Paradoks
Ikhlas menjadi buah
bibir di mana-mana. Sering kali dijajakan orang-orang selayaknya barang
dagangan andalan. Diumbar-umbar dan diperlakukan sebagai janji kepastian untuk
keadaan yang lebih baik. Paradoks. Pada saat yang sama, mereka mengumbar
ketidakpastian untuk sesuatu yang tidak mungkin: kepastian.
Pada suatu malam,
seorang pencari pernah bercerita tentang perjalanannya menemukan keikhlasan.
Ikhlas dirasakan betul ketika ia membuang air besar. Sesuatu yang sudah ditahan
lama kemudian begitu saja rela dilepaskannya. Tanpa tahu, setelah itu apa yang
terjadi. Dan, tanpa resah berlebihan, keinginan untuk membuangnya akan hadir
lagi dan lagi.
Lagi-lagi, orang kerap
bicara tentang sesuatu yang tidak dipahaminya. Merasa menjalankan, mengalami,
dan selanjutnya ingin mengajarkan orang lain. Sebut saja: tuhan, cinta, hantu,
percaya, termasuk ikhlas.
Kemarin, Jakarta
dikepung mendung sehari penuh. Tak pernah pasti kapan hujan turun. Suasana
berubah muram sekaligus menenangkan. Banyak orang menjadi ragu untuk beranjak:
sebagian ingin menikmati mendung berlebihan, sebagian tak berani berdekatan
dengan hujan yang entah kapan datangnya. Namun, mereka sama-sama menunggu
dengan alasan yang berbeda.
Ketika gumpalan awan
sudah menyadari keberadaannya—begitu pula dengan hujan, berpisahlah mereka.
Tentu saja, dengan ikhlas. Saling melepaskan dengan ikhlas. Kepemilikan semu
merabun menjadi kesatuan bernama langit. Menjadi lebih luas, tanpa maksud lebih
besar. Paradoks. Berpisah serta-merta bersatu.
Bukankah alam selalu
meneladani banyak hal?
*Dan,
saya yakin, air hujan pun akan bermuara pada Samudra. Samudra, kamu ada tanpa
hadir.
Komentar
Posting Komentar