Chloe and Theo: Siapakah South?
Awalnya, saya kira ini film drama romantis dengan
akhir yang bisa ditebak. Iya, saya terlupa dengan “don't judge a movie by its title”. Ternyata, ini adalah film
tentang—kalau mau disederhanakan dengan asal—South vs North.
Di ranah development
(tanpa harus paham apa artinya seperti saya), South dan North menjadi
aktor utama. Entah North adalah diksi
yang tepat atau tidak, atau mungkin sesederhana di antaranya. North merujuk kepada negara-negara di
utara yang sebelumnya dikenal dengan “negara maju” atau “negara dunia pertama”.
Dua diksi terakhir menunjukkan adanya hierarki yang seakan lebih baik daripada South atau sebelumnya disebut-sebut
sebagai “negara berkembang” (kemungkinan besar cara halus daripada
menegasikannya) atau negara dunia ketiga. Penggunaannya pun masih dilematis.
Sebagian lebih senang tetap menggunakan “negara berkembang” karena digunakan
oleh negara berkembang sendiri untuk merujuk dirinya pada sebuah pidato pada
sebuah tahun. Dan, tentu saja, seperti pengetahuan kebanyakan, North dikenal sebagai pihak yang
“lebih”: lebih maju, lebih berpendidikan, lebih oke; pengetahuan yang
mendominasi dan dijadikan standar kehidupan. Sangat mudah mendeteksi ini,
misalnya dengan, “Enak banget, ya, di Eropa. Transportasi publiknya banyak dan
tidak pernah banjir, apalagi macet.” Bagaimana dengan Banjir di Praha pada 2002
dan 2013? Bagaimana juga dengan… baiklah, ini mungkin bisa kali lain saja.
Kembali tentang Chloe and Theo.
Dalam film ini, wacana identitas tentang siapa itu North dan South dipertanyakan. Theo mewakili indigenous people (bahkan diksi saya sudah mulai keutara-utaraan,
ya?) dari utara bumi dari suku Inuit. Saya mengernyutkan dahi sampai kata
Eskimo disebut, barulah saya “Oooh..”. Iya, pengetahuan saya tentang Inuit sepayah itu. Dia ingin
menyampaikan kepada Southtentang—yang memang
disebut demikian dalam filmnya—tentang kerusakan lingkungan yang membahayakan.
Bisa dibayangkan memang sepanjang film, jargon-jargon dari dunia pembangunan
dirayakan betul. Kalimat-kalimat yang ada dalam proposal, pidato, executive summary, website organisasi pembangunan diumbar dengan total. Eits, sebelum dikernyutkan dahi, saya sadar bahwa ini
adalah kritik terhadap diri sendiri juga. Namun, konsep South dan North pada
sebermulanya kemudian berubah. North adalah orang Eskimo (atau yang diwakilkan
oleh orang Eskimo) dan South adalah sisanya (untuk menghindari the rest of the world).
Wacana identitas berubah. Negara-negara yang
tadinya terbagi menjadi dua—South dan
North—dalam film ini menjadi satu
identitas: South. Setidaknya, diharapkan
dianggap sebagai satu identitas. South dalam
Chloe and Theo adalah pihak yang
merusak, membuang-buang, dipenuhi kehidupan semu, dan berjarak dengan alam. Yeah, right! Sementara itu, North adalah kebalikan dari semua itu
(posisi binari macam begini memudahkan penjelasan, tapi juga menyempitkan
angkasa makna). Pun, sebenarnya dalam film itu, South yang dimaksud tetap North pada wacana awal: Amerika Serikat,
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), perusahaan.
