Postingan

Menampilkan postingan dengan label Puisi

Kekacauan Covid

Gambar
Tertelan karbon dengan emisi yang terus dipupuk Tertimbun utang dengan tagihan yang tak terbayar Tertinggal vaksin tanpa bukti Di mana lagi guna mesti disuap? Negara seakan semakin tua Bukan lagi mengurus, melainkan menuntut untuk balas budi Tarian dan obrolan tak lagi melatih hasrat Kita terjerembab dalam kematian yang terus tertunda Kita dibiarkan hidup Diajak membara Dengan api yang terus terpadam Apa lagi guna hidup? Ketika banyak pelan-pelan mengundurkan diri dari kehidupan Sebagian dipecat tanpa persiapan Yang bertahan mengeruk keuntungan Jualan yang pasti hanyalah cara bertahan hidup Berada dalam pusaran ghoib Apa saja dipercaya daripada kehilangan pegangan Mati juga bukan pilihan Dia jadi produk keamanan Sedangkan kami tak sanggup membeli kematian Hasrat mati sudah sirna sejak kehidupan tak berani menjanjikan apa-apa Pulang ke rumah lewat jalan belakang Ruang tamu jadi kumpulan pembunuh

Second Thought

Gambar
I am your second thought The umbrella that you bring along to the door step And tat you put back before leaving the house No matter if it rains or not I’m gonna be your “told ya” at the same time I am your second thought The jogging shoes on your wish list And remove it on the pay day Sweating is not your fav You only like the feeling that you will do it But you wont I am your second thought The records that you give to your friend Which Spotify does not have Listening to other songs just to forget the melody of it Just when you enter the bookstore They play that record without selling it I am your second thought The one you left behind But keep thinking of I am your second thought The one that keeps you feel alive But you’ll survive without I am your second thought The confusion to be put on should have and shouldn’t have list The what if, the bless, the regret The avoidance I am also your second thought The daughte...

Galaksi Kosong

--> Kemudian terbanglah ke galaksi Menempa sunyi yang sepi Dibebat dingin Tanpa hujan angin Redup… redup… biar hilang segala degup Henti… henti… sampai tiada napas dan mati Melangkahlah dari bumi Tak ada lagi yang alami Kerja hanya bungkusan budak Peduli hanya janji yang mengudak Biru ini semakin melebam Menatap harapan menenggelam Meredam pendar sampai mati Menjadikan segala jadi nisbi Rindu dan puisi sama-sama kosong Manusia dan cahaya menggosong

dua desember

di kota tak bersudut, semua serba putih diumbar segala kekuatan yang dilatih berawal ketidaktahuan menjelma patih di mana lagi mesti kita tanamkan letih? demi nalar, lebih baik kalah atau salah? demi benar, lebih baik takut atau kalut? perayaan berjejalan menjadi ancaman pembiaran malah memantik pertanyaan apakah sedang menghimpun ketakutan? atau malah menimbun kebebasan? demi nalar, lebih baik kalah atau salah? demi benar, lebih baik takut atau kalut?

Cerita Hari Minggu

Hari ini saya kebosanan. Mungkin itu kata halus dari kesepian.  Saya hubungi teman-teman. Satu sedang kencan. Satu sedang jalan-jalan. Satu sedang arisan. Satu sedang latihan.  Coba kirim pesan ke lain kawan-kawan. Satu dengan anjingnya sudah janjian. Satu ada  kerjaan untuk bayar tagihan. Satu lagi tidak dapat balasan. Akhirnya bertemu dengan satu teman yang janjinya terus dibatalkan. Ternyata dia butuh hiburan. Baru saja gagal perkawinan. Sebelum ijab kabul, sudah banyak permintaan. Satu temannya datang. Katanya, sedang dililit utang. Melambung tinggi harga semua barang. Pendapatan di bank hanya lalu-lalang. Satu lagi tiba, lelah menyupir mobil bukan milik pribadi. Dipecat pas anak mau masuk sekolah sebulan lagi. Pasangan ngomel karena makanan tidak bergizi. Surat pecat disimpan dalam laci. Akhirnya, mereka adu tragedi. Temannya ada yang ditinggal pergi. Pacarnya sekolah ke luar negeri. "Kamu ke sini atau kita ...

kepada siapa babu boleh mencinta?

mindik-mindik untuk curi lirik majikan datang tanda kepulangan ajudan lari ke beranda supaya pintu terbuka mobil mewah berlalu, mata hamba masih sayu ibu menyeduh kopi hitam, kesukaan majikan hamba bergegas ke dapur, urung buat kencur ajudan ke belakang, air dijerang hamba taruh jemuran, menyembunyikan pandangan ketangkap mata, hamba berlalu tanpa harta ibu, kepada siapa hamba boleh mencinta? siapa saja, asal setara ibu, siapa sama di dunia? cari sesama babu biar tak malu hujan gerimis, jemuran perlu ditepis angin bawa kutang ke mangga matang hamba rendah, ajudan ambil galah malu menangis, beliau bilang tetap manis kenapa kita jadi babu, ibu? masih banyak cinta, katanya, terus meminta tuhan di mana? masih di penjara? tuhan bukan babu. jadi hamba perlu malu?

