Merangsang Kekhawatiran
“Ini pertunjukannya
interaktif, nggak?”
“Maksudnya?”
Pertanyaan saya ajukan dengan alasan antara tidak mengerti, menanyakan ulang
maksudnya sama dengan yang saya tangkap atau bukan, atau memastikan ia bicara dengan saya.
Atau, saya mungkin tidak mendengar jelas dia bilang “penunjukan” atau
“pertunjukan” dan hasrat untuk menyunting besar.
“Akan ada interaksi
antara pemain dan penonton, nggak? Saya duduk di paling depan, nanti bisa
ditanya-tanya. Saya takut.”
Perempuan itu duduk
di depan saya. Kami sudah duduk manis di bagian kanan panggung jika menghadap
ke ruang suara di depannya. Ia tidak sendiri, bersama pasangannya. Saya juga.
Maksudnya, saya juga tidak sendiri, bersama teman-teman saya di kiri dan kanan
saya. Saya memajukan badan saya untuk memastikan kursi di sebelah kirinya masih
kosong.
“Di sebelah ada
orang?”
“Nggak ada.”
“Wah,” Begitu saja
saya merespons.
“Oh iya!
Jangan-jangan, pemainnya duduk di sini.” Dahinya berkerut. Mulutnya terbuka
sedikit. Matanya sedikit melebar. Mungkin, dia khawatir.
Eko Nugroho keluar
dari samping panggung. Sarung. Kaus. Peci. Dan, jas. Menjelaskan sedikit
tentang “Wayang Bocor”, ia melempar satu-dua pantun yang meredakan ketegangan
kebanyakan penonton. Banyak penonton tertawa. Perempuan di depan saya menoleh
ke arah saya. Mukanya semacam mengatakan “awal-yang-santai-itu-petanda-yang-kurang-baik-karena-lebih-memungkinkan-interaksi.” Saya
tertawa. Bukan karena pantunnya, melainkan mencium keadaan mengkhawatirkan bagi
perempuan itu. Eko Nugroho keluar panggung lewat samping. Situasi sepi. Nyeri.
Teman di sebelah kiri saya berbisik.
“Interaktif maksudnya
apa, sih?”
“Pemain bisa kasih
pertanyaan, penonton menjawab.”
“Semacam kuis?”
Lampu dari belakang
layar yang ada di panggung menyala. Ada dua gunungan terlihat. Mereka adalah
penyelamat saya dari urusan penjelasan.
“Saya ini sudah
sering kenduren. Kemarin di Pekan Baru, kemarinnya lagi di Jogja. Saya juga pernah
kenduren di New York dan North Carolina.” Gunawan Maryanto sedang melakoni kaum
yang suka memasarkan dirinya. Banyak orang tertawa. Mungkin, mereka teringat
dengan pengalamannya bersama orang serupa. Atau, mungkin juga, mereka menjadi
tahu rasanya mendengar omongan-omongan pemasaran diri yang biasa mereka lakukan
sendiri. Mungkin lagi, mereka hanya tertawa karena mendengar orang lain
tertawa. Adegan itu membuat perempuan yang duduk di depan saya tertawa.
Artinya, kekhawatirannya sudah memudar kalau belum menghilang.
Sepanjang pertunjukan
dengan visual yang pastinya dengan teknis matang, tidak
ada interaksi langsung dengan penonton. Perempuan di depan saya pasti merasa selamat.
Tidak rugi mengeluarkan uang jika tujuannya menghibur diri, tanpa perlu
merasa terintimidasi dengan pertanyaan dadakan atau mematuhi instruksi bertajuk
ajakan.
Konon, seni
memungkinkan orang-orang—baik pelaku dan/atau penikmat dan/atau pengamat—keluar
dari kebiasaan yang sudah meletak. Mendorong dan sedikit memaksa untuk
memberikan keputusan cepat pada saat tak terduga dalam tingkat ketidaksiapan
yang rentan nyaman. Kebiasaan pertunjukan interaktif yang mulai sering
dilakukan dan baru menggunakan dengan metode itu-itu saja mulai terbaca. Perempuan
di depan saya mulai datang dengan kekhawatiran karena bacaan itu. Mulai bikin
resah, apalagi buat yang datang untuk tidak berinteraksi. Mulai membuat
khawatir, bahkan sebelum pertunjukan dimulai. Mungkin, seni memang cenderung
mengajak khawatir. Sebagian bisa dirangsang dari substansinya, sebagian lagi juga
bisa dipicu oleh “ancaman” partisipatif.
Komentar
Posting Komentar