Jenakalah


Setiap kali, tawamu membahana untuk menertawakan kepincangan dunia. Hanya matamu yang kutatap tiap berpapasan. Apakah itu lebam dalam matamu? Tertutup rambut yang beterbangan saat tawa menggelak.

Kamu pasti tahu. Aku tak akan menanyakannya. Sudah tahu betul jawabmu, “hidupku tak pernah menderita, segala pedih kusambut dengan jenaka”. Kemudian, kamu akan bilang aku terlalu melebihkan segala yang ada.

Jenakalah. Toh, jenaka pun berawal dari duka. Jika luka ingin kau nikmati tanpa berbagi, aku menanti. Kita punya cara masing-masing, begitu kerap kau katakan.

Diam-diam, kamu tak pernah tahu. Aku menanti segala nanti. Ketika kamu mengira aku bergerak melonjak, tuturku menggenang tanpa aliran. Kita bersama tanpa berdekatan.

Komentar