Selayang pandang, film ini bisa mempertanyakan
ulang pengetahuan dominan. PBB dan perusahaan kehijau-hijauan yang dianggap
sebagai pahlawan (kesorean) ternyata punya tingkah laku yang serupa dengan
pihak-pihak yang mereka tentang. Pun, sebenarnya dalam kehidupan di luar film
memang tidak jelas siapa yang mereka tentang, apalagi perjuangkan. Kemudian,
pihak-pihak yang dianggap minoritas dan marjinal (diksi yang seksi, ya?) dalam
film ini mempunyai kekuatan. Maksud saya, mereka adalah orang-orang tunawisma
yang sering kali disamaartikan dengan miskin dan masyarakat adat.
Dengan segala usaha dan upaya, mereka bisa membuat
pihak-pihak dengan pengetahuan dominan itu berpikir ulang, walaupun bukan
berarti mengubah. Setidaknya, itu adalah usaha yang mau disampaikan dalam film
yang saya tangkap. Namun, tentu saja, keberhasilan itu berkat bantuan satu
orang yang diwakilkan oleh perempuan (masih diksi yang seksi) dari pihak yang
berpengetahuan dominan. Saya juga tidak menutup mata dan menyamaratakan semua
orang yang dianggap dalam pihak yang sama secara membabi buta. Tentu saja, ada
lapisan angkasa identitas dalam setiap orang, salah satunya adalah sisi
kemanusiaan. Apapun latar belakangnya dan identitasnya, masih ada ketulusan dan
harapan. Senyum, dong, akhirnya ada pernyataan positif.
Bukan hanya sepihak, tapi juga stereotipe terhadap
kaum minoritas dan marjinal ini juga dipertanyakan. Kurang lebih ada dialog
yang disampaikan perempuan penyelamat ini kepada perempuan yang tunawisma:
“Saya tahu kamu punya pengalaman yang tidak mudah. Tapi, menjadi orang jalanan juga
bukan serta-merta menjadikan kamu mempunyai moralitas superior.” Terlepas dari
pembahasan moralitas, tapi ini juga bentuk pertanyaan (kalau tidak mau bilang
perlawanan) terhadap kebenaran atas hak-hak mereka. You are vulnerable, but it does not mean you have to be right all the
time.
Di luar segala mempertanyakan pendapat dominan,
saya melihat film ini pada saat yang sama juga mempertegas budaya dominan
itu sendiri. Pertama, keberhasilan
yang dimaksud adalah keberhasilan dengan standar budaya dominan. Bicara depan
orang banyak, diliput orang banyak, mengenakan baju seformal mungkin, merayakan
dengan segelas alkohol (tentunya dengan gelas yang “beradab”), tampil di media
kebanyakan. Kedua, butuh orang dari
budaya dominan (punya akses terhadap social
capital, human capital, dan tentu saja financial
capital) untuk dianggap berhasil. Ketiga,
stereotipe terhadap orang-orang kaum marjinal dan minoritas diperkuat, misalnya
orang miskin dan orang dengan kulit gelap melakukan kejahatan dan dianggap perilakunya
tidak beradab.
Kalau pakai kacamata film ini tentang identitas South
dan North, siapakah yang paling benar? North.
Siapakah yang mempunyai nurani juga dalam film? North.
Kalau pakai kacamata identitas South dan North dalam dunia pembangunan, siapakah yang membuat kalian berhasil dalam film? North.
Siapakah yang harus mendengar keluh kesah untuk menganggap persoalan kita berarti? North.
Siapakah yang harus mendengar keluh kesah untuk menganggap persoalan kita berarti? North.
Pun, saya sempat mempertanyakan, akhirnya, saya
tetap pada sebermulanya. Ini adalah film drama romantis dengan akhir yang bisa
ditebak. Pun, saya mempertanyakan ini semua (ini bukan nyinyir karena nyinyir
artinya adalah ‘cerewet’, bukan menyindir atau satir seperti yang sering
digunakan oleh kebanyakan orang) bukan berarti saya pesimis. Saya cenderung kontekstual
dan mencoba melihat lapisan-lapisan angkasa makna.
Komentar
Posting Komentar