Personalisasi Karakter Agency
-->
Saya pesan bintang. Dia
pesan sesuatu yang katanya dari Amerika, tepatnya Meksiko. Iya, Meksiko
terletak di Amerika. Benua Amerika. Semoga
kita cukup bijak untuk bisa membedakan Amerika Serikat sebagai negara dan
Amerika sebagai benua. Setengah botol, dia cerita, dalam diri kita, ada setidaknya
dua karakter yang terus-menerus ada. Satu karakter terus menenangkan kita. Satu
karakter lagi terus membantai kita. Biasanya, karakter itu begitu personal.
Mereka bisa berupa orang-orang yang memang kita kenal. Ada pula yang menyerupai
orang dengan karakter tertentu. Misalnya, bagi dia, si karakter bijaksana
selalu berupa seorang nenek tua yang terus menenangkan dirinya, “Maafkan diri
kamu, Nak. Terima dirimu apa adanya.” Karakter satu lagi menyerupai ayahnya
yang kerap bilang, “Kamu masih saja mengecewakan.”
Bagi saya, ceritanya
masuk akal. Saya sering menjadi pengamat pembicaraan serupa itu. Di dalam
kepala saya; pun kadang suka keceplosan untuk saya katakan lantang. Ada
masanya, salah satu karakter begitu dominan. Namun, pada tingkat kemuakan
tertentu, satu karakter juga mengimbangi. Lucunya, ketika saya mulai sadar
bahwa dunia tidak melulu terdiri dari dua hal yang saling bertolak belakang, pelan-pelan
muncul satu karakter di luar dua itu yang suka menyeletuk pertanyaan-pertanyaan
jahil.
Sayangnya, saya
selalu tak dibiarkan hanya menjadi pengamat. Saya menjadi pemangku keputusan.
Ada salah satu yang mesti dimenangkan di antara mereka bertiga. Kadang, saya
mendengarkan yang dominan, kadang pula memenangkan yang suaranya sayup-sayup
terdengar, kadang lain memperhatikan yang paling akhir bicara. Dan, memang
benar, setiapnya ada karakter yang begitu personal. Bahkan, perlu. Dengan
mempersonalisasikannya, antarkarakter menjadi lebih mudah untuk diskusi tanpa
saling membunuh satu sama lain.
Berbagai karakter
tersebut mewakili agency saya. Saya
cepat percaya dengan argumentasi Mahmood (2001, 2005) yang mengatakan bahwa agency bukan melulu perkara perlawanan
terhadap sistem yang sudah ajek. Agency
juga merupakan persoalan bagaimana cara bisa bertahan, stabil, dan hidup
berjalan terus. Dulu, saya sering membunuh salah satu karakter karena terasa
begitu menggelapkan, tepatnya mengelamkan. Membuatnya menjadi sangat kelam.
Saya cepat percaya dengan karakter yang satu ini sehingga membiarkannya untuk
meredupkan sampai mengurung saya. Maka itu, mereka sebaiknya terus dirawat,
bukan malah dibunuh dan dimatikan percakapannya dalam kepala. Pun, biasanya dia
bangkit pada tingkat kemuakan tertentu. Tapi, kadar kemuakan pun bisa menebal.
Dan, malah membahayakan.
Apakah memenangkan
salah satu karakter dengan menjadikan argumentasinya sebagai keputusan sama
saja dengan mematikan lainnya? Contoh dalam tulisan Mahmood (2001) membantu
saya. Dia bilang, seorang pianis kerap mempraktikkan agency-nya dengan menjadi subordinat. Rela untuk berlatih keras,
menyiksa dirinya, dan membiarkan dirinya berada dalam kekuasaan si
dominan—alias guru piano. Namun, itu untuk meraih agency dirinya juga, yaitu menjadi pianis andal. Dan, bukan “handal” karena ‘andalan’, bukan ‘handalan’.
Ini sejalan dengan pepatah, “berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian”.
Agency ini sering membuat orang merasa berdaya. Foucalt (Walsh, 1998)
bilang bahwa agency itu membiarkan
orang memilih identitasnya sendiri, menjadi majikan atas tubuh dan hasratnya.
Sayangnya, Foucalt (Walsh, 1998) juga mengatakan, agency itu terbatasi di lapangan sosial. Manusia dituntut untuk
menjadi pemikir kritis sekaligus agen moral untuk mempraktikkan agency-nya. Menurut saya, pada saat
inilah, beberapa karakter yang disebutkan di atas mulai perang. Masing-masing
bawa pedang. Dan, saya lah yang harus menentukan siapa menang, siapa kalah,
siapa kabur, siapa mati, siapa luka, siapa selamat walaupun tanpa hasrat.
Pernah pada suatu
pagi yang belum terang, semua karakter saya undang duduk di meja. “Sekarang,
semua harus bicara. Satu-satu. Jangan rebutan supaya bisa saling mendengarkan,”
tegas saya setengah muak. Satu bilang, “Membuat sesuatu lah jika itu memang
bisa menyembuhkan.” Satu lagi malah mempersoalkan, “Memangnya bagus? Buat apa
ada kalau tidak bagus?” Satu lagi menyambung, “Kenapa tidak belajar dari
kritik? Diadakan dulu untuk tahu mana-mana yang perlu dikembangkan.” Sekali
lagi, peran saya adalah penentunya. Sayangnya, apa pun hasilnya, saya sendiri lah
yang menang, kalah, kabur, mati, luka, termasuk selamat tanpa hasrat.
Saya pesan satu bintang
lagi. Dia pesan sesuatu yang lebih keras. “Supaya besok bisa bilang bahwa saya
bukan heteroseksual kepada orangtua saya.” Setiap orang punya peperangannya
masing-masing. Bukan hanya di kepala. Juga di kehidupan nyatanya.
Bacaan
Mahmood, Saba. (2001)
‘Feminist Theory, Embodiment and the Docile Agent: Some Reflections on the
Egyptian Islamic Revival’, in Cultural
Anthropology 10(2): 202-236.
Mahmood, Saba. (2005) Politics of Piety: The Islamic Revival and
The Feminist Subject. United Kingdom: Princeton University Press.
Walsh,
D.F. (1998) ‘Structure/agency’. In: C. Jenks (ed.) Core sociological dichotomies. London etc.: Sage, 8-33.
Komentar
Posting Komentar