Saya, Nails, Kotak-kotak, dan Putih
Baju Nails, jeans
usang, dan sepatu vans lusuh. Rambutnya digulung ke atas. Perempuan itu duduk
bersama seorang temannya di meja ini yang kebetulan adalah suami saya. Suami saya pakai kemeja kotak-kotak, sepatu kets Nike, dan juga pakai topi
dibalik. Saya bisa ada di satu meja dengan Mbak ini karena teman laki-lakinya—yang juga suami saya— mengajak saya. Ajakan ini semudah dia lupa janjian dengan teman baiknya, tetapi
terlanjur bikin janji dengan saya. Padahal, saya sudah memohon-mohon waktunya supaya
bisa bicara panjang-lebar macam zaman pacaran dulu. Pernikahan memang tidak
semulus ijab kabul. Alhasil, bersatulah kami.
Tingkat kelupaan teman laki-lakinya memang
melambung tinggi. Bukan hanya janji di antara kami berdua yang bentrok, ada
juga satu janji bersama teman laki-lakinya yang lain—yang teman dekat saya juga.
Temannya semasa sekolah itu datang menyusul. Untuk yang satu ini, kami sering pergi bertiga,
tapi kali ini saya perlu waktu berdua dengan suami saya. Ketika saya tanya
dengan sedikit kesal, “Buat janji dengan tiga orang pada waktu yang sama?” Ia
jawab dengan santai, “Ini Jakarta. Kesemerawutan kota membuat kita perlu siasat
untuk tetap bertahan hidup, baik secara sosial maupun finansial, juga kesehatan
mental sebagai manusia biasa.”
Pelayan datang menghampiri kami di kedai kopi
andalan lelaki berkemeja kota-kotak. Lelaki berkemeja kotak-kota: “Satu kopi
hitam panas. Kintamani. French press.
Buat Mbak ini, satu susu putih hangat.” Dia menoleh kepada saya, “Kamu mau
apa?” Saya yang belum sempat lihat menu merasa kaget karena merasa ada tekanan
untuk langsung memesan, “Satu cappuccino
saja.” Setelah mencatat, pelayan itu pergi. Lelaki berkemeja kotak-kotak
menyalakan rokok. Perempuan berkaos Nails
meletakkan ponsel yang sedari tadi dipegangnya, kemudian ikut membakar rokok.
Saya ingin pergi dari sini, saya tidak mau berada di tengah asap ini.
Perempuan berkaos Nails: “Dari sini, saya masih harus pergi ke Cipete.”
Lelaki berkemeja kotak-kotak: “Ngapain?”
Perempuan berkaos Nails: “Perserikatan Perempuan
Penggambar masih mengerjakan karyanya di sana. Saya mau datang nanti malam.”
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Selesai malam ini?”
Perempuan berkaos Nails: “Nggak tahu.”
Saya diam saja, pura-pura tidak
mendengar dan melihat sekeliling kedai. Saya tidak paham apa yang sedang mereka
bicarakan. Ini adalah saat saya kurang sreg
untuk bergabung dengan orang yang tidak akrab dengan saya. Saya tidak paham
konteksnya. Saya tahu betul mereka berdua memang berkarib. Lelaki berkemeja
kotak-kotak melihat saya, “Dia mau buat konser minggu depan.” Shit. Sekarang, saya harus urun rembuk
dalam pembicaraan ini. “Oh iya, saya dengar dan sempat lihat publikasinya di Instagram. Anak sosial media,” usaha
keras saya untuk mengkritik diri sendiri. Mungkin lumayan untuk membuka
pembicaraan dengannya. Eh, iya, kalau dia mengerti bahwa itu adalah
kritik terhadap diri sendiri. Kalau dia menganggap itu justru bentuk
eksistensi, bagaimana? Ah, saya salah langkah.
Lelaki berkemeja kotak-kotak: “Dia nggak sembarangan bikin konser. Cukup
digarap serius.”
Perempuan berkaos Nails: “Cukup? Sialan!” Tertawa dia.
