Bolehkah Anda Pergi Tanpa Pernah Kembali dengan Rasa Takut yang Sama?
Merinding. Selanjutnya, tubuhku bergetar.
Diikuti air mata. Aku memaksa untuk terus membaca tulisan di hadapan.
Menyelesaikan apa yang sudah kumulai. Melawan reaksi tubuh yang tidak tertahan.
Memperjuangkan apa yang aku sebut dengan kenyataan.
Setiap kata yang kubaca terbayang kembali
seakan nyata di hadapan. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan. Memastikan ada orang
yang kukenal di sekitarku. Nihil. Bayangan kakak dan ayah hanya ada dalam
tulisan, tidak dalam kenyataan. Gelagapan. Rokok terakhir aku ambil demi
menenangkan. Semoga bisa demikian. Semakin kacau ketika tersadar tanganku
bergetar tiada henti dan kesulitan menyalakan korek api. Ini kesalahan yang
tidak semestinya. Ini tidak masuk akal. Semuanya seharusnya sudah berakhir.
Aku mengambil jarak dengan tulisan itu:
mendorong kursi satu meter ke belakang, menatap atap-atap. Merelakan aku
menangis seperti anak kecil, persis seperti 10 tahun lalu. Aku mulai membiarkan
tubuh dan pikiran menanggapinya tanpa disaring dengan akal sehat. Membiarkan
rasa yang membuncah dan bikin tak karuan. Aku terjatuh: ketakutan yang meneror,
kelelahan tanpa tidur, ketegangan dalam keadaan siaga, bercak di wajahnya, noda
darah di dapur. Tidak, aku tidak boleh berhenti. Aku perlu membiarkan semua
bayangan itu ada supaya bisa dihadapi. Tidak ada waktu lagi untuk mengelak. Tidak
mau lagi ada waktu untuk ini.
Tapi, ini semua terlalu mencekam. Aku
sendirian tanpa keakraban. “Ampuun… ampuuun,” aku malah mendengar jeritannya
pada malam itu. Juga wajahnya di sela jeruji dengan tatapan memelas. Juga
kehadirannya di meja hijau. Tidak ada, semua itu sudah tiada. Tanpa bisa
hilang. Ternyata.
Ketika tersadar, aku membuka genggaman tangan
dengan kuku yang menyelekit di permukaan telapak tangan. Kulunglai, tak
berdaya. Rokokku ternyata sudah terjatuh sedari tadi.
Kapankah akhir adalah akhir?
Kapankah kenyataan memang benar kenyataan?
Apakah yang tidak ada bisa jadi ada ketika
terus membayang?
Apakah ingatan bisa dipermainkan?
Aku melihat layar ponselku. 20.48 waktu Den
Haag. Angin ribut di luar, cuaca sendu. Tiada gelap yang lebih mencekam. Tiada
kesendirian yang lebih menakutkan. Tiada bayangan yang lebih menyerupai
kenyataan. Sepuluh tahun berlalu, tapi aku terteror tanpa akhir yang pasti. Aku
harus lebih berani dari waktu itu, aku perlu menghadapinya dengan kegagahan tanpa
mempedulikan luka di telapak tangan akibat kukuku sendiri. Lagi.
Komentar
Posting Komentar