ada

Dia hanya minta diakui. Itu saja. Ada karena dia memang ada sebagai subjek. Ada di antara kalian dan diakui keberadaannya. Bukan dengan mendengarkan keluhannya tentang hidup yang bertubi-tubi. Justru kisahkan perjalanan kalian untuk dia dengarkan. Biarkan dia merespons sebisa mungkin, seminimal mungkin bahkan. Tapi, dia merasa ada sebagai pendengar. Merasa ada karena ada kisah yang harus ditanggap, dikomentari, bahkan ditertawai bersama untuk menenangkan.

Bagi pula kekonyolan yang terjadi. Percikkan senyum di sana-sini. Suasana itu kapan lagi. Saling menganggap ada dan berbagi ada masing-masing karena ingin, bukan karena harus.

Kemudian, kalian masing-masing pulang dengan potongan kisah yang tersisa. Melangkah lebih dalam dan menumbuhkan rasa percaya dan tentu saja rasa nyaman.

Dia hanya ingin dianggap. Dirasakan perbedaan hadir dan tidaknya. Dicerna dalam senyum dan air matanya. Dibagi serpihan tawanya.

Boleh dimulai dengan mendengar lagu kesukaan kalian dan hanya duduk diam di sampingnya. Dia sedang terasing. Hanya berakrab dengan lagu-lagu Islandia yang membawanya jauh dari nyata. Sibuk cipta dunia yang membuat dia memang merasa ada.

Apakah kalian ada? Apakah kalian hanya bagian dari pikiran dia? Padahal, selama ini, dia merasa hanya hiasan kuno yang berdiam diri di pikiran kalian.

Komentar