Saya: “Konser tunggal pertama?” Ya,
kesalahan lain lagi. Saya merasa harusnya tahu tentang dia lebih banyak.
Perempuan berkaos Nails: “Rencananya demikian. Tapi,
ternyata banyak persoalan di persiapannya.”
Saya: “Urusan sponsor dan
perizinan?” Saya mencoba mengingat-ingat omongan suami saya pada malam-malam ketika kami sudah tidak saling mendengarkan.
Perempuan berkaos Nails: “Itu juga. Tapi lebih seru persoalan lainnya: urusan rumah tangga, perceraian, perselingkuhan, jatuh cinta, jatuh miskin, orang tua masuk rumah sakit, perkelahian antarteman. Lebih ribet mengurus persoalan personal daripada hal-hal yang substansial. Mungking, itu justru substansial.”
Perempuan berkaos Nails: “Itu juga. Tapi lebih seru persoalan lainnya: urusan rumah tangga, perceraian, perselingkuhan, jatuh cinta, jatuh miskin, orang tua masuk rumah sakit, perkelahian antarteman. Lebih ribet mengurus persoalan personal daripada hal-hal yang substansial. Mungking, itu justru substansial.”
Saya segera ingin mengganti topik.
Apa? Apa? Apa yang bisa ditanyakan untuk membelokkan arah pembicaraan?
Saya: “Mengapa di Gedung Kesenian
Jakarta? Tempat pantas untuk kesenian? Bergengsi, ya?” Saya harusnya menahan
diri untuk tidak memojokkannya.
Perempuan berkaos Nails: “Hahahaha” Rasanya dia
menerimanya sebagai ledekan. Baguslah. “Sesederhana, merekalah yang mau
memberikan tempatnya berhubung masuk dalam program mereka. Pastinya juga karena
yang sponsor maunya di sana. Kami, sih, senang-senang saja, akustiknya bagus.”
Saya: “Dan, bergengsi. Tentunya
bagus buat cerita ke anak-cucu nantinya.”
Perempuan berkaos Nails: “Kenapa beranggapan saya mau
punya anak-cucu?”
Saya terhujam. Menanggapi dengan
tawa. Mari kita mulai pembicaraan dengan tawa yang perih.
Lelaki berkemeja kotak-kotak: “Dia
justru maunya di tempat yang lebih terbuka. Ini jauh dari harapan dia. Dia
kurang setuju dengan konser yang eksklusif.”
Saya: “Ini Jakarta. Selalu ada
siasat.”
Perempuan berkaos Nails: “Benar. Siasat!” Ia mengacungkan
telunjuknya ke muka lelaki berkemeja kotak-kotak untuk mempertegas kata itu.
Saya tidak paham. Ini pasti ada hubungannya dengan pembicaraan mereka
sebelumnya yang minus saya.
Lelaki berkemeja kotak-kotak: “Iya,
makanya akan ada konser lanjutan, kan?”
Pesanan kami datang. Perempuan itu
mengucapkan terima kasih kepada pelayan dengan senyum lebar dan langsung
menyeruput susu panasnya. Saya memasukkan gula ke dalam cappuccino, bukan gula putih, sebelum sempat menyeruputnya. “Nggak
mau kamu rasain dulu? Nanti kemanisan, lho,” tanya lelaki berkemeja
kotak-kotak. Suaranya terasa lebih lembut ketika bicara dengan saya. “Nggak, ‘kan sudah sering pesan ini,” jawab saya.
Sambil mengaduk, saya mencoba
melanjutkan percakapan, “Konser lanjutan?” mata perempuan itu saya tatap.
Perempuan berkaos Nails: “Iya. Pertunjukan kecil di ruang
terbuka.”
Derap kaki terdengar dari arah
tangga. Itu menyita perhatian kami. Kami pun bertiga menoleh ke arah tangga. Satu
lelaki dengan polo shirt putih
menebar pandang dan berhenti pada meja kami. Lelaki berkemeja
kotak-kotak melambaikan tangannya. Saya menundukkan kepala seolah sibuk dengan cappuccino di tangan. Ia langsung menuju
meja kami. Setibanya, ia menawarkan tangannya kepada lelaki berkemeja dengan
sapaan khas mereka. Kemudian, ia menawarkan hal yang sama
kepada perempuan berkaos Nails, “Hai.”
