiam. Entah karena apa.

Satu dari kalian akan cerita tentang ketakutan. Aku meneteskan air mata mendengarnya. Untungnya, kita semua tiduran, jadi segala air mata tidak terlihat. Mungkin, kalian juga menahan air mata atau bahkan sudah menetes. Tapi, tidak ada yang melihat air mata kita. Yang lain akan menenangkan ketakutan itu. Aku diam saja. Yang lain menyambut bercanda. Aku akan membatin, “Oh, kalian dewasa begitu cepat. Terlalu cepat.” Dan, satu dari kalian melempar sepatu merahku jauh. Membuatku harus berjalan jauh untuk mengambilnya dan kalian tertawa terbahak melihatnya.

Kemudian, si anak kecil ini akan minta pipis. Kita pun akan meninggalkan taman hijau membentang itu untuk mengantarkan dia. Setelahnya, kita akan mencari es krim dan memakannya sambil berjalan-jalan di kota asing ini. Kita bertengkar sembari bercanda karena saling mencoba rasa es krim. Pula, berbicara hal yang biasa saja.

Setidaknya, kita sudah sama-sama tahu bahwa tak ada satu pun dari kita yang sendiri. Kita komplit.

Rerimbunan pohon akan tetap di sana. Dandelion juga tetap akan ada di sana. Banyak hal yang tetap ada, kan, pun kita sudah pergi? Pun, sepatu merah yang kalian lempar sudah tidak ada di sana.


Komentar

Posting Komentar