Kematian Begitu Dekat
"Saya mau mati." "Saya mau mati." "Saya mau mati."
Pesan-pesan tersebut saya dapatkan berturut-turut sekitar pukul 19.00. Tidak ada keakraban di samping saya, hanya kumpulan orang dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Juga nyamuk-nyamuk yang mengingatkan keberadaannya dan meninggalkan bekas di tubuh. Saya dan pemberi pesan sama sekali tidak akrab. Namun, pesannya terasa begitu akrab.
Saya langsung meninggalkan pesan kepada seorang teman, "Bisa bantu teman saya?" Entah apa makna teman. Satu-satunya yang ada dalam pikiran saya hanyalah memberikan pilihan lain selain mati. Jangan sampai dia pilih mati. Konsentrasi saya bubar secara nyata. Saya berkonsentrasi penuh dengan pesan-pesan. Entah mana yang nyata. Dia setuju menunda kematiannya untuk bertemu dengan saya keesokannya.
Setelah pertemuan dengannya, saya runtuh; merasa telah mengkhianati apa yang saya percaya. Saya percaya setiap orang sudah punya pilihan. Dan, saya percaya bahwa saya tidak boleh memaksakan keinginan saya. Namun, saya merasa telah berkelit sedemikian rupa supaya mati tidak menjadi pilihannya. Bahkan, itu saya lakukan kepada orang yang baru saya kenal. Super munafik. Saya tahu betul bahwa ada rasa ketenangan ketika menginginkan kematian. Buat apa saya menghalang-halanginya?
Ketika kematian adalah keinginannya, subjektivitasnya, saya malah memaksakan subjektivitas saya sendiri.
Setelah mimpi-mimpi buruk berada di klinik dengan perasaan was-was, saya terpaksa menyadari bahwa saya perlu melerai kekusutan perasaan. Keesokannya, ketika masih bangun pada pukul 03.00, saya menggeletakkan diri. Saya terlalu egois untuk mencoba mencari pembenaran bagi diri saya sendiri atas menahannya untuk mati yang telah menjadi pilihannya. Saya menganggap bahwa pilihannya untuk mati merupakan hasil dari konstruksi sosial. Celotehan orang di jalan. Omongan tetangga atau orang kantor. Rentetan pertanyaan dari keluarga. Celaan dari orang dekat. Juga, ajaran agama yang justru dianggap sebagian orang malah menjadi petaka. Konstruksi sosial itu justru melemahkan kemanusiaan.
Seberapa sering cercaan kita bisa berdampak besar bagi orang lain tanpa pernah kita ketahui pengalaman dan perasaan dan pikirannya? Seberapa sering kita telah menjadi pembunuh diam-diam, tanpa dibayar? Kita kerap lupa, orang punya batas yang berbeda-beda.
Kematian terasa begitu dekat, sedekat dengungan nyamuk di telinga tanpa pernah bisa melihatnya di depan mata. Hanya meninggalkan sisa-sisa pada jiwa yang telah kerdil.
Ketika kelak kematian akan tetap menjadi pilihannya setelah tahu segala pilihan yang mungkin ada, saya akan hadir di pemakamannya. Menjadi saksi kekejaman kemanusiaan yang, katanya, peduli.
Pesan-pesan tersebut saya dapatkan berturut-turut sekitar pukul 19.00. Tidak ada keakraban di samping saya, hanya kumpulan orang dengan pekerjaan yang harus diselesaikan. Juga nyamuk-nyamuk yang mengingatkan keberadaannya dan meninggalkan bekas di tubuh. Saya dan pemberi pesan sama sekali tidak akrab. Namun, pesannya terasa begitu akrab.
Saya langsung meninggalkan pesan kepada seorang teman, "Bisa bantu teman saya?" Entah apa makna teman. Satu-satunya yang ada dalam pikiran saya hanyalah memberikan pilihan lain selain mati. Jangan sampai dia pilih mati. Konsentrasi saya bubar secara nyata. Saya berkonsentrasi penuh dengan pesan-pesan. Entah mana yang nyata. Dia setuju menunda kematiannya untuk bertemu dengan saya keesokannya.
Setelah pertemuan dengannya, saya runtuh; merasa telah mengkhianati apa yang saya percaya. Saya percaya setiap orang sudah punya pilihan. Dan, saya percaya bahwa saya tidak boleh memaksakan keinginan saya. Namun, saya merasa telah berkelit sedemikian rupa supaya mati tidak menjadi pilihannya. Bahkan, itu saya lakukan kepada orang yang baru saya kenal. Super munafik. Saya tahu betul bahwa ada rasa ketenangan ketika menginginkan kematian. Buat apa saya menghalang-halanginya?
Ketika kematian adalah keinginannya, subjektivitasnya, saya malah memaksakan subjektivitas saya sendiri.
Setelah mimpi-mimpi buruk berada di klinik dengan perasaan was-was, saya terpaksa menyadari bahwa saya perlu melerai kekusutan perasaan. Keesokannya, ketika masih bangun pada pukul 03.00, saya menggeletakkan diri. Saya terlalu egois untuk mencoba mencari pembenaran bagi diri saya sendiri atas menahannya untuk mati yang telah menjadi pilihannya. Saya menganggap bahwa pilihannya untuk mati merupakan hasil dari konstruksi sosial. Celotehan orang di jalan. Omongan tetangga atau orang kantor. Rentetan pertanyaan dari keluarga. Celaan dari orang dekat. Juga, ajaran agama yang justru dianggap sebagian orang malah menjadi petaka. Konstruksi sosial itu justru melemahkan kemanusiaan.
Seberapa sering cercaan kita bisa berdampak besar bagi orang lain tanpa pernah kita ketahui pengalaman dan perasaan dan pikirannya? Seberapa sering kita telah menjadi pembunuh diam-diam, tanpa dibayar? Kita kerap lupa, orang punya batas yang berbeda-beda.
Kematian terasa begitu dekat, sedekat dengungan nyamuk di telinga tanpa pernah bisa melihatnya di depan mata. Hanya meninggalkan sisa-sisa pada jiwa yang telah kerdil.
Ketika kelak kematian akan tetap menjadi pilihannya setelah tahu segala pilihan yang mungkin ada, saya akan hadir di pemakamannya. Menjadi saksi kekejaman kemanusiaan yang, katanya, peduli.
Komentar
Posting Komentar