Dalam Komat-kamitku, Kusebut Namamu
Selepas diskusi tentang imigran gelap di Belanda hingga lewat tengah malam, kereta sudah tidak beroperasi menuju kota saya. Saya terpaksa menelantarkan diri di kota asing itu. Sebenarnya, kota itu tidak terlalu asing karena kekasih saya tinggal di sana. Namun, saya tahu betul ia senggan menampung saya. Modal dia banyak omong dengan otak yang lumayan encer, sayangnya tidak disertai dengan kecairan membawa orang pulang ke tempatnya. Tapi, malam itu, sepertinya dia tidak punya pilihan lain. Jadilah itu malam pertama saya tahu tempat tinggalnya. Anggaplah itu kamar seluas empat kali lima meter dengan kamar mandi di dalam. Satu kasur berukuran kecil ada di pojok dengan meja di sebelahnya dan dikelilingi oleh rak-rak buku. Iya, rak-rak, lebih dari dua. Di ujung, ada satu jendela kecil dengan meja belajar kecil menyempil dan hampir tertutup oleh buku-buku. Seperti biasanya, ketika baru pertama kali ada di ruangan asing, saya langsung menyapu dengan pandangan. Ruangan ini berbeda dari...