Bapak Mau Jalan-jalan
Kanal menelusuri kota
dengan memanjang, entah di mana ujungnya. Mungkin juga kanal itu tanpa puan
maupun tuan. Pada satu perempatan di Den Haag, ada satu jembatan di atas kanal
yang bisa dilalui segala kendaraan, juga pejalan kaki. Sore yang menggelap, begitulah
musim dingin menandai, angin berlalu. Bukan lagi bersemilir, tetapi berhamburan
memaksa pesepeda mengayuh sepedanya dengan lebih kuat, apalagi pejalan kaki.
Ketika melintasinya,
saya melihat tiga bapak-bapak yang berhenti di jembatan. Dua dari tiga
mengambil gambar. Seorang di antaranya saya kenal betul, dia adalah adik dari
Bapak saya. Saya membatin, “Sedang apa dia di sini?” Ternyata, Bapak ada di
situ juga dengan pakaian hangat yang melilit. Wajahnya, juga tubuhnya, mendekap
sendirian, seperti terakhir kali dia menginjakkan kakinya di Den Haag. Kedinginan.
“Bapak, sedang apa di
sini? Ini dingin sekali,” setelah saya menghampirinya.
“Jalan-jalan saja,”
masih dengan gayanya yang seolah tak mau diperhatikan.
“Ibu tahu Bapak di
sini?” tanya saya khawatir.
“Enggak, tadinya ‘kan
mau jalan-jalan yang deket saja. Eh, tahunya sampai sini. Sayang, Non, tinggal
tiga minggu lagi. Masa di kamar saja?”
Tangan saya lilitkan
di lengannya. “Ayo, ke kamar saya dulu. Sekarang kamar saya di bawah, Bapak
tidak perlu naik tangga. Saya mau pakai jaket dulu, nanti saya antar Bapak
jalan-jalan,” sembari mengajaknya berjalan menuju kamar saya.
Dalam perjalanan,
saya menimang-nimang tempat minum teh atau kopi yang tidak jauh. Saya mau
menghabiskan sore ini bersama Bapak. Bicara tentang apa saja. Mendekatkan jarak
yang selama ini merenggang. Saya memutuskan untuk mengajaknya ke tempat menuju
tempat tinggalnya sehingga ia tidak perlu berjalan jauh untuk kembali. Bapak
tidak sekuat masa mudanya. Dia bahkan tidak seharusnya ada di luar ruangan.
Setelah perjalanan
yang tidak jauh, kami tiba di kamar saya. Rasanya, itu memang kamar saya, tapi
letaknya tidak semestinya di sana. Bapak masuk. Kamar dalam keadaan lebih rapi
daripada biasanya.
“Kamu masih sekolah?”
tanya Bapak.
“Saya sudah selesai,
Pak. Sudah wisuda minggu lalu,” jawab saya sambil menyambar jaket.
“Kok Bapak tidak
tahu? Bapak kira kamu masih sibuk menulis,” entah dengan nada bangga atau
kecewa.
“Aku kasih tahu Ibu
dulu kalau Bapak sama saya. Nanti, Ibu bingung cari-cari Bapak. Kita
jalan-jalan dulu, ya, sebelum Bapak pulang.”
“Iya, Bapak mau
jalan-jalan,” jawabnya tanpa mau duduk di kamar saya.
Saya merinding. Udara
pada musim dingin begini memang menusuk. Rupanya, saya tertidur tanpa menutup
jendela kamar. Saya di Den Haag dan Bapak di Jakarta. Tiga minggu lagi, saya
pulang. Tunggu saya, Pak. Terima kasih sudah jenguk.
Pepohonan
berduyung-duyung digerakkan angin. Air beriak di kanal dihantam angina. Kanal
masih memanjang, tanpa puan, juga tuan.
Komentar
Posting Komentar