Perempuan itu membalas salam yang sama. Saya membalas hal serupa ketika
setelahnya saya mendapatkan tawaran salaman yang sama. Ia menatap mata saya
dengan tajam. Pembicaraan basa-basi dilanjutkan. Saya tidak begitu tertarik
dengan hal ini. Saya menyeruput cappuccino
saya. Pembicaraan pun berujung kepada konser perempuan lagi.
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Band kamu
dapat banyak duit dong, ya. Masih seminggu lagi, tiket di GKJ sudah habis.”
Perempuan berkaos Nails: “I wish!” dilanjutkan dengan tawa berbahak.
Saya: “Sudah habis?”
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Habis untuk jatah sponsor, jatah keluarga, dan jatah sesama seniman yang urun
rembuk.” Ikut terbahak dia.
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Tapi, seniman yang membantu tidak banyak, kan?”
Perempuan berkaos Nails: “Tidak, paling sebanyak balkon
kiri-kanan, lah.” Terbahak lagi dia. Ini jelas satir.
Saya: “Jadi, ini lebih ke konser
tunggal yang ekslusif?” Saya pertegas.
Perempuan berkaos Nails: “Konser dari kami untuk kami ini
namanya.” Dia melepas punggungnya di sofa.
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Tapi, tetap dibayar, kan?”
Perempuan berkaos Nails menoleh ke lelaki berkemeja
kotak-kotak. Tatapannya disambut dengan tawa lain. Dua sisanya tidak paham apa
yang sedang terjadi. Terlalu banyak teks yang tidak dikatakan.
Perempuan berkaos Nails: “Banyak hal dilakukan karena
keharusan, ya, meskipun ini konteksnya adalah berkesenian. Kata siapa seni itu
membebaskan? Persetan. Tapi, seperti yang kita obrolin tadi, Jakarta itu butuh
siasat. Mungkin, bukan Jakarta saja.”
Saya: “Mungkin, siasat itu adalah
seni itu sendiri.”
Perempuan berkaos Nails menatap saya sambil mengacungkan
jari telunjuknya. “Aha!”
Kemudian, mulailah dia berceloteh.
Perempuan berkaos Nails: “Rencana awalnya jauh dari ini.
Rencana awalnya adalah melibatkan sebanyak mungkin orang sehingga ada interaksi
antara karya, seniman, dan penikmat, termasuk antarkarya, antarseniman, dan antarpenikmat. Menjadikan
lagu-lagu kami sebagai titik mula saja, kemudian konser dan tentu saja
prosesnya menjadi semacam mediasi untuk berinteraksi. Memang, kebanyakan orang
yang terlibat adalah orang-orang yang sudah saling kenal. Tapi, itu kemudian
berkembang menjadi lingkaran kedua, ketiga, seperti lingkaran di danau ketika
ada batu yang dilempar ke tengahnya. Seperti bisa diduga dan ternyata tidak
bisa dielakkan, keterbatasan finansial dan problematika lainnya yang semakin kusut
membuat konser ini semacam dari kami untuk kami. Jauh sekali dari maksud awal,
bukan?”
Saya: “Bukannya justru bagus karena
sesuai dengan maksud; semakin banyak orang yang terlibat?”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Tapi, tiket justru habis dengan orang-orang yang
terlibat, bukan dari orang yang membeli tiket.”
Lelaki berkemeja kotak-kotak: “Buat
Anda, semua hal tentang uang, ya?” melihat ke temannya yang datang terakhir.
Saya menundukkan kepala. Lagi.
Perempuan berkaos Nails: “Nggak apa-apa. Realistis. Kita butuh pertanyaan-pertanyaan macam
itu.” Dia melihat saya, “Dilihat dari keterlibatan, iya. Tapi, bagaimana dengan
menyempitnya kesempatan mereka yang datang untuk menikmati?”
