Tersedak Janji
-->
Dari
kecil, kita biasanya sudah sering diajarkan untuk berjanji. “Janji, ya, besok
sekolah”, “Janji, ya, langsung pulang”. Janji itu menyeramkan. Membuat kita
tidak bisa berkelik tanpa tahu apa-apa yang akan terjadi setelahnya. Kita
seperti merelakan diri masuk hutan rimba tanpa boleh keluar lagi sampai janji selesai.
Di dalamnya, mungkin memang akan ada air terjun yang sejuk, sungai yang jernih,
keindahan yang membuat kerasan. Tapi, juga mungkin ada kejar-kejaran dengan
beruang, terkaman macan kumbang yang tiba-tiba. Itu bisa jadi masih jauh lebih
baik. Kita bisa langsung mati. Selesai. Mati terhormat karena menepati janji.
Ada
yang jauh lebih menyeramkan. Di dalam hutan itu, bisa juga ada lintah yang
menyerap darah diam-diam. Ratusan semut rangrang yang menggerogoti. Malam yang
mendung sehingga gelap tak lelap-lelap. Kadar bahaya ada beberapa garis di
bawah cerita sebelumnya. Tidak mematikan secara langsung. Hanya menyiksa
perlahan-lahan. Luka-lukanya terus memerih. Bekas-bekasnya semakin mengingatkan
terus akan pedih. Memilih untuk keluar hanyalah kekalahan sebagai pengecut atas
ucapan sendiri.
Janji
itu permainan kuasa. Kita berkuasa penuh atas apa yang kita katakan hingga
menjelma tindakan. Tak ada perintah dari orang lain. Tak ada pertanyaan membingungkan
tentang apa yang harus dilakukan karena janji sudah menentukannya. Kita adalah
puan dan tuan atas diri kita masing-masing. Sayangnya, sering juga, janji
melumpuhkan kita.
Janji
itu penuh dengan konsekuensi. Saya harus berangkat sekolah, walaupun harus
memaksakan diri duduk di sebelah orang yang melecehkan saya secara seksual.
Saya harus langsung pulang, walaupun saya harus melewati kesempatan seleksi
masuk dalam tim kompetisi di sekolah. Tapi, saya sudah berjanji.
Power within (Rowland, 1997). Keputusan tersebut diambil, meskipun tidak ada paksaan dari pihak
mana pun, tetapi sudah bersetubuh dalam diri kita.
Komentar
Posting Komentar