Oleh-oleh dari Rumah Seni Cemeti


Laki-laki setinggi kurang lebih satu meter. Bertelanjang dada dan juga kakinya, bercelana pendek, dan tak ada bulu di sekujur tubuhnya—entah di dalam celananya. Itu membuatnya ia terlihat seperti anak-anak.

Di punggungnya, terpikul layaknya tas ransel berupa sangkar burung. Dipenuhi dengan burung-burung, mungkin merpati, berwarna putih. Burung-burung yang ada di bawah sangkar tergeletak, mati. Beberapa burung yang masih hidup bertengger di jeruji sangkar. Beberapa burung sejenis juga ada yang bertengger di atas sangkar.

Oh iya, apakah saya sudah menyebutkan kepalanya juga mengenakan topeng kepala burung berwarna hijau?

Saya melihatnya di Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta. Terusik selama beberapa malam ke depannya, saya memutuskan kembali lagi untuk melihat ulang. Entah buat apa. Saya hampiri dan melihat dari jarak yang sangat dekat. Kemudian, bertanya dengan berbisik-bisik, takut si anak laki-laki berkepala burung itu mendengar, “Ini karya siapa?”

Saya ini tak ada jiwa seni, paham seni pun sama sekali tidak. Namun, saya tergugah dengan kesan yang saya tangkap dan bawa pulang tanpa sadar. Ini seperti begitu personal bagi saya; membangkitkan kesadaran yang sudah lama terlelap. Ini dia yang saya bawa pulang.

Burung selalu dekat dengan kebebasan bagi saya. Mungkin karena hampir semua burung bisa terbang dan manusia tidak bisa melakukannya. Kemudian, manusia cenderung ingin melakukan sesuatu yang tidak bisa; cenderung ingin merasakan yang tidak bisa. Pun, jika tidak bisa itu tidak ada, setidaknya sangat susah; melebihi sulit.

Gilanya, manusia sendirilah yang memikul sangkar kebebasan itu. Lebih gilanya lagi, kebebasan itu disangkarkan sendiri oleh manusia. Kemudian, mereka mencak-mencak soal kebebasan yang direnggut. Dan, diperparah dengan misuh-misuh atas perilaku atau keadaan di luar dirinya sendiri. Kebebasan yang dicari-cari di depan matanya malah ada di punggungnya yang justru menjadi bebannya.

Bahkan, kebebasan itu sendiri mati di dalam sangkarnya. Kebebasan lain yang justru ada di luar sangkar malah tak berani meninggalkan teman-temannya di dalam sangkar. Sebebas-bebasnya, tetap ada pilihan untuk menetap. Ia tetap tak terbang jauh, mengikuti di belakang tanpa terlihat.

Maka, kebebasan justru kehilangan maknanya.

Anak laki-laki itu terus menatap ke depan, pun saya sudah berada tepat di depannya. Seseorang berbisik di telinga saya, “Ini karya Arya Panajalu.” Saya terus menatap anak laki-laki yang matanya tak terlihat itu.

Anak laki-laki tersebut tak bergerak. Kepalanya tetap menghadap ke depan. Ia seakan masih mencari sesuatu yang sudah dipikulnya—mungkin tanpa sadar—berusaha menemukan mencari sesuatu yang justru dikekangnya sendiri. Padahal, ia sudah hampir menjelma burung itu sendiri dengan kepala hijaunya. Dan, ironisnya, satu-satunya burung yang memang menjadi miliknya tak terlihat keberadaannya; mendekam dalam celana tanpa ada tonjolan yang signifikan. Entah memang sedang tidur di dalam atau justru ia yang lepas berterbangan. 

Komentar