Rumah Indonesia
Pada satu kesempatan
wawancara, saya diberi pertanyaan, “apakah kekuatan budaya Indonesia yang dapat
mendorong demokrasi di Indonesia?” Dari pertanyaan itu, saya ingat penelitian
yang dilakukan oleh Saya Sasaki Shiraishi. Dia orang Jepang yang memaparkan bahwa
relasi begitu penting dalam kehidupan di Indonesia, termasuk kehidupan politik.
Berangkat dari
pertanyaan tersebut, pikiran saja menjelajah. Keluarga cenderung mempunyai satu
tempat tinggal—apapun bentuknya, tetapi biasa disebut dengan rumah—yang menjadi
ruang tersendiri. Ruang itu biasa digunakan untuk berdiskusi sebagai keluarga;
menyenderkan kepercayaan, berbagi suka-duka, dan tempat untuk saling berbagi
dalam keadaan apa pun.
Jika benar Indonesia
ini adalah rumah saya, kenapa saya tidak merasa seperti ada di tempat tinggal
sendiri? Jika pemimpin itu seharusnya menjadi orang tua saya, kenapa saya tidak
percaya dengan mereka? Kadang, saya malah merasa tidak percaya dengan saudara-saudara saya yang berusaha saling menjatuhkan untuk mendapat perhatian
dari orang tua.
Mungkin, beberapa
saudara saya dapat menyandang dana demi kehidupan orang tua saya sehingga orang
tua saya benar-benar membela mereka dengan alasan di balik alasan. Namun,
sebenarnya, uang itu pun diambil dari jerih saya pula yang saya kumpulkan tanpa
korupsi. Uang itu saya rela berikan atas nama kebersamaan keluarga. Kenapa
mereka ambil uang saya dan memberikannya kepada orang tua saya dan seolah-olah
itu hanya dari mereka?
Di rumah yang
terlalu besar ini, saya merasa sendiri. Semua orang berlomba untuk slaing
berkhianat. Saling melindungi selalu diakhiri dengan jeratan. Saudara
kesusahan, tak ada yang melirik. Uang trilyunan justru pada berteriak asyik.
Semua bersusah payah
menyalahkan buyut. Akan tetapi, untuk apa? Tak perlu kuburan mereka kita
bongkar dan sesaat kemudian keluarga kita baik-baik saja. saya hanya ingin
percaya. Itu saja. Takut saya akan terobati dengan percaya. Rasa pesimis itu
akan mati dengan percaya. Siapa yang bisa dipercaya?
Orang tua saya
terlalu jahat dan menyiapkan masa depan kelam. Beberapa saudara saya diam-diam
menyimpan harapan dan melakukan sesuatu untuk memperbaiki keadaan. Kenapa saya
tidak diajak? Saya bukanlah anak kecil yang dianggap belum saatnya untuk paham.
Itu nisbi. Jelaskan saya tentang keadaan rumah ini. Saya tidak butuh
selentingan yang semakin menghancurkan. Saya ingin ada di rumah ini. Saya ingin
anak saya tumbuh di rumah yang penuh dengan kepercayaan dan harapan.
Meskipun demikian,
saya tetap yakin. Indonesia akan menjadi rumah yang sehat. Saatnya berpegangan
tangan dengan saudara terpercaya. Dan, saya harus siap untuk dipercaya.
Komentar
Posting Komentar