cukup
Seorang perempuan duduk sibuk berdiam diri. Bangku lapuk itu rela saja didudukinya dalam jangka waktu yang cukup lama. Bahkan, bangku itu pun tak segan untuk turut menampung segala berat rindu si perempuan.
Belakangan ini, ia seringkali didatangi pertanyaan-pertanyaan. Ia sempat terkejut. Apalagi, kali ini, tidak ada teman yang bersedia menawarkan pikirannya sejenak untuk bertukar. Ia percaya, kadang bukan jawaban yang dibutuhkan, hanya proses untuk mendapatkan jawaban yang paling dekat.
Sayang, teman si perempuan sudah mulai melangkah perlahan. Tapi, si perempuan belum siap menerima segala perubahan. Teman-temannya hanyamau bersenang-senang. Cukup penat dengan sengan segala pengalaman sehari-hari yang mereka alami.
Perempuan itu hanya butuh berbagi. Bagi kata. Bagi tawa. Tapi, bukan bagi perubahan. Dia belum cukup siap untuk itu.
Teman terdekatnya pun rela meninggalkannya dalam pikiran si perempuan tadi.
Belakangan ini, ia seringkali didatangi pertanyaan-pertanyaan. Ia sempat terkejut. Apalagi, kali ini, tidak ada teman yang bersedia menawarkan pikirannya sejenak untuk bertukar. Ia percaya, kadang bukan jawaban yang dibutuhkan, hanya proses untuk mendapatkan jawaban yang paling dekat.
Sayang, teman si perempuan sudah mulai melangkah perlahan. Tapi, si perempuan belum siap menerima segala perubahan. Teman-temannya hanyamau bersenang-senang. Cukup penat dengan sengan segala pengalaman sehari-hari yang mereka alami.
Perempuan itu hanya butuh berbagi. Bagi kata. Bagi tawa. Tapi, bukan bagi perubahan. Dia belum cukup siap untuk itu.
Teman terdekatnya pun rela meninggalkannya dalam pikiran si perempuan tadi.
Komentar
Posting Komentar