Saya: “Kenapa harus dibedakan
antara kami dan mereka? Kalau memang ingin ada interaksi publik, semua bisa jadi kita. Lagi pula, tidak semua orang
datang ke konser untuk maksud yang sama: menikmati misalnya. Bisa saja mereka
datang untuk berbagai alasan yang berbeda. Tiket gratis, menemani temannya,
pekerjaan kantor, macam-macam. Bukan berarti mereka pasti menikmati juga.”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Musik ‘kan untuk dinikmati. Mungkin idealnya
bagi musisi adalah memberikan karyanya kepada sedikit orang, tetapi orang-orang yang memang
benar menikmatinya. Makanya, mereka berani kasih harga tiket mahal bagi para penikmat itu, apalagi di Gedung
Kesenian Jakarta.” Saya ditatap olehnya. Saya tatap balik.
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Publik. Kata yang menarik,” ia dan perempuan berkaos Nails tertawa lagi.
Perempuan berkaos Nails: “Saya justru mengharapkan
keberagaman maksud. Justru itulah. Konser ini seakan menyempitkan akses untuk
mendapatkan kesempatan itu. Interaksi sosial juga jadi menyempit, ‘kan?”
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Muncullah ide dengan konser lanjutan. Bagian dari siasat.”
Saya: “Maksudnya?”
Perempuan berkaos Nails: “Kami mengakalkan anggaran.
Sebisa mungkin biaya produksi diambil dari biaya sponsor. Sisanya, duit yang
berasal dari tiket yang masuk akan dibuat konser lanjutan. Kami akan membuat
konser di ruang terbuka dua hari setelahnya. Konser di GKJ hari Jumat.
Minggu-nya konser di ruang publik. Taman Menteng.”
Saya: “Saya baru tahu Taman Menteng adalah ruang publik. Saya pikir itu taman tentara atau taman negara.”
Saya: “Saya baru tahu Taman Menteng adalah ruang publik. Saya pikir itu taman tentara atau taman negara.”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Bagaimana mengatur tiket di Taman Menteng?
Orang yang tidak bayar tiket tetap bisa menonton. Apa bedanya dengan
orang-orang yang bayar?”
Perempuan berkaos Nails: “Oh, ini gratis. Kami bahkan mungkin
akan menambah biaya konser ini dari kantung sendiri.”
Lelaki berkemeja kotak-kotak: “Apes
berganda?” Gelak tawa lanjutannya.
Perempuan berkaos Nails: “Mari jangan anggap ini sebagai
kesialan.”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Jadi, untuk apa, dong? Bagaimana orang bisa
mengapresiasi sesuatu yang gratis? Karena konser di GKJ berbayar, tentu
penampilannya lebih ciamik daripada yang gratis. Ada harga, ada barang. Publikasi band saja?”
Perempuan berkaos Nails mengambil cangkir susunya:
“Mungkin ada benarnya.”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Walaupun gratis, apakah sudah pasti banyak orang
akan datang?”
Perempuan berkaos Nails: “Masih benar.” Ia menyeruput susu
hangatnya.
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Memang bermain musik selalu untuk orang lain?”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Kalau bukan untuk orang lain, buat apa dibuat
gratis? ‘Kan bisa jadi musisi kamar, orang-orang yang merekam lagunya di kamar
kemudian disebar gratis di internet. Untuk diri sendiri, sekaligus untuk orang
lain.”
Lelaki ber-polo-shirt putih memanggil pelayan. Memesan satu gelas es teh
dengan lemon. Saya mengaduk-aduk cappuccino
yang sudah nyaris dingin dan sudah tidak perlu diaduk. Suasana yang tadinya cukup meluap-luap menjadi
lesu. Saya berharap ini akan segera membosankan dan orang-orang lebih memilih
untuk pergi sehingga saya ada waktu bicara dengan suami saya.
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Kenapa di Taman Menteng?”
Perempuan berkaos Nails: “Supaya nggak jauh saja. Kami sering berkumpul di seputaran Setiabudi.
