subjek-subjek
Ketika dia memutuskan untuk memberikan kata akhir pada hubungan itu, aku pun menerima dengan mudahnya. Toh, ketika rasa itu memang sudah benar ada, ada tidaknya hubungan bukan lagi masalah. Cukup rasa itu dan selesai. Perasaan lain selain itu merupakan perkembangan dari konstruksi sosial yang membentuk anggapan bagaimana mengekspresikan dan menanggapi rasa itu sendiri.
Kenapa rasa ini sudah mulai dikontaminasi oleh sistem kapitalis? Ketika ada tuntutan untuk saling menukar rasa, bahkan ditukar dengan rasa yang sama. Pemberian atau pengekspresian rasa seperti harus ditukar dengan sesuatu hal yang lain. Selalu atas nama pertukaran. Kalau begitu, keadaan atau kejadian rentan sekali dengan untung atau rugi.
Padahal, rasa itu jauh sekali dari timbangan. Walaupun, rasa itu tetap mempunyai pagar semu di sekelilingnya dengan satu pintu kecil yang bisa ditutup dan dibuka. Kadang bisa diperluas batasnya atau bahkan diperkecil. Lagi-lagi, rasa itu, kan, bukan untuk diperhitungkan, bahkan batasnya pun tak patut dipertanyakan. Dia ada sebagaimana dia. Keadaannya tak usah dipertanyakan, apalagi diperhitungkan. Aku pun maish terjebak dalam pikiran kebanyakan.
Bukankah sah-sah saja untuk mengekspresikan perasaan tanpa mengharapkan perasaan itu kembali utuh, bahkan sedikit. Siapa yang pada awalnya memberi sugesti bahwa itu akan membawa sakit? Siapa yang menuliskan pada “seharusnya” bahwa itu harus timbal balik? Itu kan bisa membuat mereka langsung merasa tertolak dan enggan menyentuh rasa itu lagi.
Jadi, siapkan diri dan hatimu. Aku akan mengekspresikan rasa ini semauku. Ya, semauku. Aku hanya mau melakukannya ketika aku mau karena di situlah ada keikhlasan yang begitu dalam. Di situlah ada kemurnian rasa ini yang suka dilupakan. Bahkan, aku pun suka lupa bagaimana caranya.
Aku akan menghilangkan segala ekspektasi hasil konstruksi itu. Biarkan aku merasa dengan caraku sendiri. Tanpa ekspektasi untuk dibalas seperti yang mereka elu-elukan di setiap sajaknya. Tanpa takut penolakan seperti yang mereka ingkari pada setiap lariknya. Rasa ini tak perlu berani atau takut sekali pun. Ia harus sanggup berdiri sendiri sebagai rasa itu. Dan punya kedudukan yang sejajar dengan si empunya rasa. Saling mengontrol untuk dekat dan jauh seperlunya, pada saat yang bersamaan pun menyanggupi.
Aku berdiri di sini bersama rasa. Rasa itu tidak lagi menjadi bagian dalam dirikku. Ia tumbuh dan hidup bersamaku. Kami sama-sama sebagai subjek. Sama-sama mengekspresikan dan sama-sama memberi kekuataan. Ia tidak lagi di dalam sini. Ia sudah berdiri di samping dan menjadi lebih kuat.
Siapkan dunia kami!
Kenapa rasa ini sudah mulai dikontaminasi oleh sistem kapitalis? Ketika ada tuntutan untuk saling menukar rasa, bahkan ditukar dengan rasa yang sama. Pemberian atau pengekspresian rasa seperti harus ditukar dengan sesuatu hal yang lain. Selalu atas nama pertukaran. Kalau begitu, keadaan atau kejadian rentan sekali dengan untung atau rugi.
Padahal, rasa itu jauh sekali dari timbangan. Walaupun, rasa itu tetap mempunyai pagar semu di sekelilingnya dengan satu pintu kecil yang bisa ditutup dan dibuka. Kadang bisa diperluas batasnya atau bahkan diperkecil. Lagi-lagi, rasa itu, kan, bukan untuk diperhitungkan, bahkan batasnya pun tak patut dipertanyakan. Dia ada sebagaimana dia. Keadaannya tak usah dipertanyakan, apalagi diperhitungkan. Aku pun maish terjebak dalam pikiran kebanyakan.
Bukankah sah-sah saja untuk mengekspresikan perasaan tanpa mengharapkan perasaan itu kembali utuh, bahkan sedikit. Siapa yang pada awalnya memberi sugesti bahwa itu akan membawa sakit? Siapa yang menuliskan pada “seharusnya” bahwa itu harus timbal balik? Itu kan bisa membuat mereka langsung merasa tertolak dan enggan menyentuh rasa itu lagi.
Jadi, siapkan diri dan hatimu. Aku akan mengekspresikan rasa ini semauku. Ya, semauku. Aku hanya mau melakukannya ketika aku mau karena di situlah ada keikhlasan yang begitu dalam. Di situlah ada kemurnian rasa ini yang suka dilupakan. Bahkan, aku pun suka lupa bagaimana caranya.
Aku akan menghilangkan segala ekspektasi hasil konstruksi itu. Biarkan aku merasa dengan caraku sendiri. Tanpa ekspektasi untuk dibalas seperti yang mereka elu-elukan di setiap sajaknya. Tanpa takut penolakan seperti yang mereka ingkari pada setiap lariknya. Rasa ini tak perlu berani atau takut sekali pun. Ia harus sanggup berdiri sendiri sebagai rasa itu. Dan punya kedudukan yang sejajar dengan si empunya rasa. Saling mengontrol untuk dekat dan jauh seperlunya, pada saat yang bersamaan pun menyanggupi.
Aku berdiri di sini bersama rasa. Rasa itu tidak lagi menjadi bagian dalam dirikku. Ia tumbuh dan hidup bersamaku. Kami sama-sama sebagai subjek. Sama-sama mengekspresikan dan sama-sama memberi kekuataan. Ia tidak lagi di dalam sini. Ia sudah berdiri di samping dan menjadi lebih kuat.
Siapkan dunia kami!
Komentar
Posting Komentar