Dukungan Pemerintah terhadap Mesin Pengeruk Kemanusiaan
Ketika
lagi mengajar bahasa Indonesia via Skype, satu whatsapp group sibuk membahas camping
akhir minggu ini. Satunya lagi sibuk ngobrolin rencana nge-beer Jumat malam. Satu whatsapp
group lainnya baru berhenti kurang lebih 3 jam lalu setelah seharian tidak
berhenti membahas kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang baru saja
dicabut.
Angkat
nama dengan kebijakan yang baru dikeluarkannya: anak-anak sekolah selama satu
hari penuh. Satu hari penuh yang dimaksud Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
yang baru adalah sampai jam 17.00. Jadi, orangtua bisa menjemput anaknya
sepulang kantor. Mengutip CNN.com,
Mendikbud Muhadjir Effendy bilang begini, “Dengan sistem full day school ini, secara perlahan, anak didik akan terbangun
karakternya dan tidak menjadi ‘liar’ di luar sekolah ketika orang tua mereka
masih belum pulang dari kerja.”
Kebijakan
tersebut menuai kecaman. Whatsapp group tempat
saya hanya menjadi ninja (mengamati tanpa komentar) tentu saja merongrong
kebijakan tersebut dengan argumentasi tidak ramah anak. Saya setuju dengan
semua argumentasinya, pun saya orangnya memang “iya-an” saja. Beritagar juga
sudah menjelaskan bahwa kebijakan ini tidak berpihak kepada semua kalangan, ada
kelompok yang terpinggirkan. Kebijakan ini berangkat dari asumsi bahwa semua
orangtua bekerja dari jam 09.00 sampai jam 17.00, seperti ciri khas kebijakan
kebanyakan perusahaan-perusahaan besar terhadap jam kerja karyawannya. Tentu
saja, kebijakan ini kadang tidak berpengaruh terhadap kalangan atas, seperti
manajer atau pemilik modal di perusahaan besar. Kebijakan itu
meminggirkan—seperti—kelompok petani dan nelayan. Argumentasi itu sudah
tersampaikan dengan cukup baik sepertinya melalui artikel yang ditulis.
Saya
juga melihat kebijakan tersebut sebagai dukungan negara—yang diwakilkan
Mendikbud—terhadap pengerukan besar-besaran energi dan waktu dan kemampuan
warga negaranya. Kecurigaan saya, itu dilakukan atas nama ekonomi. Pemerintah
memfasilitasi orang-orang yang bekerja (bekerja yang kemungkinan besar definisinya
adalah kegiatan yang menghasilkan uang). Mereka diberi ruang untuk lebih
mengeksploitasi dirinya sebagai pekerja. “Saudara-saudara tidak perlu
memikirkan anak selama jam kerja sehingga bisa lebih efektif mengabdikan diri
kepada perusahaan. Efektif dan efisien adalah kata kunci. Perhitungan upah per
jam tidak terbuang untuk memikirkan jemput anak atau menitipkan anak.”
Kemudian, bapak dan ibu rumah tangga kehilangan alasan untuk berdiam diri di
rumah. “Lha wong nggak ada yang
diurusin,” begitu kata tetangga mereka yang merasa dibenarkan dengan
kebijakan tersebut.
Alhasil,
interaksi sosial pun turut berubah. Norma-norma yang dulunya dianggap wajar
menjadi dipertanyakan. Bukan kesalahan, sih, untuk mempertanyakan apa yang
sudah ajek, mungkin memang perlu dipertanyakan. Tapi, apakah alasan
mempertanyakannya hanya sebatas nilai yang dikandung dari kerja atau tidak
kerja?
Kita
membiarkan pemerintah mengambil wacana atas nama perlindungan terhadap anak dan
pengertian terhadap orangtua yang bekerja untuk menggerus manusia sebagai
penggerak roda ekonomi. Entah ekonomi siapa. Toh, bekerja selama 8 atau 9 atau 10 jam atau lebih dari itu bukan
berarti mereka jadi kaya dan mendapatkan apa yang iklan atau masyarakat bilang
mereka perlukan. Padahal, mereka jelas memberikan produksi lebih terhadap perusahaan. Ada satu jurnal yang bilang bahwa kebijakan macam itu bukan
hal baru karena pernah dilakukan di negara lain. Penulis jurnal itu bilang
bahwa kebijakan seperti itu merupakan kaki tangan neoliberalisme. Entah apa
artinya neoliberalisme. Saya juga terlalu malas untuk mengorek-korek tumpukan
catatan jurnal.
Pada akhirnya, kemalasan merupakan musuh terbesar dari si empunya mesin penggerak uang itu. Tidak produktif, konon. Padahal, kemalasan adalah sesuatu yang manusiawi. Kemalasan adalah bentuk dekolonialisasi, kata Riyad A. Shahjahan dalam “Being ‘Lazy’ and Slowing Down: Towards Decolonizing Time, Our Body, and Pedagogy”. Namun, orang miskin adalah orang yang paling dilarang bermalas-malasan. "Sudah miskin, kok malas?" Seakan-akan menjadi miskin adalah pilihannya dan malah mengurangi haknya kemanusiaannya.
Pada akhirnya, kemalasan merupakan musuh terbesar dari si empunya mesin penggerak uang itu. Tidak produktif, konon. Padahal, kemalasan adalah sesuatu yang manusiawi. Kemalasan adalah bentuk dekolonialisasi, kata Riyad A. Shahjahan dalam “Being ‘Lazy’ and Slowing Down: Towards Decolonizing Time, Our Body, and Pedagogy”. Namun, orang miskin adalah orang yang paling dilarang bermalas-malasan. "Sudah miskin, kok malas?" Seakan-akan menjadi miskin adalah pilihannya dan malah mengurangi haknya kemanusiaannya.
Tentu
saja, lebih banyak lagi pertanyaan yang muncul bagi orang-orang yang bekerja
bukan hanya untuk uang. Apakah kebijakan ini juga berlaku? Apakah sama pengaruhnya? Atau, apakah mereka
bisa dibilang bekerja? Bagi orang-orang yang belum punya anak, bagaimana
kebijakan ini mempengaruhi hidupnya? Walah, kebijakannya saja sudah dibatalkan,
tapi masih saja sibuk bertanya. Bukankah lebih baik bermalas-malasan?
Sambil
bermalas-malasan, saya membuka whatsapp. 7
dari 12 chats terakhir isinya soal pekerjaan. Satu chat, saya balas, “Kalau jogging
Jumat, gua kandas.” Satu lagi menanggapi tawaran nge-beer, “Ada kerjaan, hiks.” Satu lagi, penuh ucapan selamat
ulang tahun. Satu lagi, “Bisa jadi gue lagi ada di penjara juga karena urusan
lain, huahaha.” Terakhir, “Aku pass.
Selamat bersenang-senang.”
Semua
jadi terlihat serba omong kosong, ya? Makna terkikis.
Komentar
Posting Komentar