tunawisma

meminta pulang agar bisa bersulang jiwa sudah berjurang sampai memberang segala yang besar jauh dari hambar kami didekap gentar, dikuntit ambyar pikiran adalah hantu di gang buntu ragu membatu, takut tak menentu rasa dianggap penyelamat terlambat menjadi sekat yang perlu dijerat diminta menguap hingga terlelap memang alap, apakah layak lenyap? menolak pulang hanya untuk bersulang terus menjerang sebelum habis perang

nyala

Kepada siapa atau apa Percaya harusnya dipapah Kejujuran apa begitu susah Untuk resah tetap merekah Adakah pengakuan pengkhianat? Patutkah dan layakkah dijerat ? Seolah terpisah sebab-akibat Menunggu sayu sampai berkarat Diam ini bukan hanya geram Juga upaya menyapih dendam Luka tidak menghentikan tumbuh Malah bergerak laju menubuh

Telat

Kerinduan baiknya dipupuk? Atau, ditusuk hingga tanpa bentuk? Mungkin, ditanam dalam-dalam? Agar malam bisa tetap tenteram Kehilangan tak perlu balas Pun selalu muncul itu paras Tapi kata-katanya tertinggal Pelukannya terasa tak janggal Jalanan basah dan kosong Lampu kuning siapa yang bohong? Kapan dan di mana sudah saru Makna dan arti membaru

Moal

Yang kalian siram adalah dendam Atas kesalahan yang dikubur dalam Tumbuh subur menjadi geram Sambil dielus sayang sampai padam Kalian lupa, kami adalah akar Tak tumbuh ke atas namun menjalar Siap mencakar dalam kelakar Sambil tetap tersenyum gentar Den Haag, 3 November 2015

Beleguk sia

Kami kecil dan menyala Kadang ragu dan tunda melulu Ini ada yang kami bela Sesiapa yang pernah lenyap di hulu Siapa kami? Tersiksa pun tidak Paham setengah, kemudian belaga galak Kami hanya percaya perlu suara Terhadap tindakan keparat mereka Padamkan kami dengan segala ancaman Murka ini akan jadi dendam Berkerak hingga hilang kepercayaan Bahwa mereka bukan pembawa keadilan Den Haag, 3 November 2015

Kepada Simone de Beauvoir

saya datang tanpa bunga apalagi doa terima kasih telah mengajarkan ada juga cinta Paris, 14 Oktober 2015 *dalam kunjungan ke makam Beauvoir dan Sartre

perkemahan

orangtuaku tinggal di kemah dengan paku tenda yang rentan juga atap yang siap mengucurkan air kala hujan ibu sibuk memanaskan tungku dari kayu bakar yang selalu padam bagaimana dengan ayah? terduduk diam di ambang kemah nyaris kalah dengan keadaan kakakku menyiapkan barisan mengambil tas tanpa isi mencium tangan kedua orangtuaku sambil bilang, "aku berangkat dulu ke kota mencari apa yang bisa dicari" beda pula dengan satunya datang dari belantara hutan membawa satu kaleng bekas berkarat "bu, ini lumayan untuk minum nanti" diletakkannya kaleng itu di bawah tenda yang bocor satunya menghampiriku yang sibuk menggali lubang entah buat kotoran atau jenazah keduanya sama saja, sama-sama belum ada dia mengangkat bahu ketika saya tanya, "mas, apakah ini lebih baik daripada kematian?" Den Haag, 22 September 2015

Lunar

Saya bertanya-tanya, apakah hubungan kita memang dipengaruhi jarak? Di sini maupun di sana, kamu tampak sama anggunnya Pembicaraan kita pun tentang itu-itu saja Di Noordeinde, ada keputusasaan yang saya bagi Kamu menenangkannya, “segalanya ada waktunya, hadirku pun ada waktunya” Saya melawan malam itu, “tapi, hadirmu juga pasti” “hadir semuanya juga pasti, pun kamu tidak percaya,” tegasmu dengan lembut

Terlilit Sembelit

Ujung sebelah sana dipegang Yang sebelah sini juga Tanpa aba-aba, kedua ujung memilin berkelindan Ujung sana ada di atas, diputar di ujung, kembali lagi melalui jalur bawah Serong kanan, serong kini Melilit di atas, juga di bawah Terus-terus saja Tak ada simpul mati Sampai jadi tenunan kuat Pun ada rongga di tengah-tengah Tak terburai jika ditarik-tarik Ibu datang dengan pertanyaan, “Itu apa?” “Gelisah, Bu” “Masih ada?” tanyanya lagi “Kuhabiskan biar Ibu tak kebagian”