Memanusiakan Manusia
Objektif. Itulah yang
sering orang gadang-gadang sebagai modal utama dalam hal berargumentasi atau
sekadar memberikan penilaian. Pertanyaannya adalah seberapa bisa kita untuk
menjadi objektif? Lebih penting lagi, seberapa penting kita untuk menjadi objektif?
Jangan-jangan,
objektif hanyalah penyangkalan terhadap diri sendiri. Pertanyaannya adalah
siapakah yang dikeluarkan dalam bingkai objektivitas? Tentu, diri sendiri.
Seakan-akan subjektif menjadi begitu keji. Bukankah dalam nyaris semua hal,
pengalaman, pandangan, juga kepercayaan diri sendiri mempunyai pengaruh
signifikan dalam berargumentasi, menilai, juga bahkan berkarya?
Subjektivitas sudah
digarap sebagai metode utama, apalagi di kalangan feminis,
postdevelopmentalist, juga seniman. Subjektivitas mungkin persoalan
memanusiakan manusia kalau bisa disederhanakan secara asal-asalan. Bukan hanya
memanusiakan pelaku yang punya emosi dan pengalaman masing-masing sebagai sebut
saja pendebat, peneliti, atau seniman, tapi juga memanusiakan orang lain yang sedang
saling berdialog, menilai, mencipta. Oposisi biner sudah menjadi usang. Pelaku
mempunyai peran utama. Misalnya, apa saja yang sedang dirasakannya ketika
sedang berdebat, meneliti, atau berkarya? Kesadaran tentang keadaan dirinya
sendiri pada saat itu yang dapat mempengaruhi nilai-nilai yang diberikan.
Itulah jurnal harian peneliti, khususnya dalam kasus etnografi dan feminisme,
sedang digalakan menjadi sesuatu yang penting dan relevan.
Selain pelaku, pun
semua menjadi pelaku dalam hal ini, subjektivitas dari kawan dialog menjadi
penting juga. Ini dia yang penting karena seringnya orang (pendebat, peneliti,
seniman) merasa mempunyai ‘kekuasaan’ untuk menilai yang katanya objektif
dengan menggunakan atas nama pendidikan, misalnya. Tapi, pendidikan punya siapa?
Pendidikankah yang menjadi kekuasaan dominan? Merasa lebih berpendidikan
kemudian ‘dalam rangka mengedukasikan’ orang-orang yang dianggap tidak
berpendidikan dengan caranya. Misalnya, merasa sudah menempuh pendidikan yang
lebih tinggi dengan gelar yang panjang atau sekadar sekolah di negara-negara di
utara yang dianggap maju kemudian melepaskan esensi dari pendidikan informal
yang merupakan pengetahuan lokal. Apakah karena mereka mempunyai pengetahuan
yang berbeda kemudian dianggap menjadi lebih tidak bermakna? Ya, saya sengaja
menggunakan frase ‘lebih tidak bermakna’ karena jangan-jangan pendidikan yang
dibangga-banggakannya bisa jadi tidak bermakna juga atau jauh lebih tidak
bermakna.
Saya teringat
pembicaraan di kereta dengan seseorang yang berasal dari kelas menengah ke
atas. Kala itu, ia sedang menempuh pendidikan pertanian di negara bekas
penjajahnya. Kemudian, saya bertanya kepadanya, apa yang akan dia lakukan
sepulangnya nanti. Dia jawab tegas, mengajarkan petani-petani di desa yang
belum punya pendidikan bagaimana pengolahan pertanian yang efektif. Saya mau
muntah. Saat itu juga. Jawaban dari pendidikan tingginya itu seakan meniadakan
pengetahuan lokal dan pengalaman petani di negaranya yang sudah dilakukan
secara turun-temurun, pun terpaksa memasukkan doktrin Si Bapak
Pembangunan—katanya—yang cukup bikin pertanian karut-marut. Apakah keinginan
mulianya sudah mempertimbangkan relasi sosial yang dibangun oleh petani lokal
yang secara turun-temurun? Transfer pengetahuan dengan cara yang sesuai dengan
budaya setempat kemudian mulai terasa hilang harapan.
Pun saya sadari pula,
identitas dan juga perasaan bukanlah sesuatu yang punya garis tegas dan ketat;
justru fleksibel. Pengalaman ini terasa betul ketika saya mengikuti pemutaran
film dokumentasi yang dibuat oleh orang Amerika Serikat tentang Zapatista di Meksiko.