Jadi, rencananya, kami akan berjalan dari Setiabudi, seakan menjemput
orang-orang yang akan ikut serta. Rute kami sebar luaskan, jadi ada beberapa
orang yang bisa ikut berjalan dari tengah rute. Jadi, jalannya tidak terlalu
jauh.”
Saya: “Kenapa harus jalan, Mbak?”
Perempuan berkaos Nails: “Niatnya ya itu, menjemput. Tidak
melulu mereka harus datang langsung ke tempat konser, tapi juga ada upaya kami jemput mereka, pun tetap simbolik.
Selama perjalanan, kami bisa ada interaksi dengan mereka, juga di antara mereka.
Syukur-syukur kalau ada orang iseng ingin ikut jalan. Toh, seperti tadi, tidak
semua orang punya niat yang sama. Mereka bisa aja ikut-ikutan atau bahkan mau jualan. Kalau mau langsung ke sana, juga nggak apa-apa.”
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Semua seniman yang di GKJ ikut kasih karya di konser ruang publik?”
Perempuan berkaos Nails: “Kebanyakan iya. Ada yang ikut
bagi-bagi karyanya, pun dalam bentuk beda. Ada juga yang memamerkan karyanya di
Taman Menteng, ada juga yang dibawa jalan.”
Saya: “Wah, bisa macet dong, ya,
seputaran situ hari Minggu nanti.” Saya sungguh tidak tahu harus memberikan
respons apa lagi.
Perempuan berkaos Nails: “Harapannya tidak. Kami akan
tetap berjalan di trotoar, saling menunggu di setiap perempatan. Nggak sebanyak itu juga yang datang.
Siapalah kami ini?”
Saya: “Jadi, tidak sepenuhnya
membajak jalanan?”
Perempuan berkaos Nails: “Nggak. Berbagi jalan, iya.”
Saya: “Ada pengalaman baru yang
dibagi. Punya penilaian terhadap kota dengan cara yang berbeda. Tentu, tidak
bisa disamakan dengan konser di GKJ. Tapi, pengalamannya berbeda.”
Perempuan berkaos Nails tersenyum ke arah saya. Dia
kembali melihat cangkir susunya yang hampir habis.
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Bisa jadi peluang bisnis, tuh. Ajak aja food truck-food truck zaman sekarang
untuk singgah di sana. Jadi, bisa ada makanan layak di sana. Tarik beberapa
persen dari keuntungan mereka. Mungkin nggak
seberapa, tapi itu saling menguntungkan.”
Perempuan berkaos Nails: “Makanan layak apa, sih?”
Kami sudah bicara dengan pedagang sekitar. Jajanan kami minta tetap dari mereka. Jadi, tetap ada interaksi juga dengan mereka.”
Kami sudah bicara dengan pedagang sekitar. Jajanan kami minta tetap dari mereka. Jadi, tetap ada interaksi juga dengan mereka.”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Memang lebih besar ambil untung dari mereka?” Oh,
pertanyaan macam apa itu? Apa yang ada di pikiran saya?
Perempuan berkaos Nails: “Kami tidak meminta untung sama
sekali. Hanya memberikan pemberitahuan kepada mereka, sekalian minta mereka
mempersiapkan diri. Siapa tahu mereka mau bawa bahan lebih banyak. Orang-orang
yang datang bisa beli kopi dari penjaja bersepeda atau juga pesan nasi goreng
yang mangkal di sekitar situ.”
Saya: “Tahu gejrot!”
Lelaki berkemeja kotak-kotak: “Tahu
gejrot!”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Saya semakin tidak paham kenapa harus ada konser
lanjutan. Memang seniman itu selalu punya pola pikir yang tidak dipahami, ya.
Kenapa tidak sekalian main di bus-bus kota atau warteg-warteg saja semacam
pengamen tanpa meminta bayaran?” Dia tertawa yang terdengar lebih seperti meledek.
Lelaki berkemeja kotak-kotak: “Itu
akan dilakukan beberapa band pas
ulang tahun Jakarta. Persis seperti itu. Pengamen yang biasa ada di situ akan
diajak berkolaborasi, jadi bukannya mengambil jatah area mereka.”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Oh, ini proyek dari Pemda?”
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Murni inisiatif dari mereka, kok,” sambil menyenggol perempuan berkaos Nails—yang diam saja—dengan sikunya.
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Itu bisa minta biaya dari Pemda. Itung-itung
memberikan hiburan kepada warganya daripada bikin proyek nggak jelas, menghabiskan anggaran entah buat apa.” Diam. Kamu
sebaiknya diam saja, Mas. Sungguh.
Perempuan berkaos Nails: “Menunggu mereka sama saja tidak
melakukan apa pun. Seni memungkinkan melakukan apa pun dengan caranya sendiri.
Itu bagian dari cara kami. Salah satu ruang di Jakarta yang tidak perlu
menunggu perintah atasan.” Bicaranya mulai ketus.
Saya: “Tapi, kemudian, peran
pemerintah di mana? Nanti mereka terlalu enak, pekerjaan mereka kerap dilakukan
oleh orang-orang tanpa biaya.” Ini pembicaraan tentang apa? Saya hanya ingin
pembicaraan ini lekas berakhir.
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Sudah ada orang-orang yang menuntut itu.”
Perempuan berkaos Nails: “Ini bagian dari siasat.”
Ponsel perempuan berkaos Nails berdering. Selagi ia
mengangkatnya, lelaki ber-polo-shirt putih
beranjak dari kursinya, berjalan menuju toilet. Setelah bilang, “Halo”, ia diam
mendengarkan lawan bicaranya selama kurang lebih 2 menit. Sisanya hanya
mendengar, “Iya, Bu. Saya ke sana sekarang.” Lelaki berkemeja kotak-kotak
menoleh dengan dahi berkerut, “Baik-baik saja?” Perempuan berkaos Nails tersenyum. “Biasa ini. Persoalan
semacam ini biasa terjadi. Mari kita mulai menanyakan kembali apakah ini memang
bisa disebut dengan apes? Apes tidak pernah tunggal, selalu berganda.” Ia
tertawa mengakak sembari membereskan barang-barangnya di meja. “Saya harus
pergi sekarang. Tolong bayarin susu saya dulu, boleh?” tanya perempuan berkaos Nails itu kepada lelaki berkemeja
kotak-kotak. “Kamu mau ke mana?” tanya lelaki setelah mengangguk cepat. “Ada
perlu ke Benhil. Menebus obat sekalian tanda tangan untuk tindakan besok,”
tersenyum manis ia setelah menghela napas. Lelaki berkemeja memeluknya erat.
“Mau sendiri atau perlu teman?” tanya lelaki berkemeja kotak-kotak setelah
melepas pelukannya. “Sendiri,” sembari berdiri dan langsung melangkahkan kaki
dengan cepat menuju tangga, turun.
Akhirnya, perempuan itu pergi juga.
Tinggal satu orang lainnya. Saya mau bicara dengan suami saya. Ini persoalan
serius. Ini tentang perceraian. Saya tidak bisa berada dalam rumah tangga yang
penuh dengan kepura-puraan. Pun, kebanyakan rumah tangga memang menyerupai kepura-puraan.
Tapi, saya mau rupa yang lain.
Lelaki ber-polo-shirt putih datang kembali sedari toilet. Wajahnya
kebingungan. Belum sempat duduk, ia sudah bertanya.
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Lho, ke mana?”
Lelaki berkemeja kotak-kotak:
“Harus segera pergi. Tadi ternyata telepon penting.”
Lelaki ber-polo-shirt putih: “Menyelamatkan dunia? Pergi, kok, buru-buru kayak
Superman? Padahal, saya sudah
siap-siap mau mengantar dia pulang ke rumah.” Dia tertawa seakan omongannya
lucu. Saya tahu dia bercanda dan itu merupakan usahanya untuk menutupi banyak
hal. Saya melihatnya tanpa tawa karena tidak menemukan letak kelucuannya. Bagaimana
bisa saya mengandung anaknya?
Komentar
Posting Komentar