Film itu tentang pembuatan mural oleh Zapatista. Diskusinya kemudian membahas
tentang peran mural dalam gerakan. Salah satu pertanyaan yang muncul dari
seorang akademisi yang bergelut di dekolonisasi adalah, “Mengapa di video
barusan, pencerita menggunakan bahasa Inggris dengan aksen Amerika Serikat yang kental
dan juga beberapa pemural yang ditunjukkan adalah orang-orang yang berasal dari
negara lain?” Karena pernah berdiskusi dengannya, saya bisa menduga-duga arah
pertanyaannya. Bagaimana dengan nasib identitas Zapatista sendiri? Pertanyaan
itu dijawab oleh seorang akademisi lain, teman diskusinya, yang berasal dari
Meksiko, pun bukan Zapatista. “Ini terkait dengan subjektivikasi. Mereka
dianjurkan untuk tidak mempertunjukkan Zapatista yang melakukan aktivitas
karena mereka bukanlah objek. Para orang asing ini menunjukkan dirinya sendiri justru
demi identitas Zapatista sekaligus memberikan subjektivitasnya.”
Sepulang dari
penanyangan bonus diskusi itu, saya membuka akun instagram saya. Semata-mata,
saya mau reka ulang seberapa sering saya mengobjekkan orang lain dengan
mengunggah foto orang lain, bahkan tanpa seizin darinya, bahkan mungkin tanpa
sepengetahuan dirinya. Saya merasa bersalah. Saya menemukan beberapa foto yang
tanpa sadar menjadikan orang-orang sebagai objek, tanpa adanya saya di dalam
bingkai itu. Ini cukup meresahkan. Beberapa kali saya mengobjektivikasikan
keponakan saya sendiri; orang yang saya sayang. Mengunggah fotonya tanpa
menanyakan kesediannya, bahkan mungkin ia juga tidak tahu bahwa fotonya sudah
beredar di media sosial. Saya melewati pembenaran tidak masuk akal yang
terlintas, “seberapa banyak orang yang melihatnya juga, toh pengikut saya tidak
banyak.” Tidak, saya berhenti melakukan pembenaran itu setidaknya saat ini.
Bagaimana dengan orang-orang yang suka
mengunggah foto anaknya sendiri? Lupakan penampilan senonoh anaknya yang bisa
tersebar dan dia serta teman-temannya akan melihatnya dalam kurun waktu 15
tahun mendatang misalnya. Apakah mereka sudah menanyakan kepada anaknya?
Misalnya, “Nak, apakah saya boleh mengunggah fotomu yang ini di media sosial
saya? Tapi, nanti, teman-teman saya dan juga orang-orang yang tidak saya kenal
bisa lihat kamu begini.” Atau, karena mereka belum cukup umur dan secara hukum
masih di bawah perwalian orangtua, itu menjadi sah-sah saja sebelum ditanyakan?
Atau, karena dianggap belum mengerti, orangtua menjadi merasa punya hak untuk
melakukan itu? Jadi, apakah kita semua sudah memanusiakan anak, keponakan,
adik, teman, sahabat, pacar, selingkuhan kita, petani, atau orang yang tidak
kenal sekalipun?
Ini juga mendorong
saya untuk mempertanyakan konsep “pengarang sudah mati”. Apakah benar pengarang
benar-benar mati setelah mencipta? Bukankah ada identitas yang tertinggal dari
setiap tulisan, karya, juga foto di instagram? Asumsi-asumsi atas nama
persetujuan semakin tumbuh subur tanpa dikonfirmasi ulang. Dan, ya, banyak hal
perlu dikonfirmasi ulang, mungkin.
Pernyataan-pernyataan
semacam “Ini bukan tentang saya. Ini pengalaman kolektif” juga bisa
dipertanyakan kembali. Memang, sekasar-kasarnya perumpamaan, tidak perlu
menjadi miskin untuk bicara tentang kemiskinan. Tapi, juga bukan serta-merta
bisa bicara sebagai perwakilan orang miskin yang merasa lebih tahu dan lebih
pandai untuk mengungkapkannya. Simpati atau empati boleh saja. Itu awalnya dari
menghargai subjektivitas, tapi bukan sama sekali menghilangkan
subjektivitasnya. Pun, subjektivitas Anda sendiri juga tak kalah penting.
Oh iya, sebelum
cercaan lebih jauh kepada saya, ini juga bentuk kritik saya terhadap diri saya
sendiri, kok.
Bahh!! Miripp!! Tp tulisan lo jauh lebiihh luas dan selalu kereenn!!
BalasHapus