gloomy

detik berandai
detik berharap
detik menanti
detik terus berjalan














Awan gelap bergerak perlahan menutupi matahari yang sedang bekerja. Entah matahari yang kelelahan atau awan gelap itu yang sudah muak untuk bersembunyi. Kebetulan angin yang mengantar mereka. Mulanya angin sepoi-sepoi tapi tampaknya mereka sudah tidak sabar sampai akhirnya angin bertiup lebih kencang. Tiupannya menggoyangkan daun-daun di pohon itu seolah menyampaikan kabar kedatangan awan gelap tersebut. Mungkin goyangan itu sebagai salah satu penyambutan mereka atau malah cara mereka berontak. Namun, pohon ranting tanpa daun itu masih tegak dan keras kepala.
Yang jelas, aku masih duduk di sini. Entah dengan siapa aku duduk di situ. Cukup memperhatikan helai demi helai daun yang tak rela jatuh dari pohonnya. Daun-daun itu hanya tidak sadar bahwa ada orang yang sedang menikmati jatuhnya mereka.
Pikiranku terhenti. Aku hanya bisa menikmati suasana suram yang dikepit mendung. Angin menjadi lebih sejuk. Dinginnya menusuk tapi aku tidak ingin menghilangkannya sedikit pun. Jaket coklat itu tetap tergeletak. Dinginnya membuat aku bisa lebih merasakan aku. Suasananya menjadi galau. Tapi aku menikmatinya, merindunya, menantinya, mengelaknya, mendekapnya, memakinya, tersenyum di dalam nyamannya.
Tak ingin beranjak. Inginku menambah kopi panas satu gelas lagi tapi aku enggan kehilangan suasana ini bahkan satu detik. Andai suasana ini bisa dibeli, akan kujual barangku hanya untuk ditemani daun-daun gugur dan suasana muram ini. Tapi ingat, aku tidak sedih di dalamnya.
Sejikanya tetesan air mata langit tidak jatuh secepat itu. Aku belum sempat berbicara banyak, berbagi tawa dan sedih, beri rindu ini sedikit untuk sua selanjutnya dengan mendung. Bahkan aku belum sempat mengajak manusia lain untuk turut menikmati walau di tempat yang berbeda. Setidaknya mendung sama-sama membuat kami nyaman. Mendung cepat datang dan pergi tanpa mau tahu perasaan orang yang sudah menunggunya sedari musim kemarau.
Hari ini aku masih harus mengalah lagi. Hujan harus turun. Bukan aku tidak menikmatinya namun hujan seolah mendatangkan kepastian, menjawab. Padahal aku di sini masih belum pasti.

“ Woi, balik dong, jangan sibuk ama dunianya sendiri.”

“ Enggak kok. Cuman lagi nikmatin suasana yang gloomy. Sayang kalo dilewatin.”

“Ah, dasar. Gue enggak ngerti deh, loe yang emang aneh atau emang lagi melankolis aja.”

“Emang gak ada yang ngerti.”

“Kayaknya loe dulu gak gini deh?”

“People changed, right?”



kita bukan siapa-siapa
kita tak punya apa-apa
hanya senang kita merasa
hanya diri kita menjadi
namun mereka tak suka melihat



Tadi malam kami hanya menikmati malam. Dia bilang jangan minta tenang pada malam karena malamlah saat kita gelisah mencari jawaban dan sibuk dengan pertanyaan.
Terlihat jelas malam tadi. Pola pikirnya, gaya bicaranya, dan puisi-puisi yang dia bacakan. Makian untuk cinta dan pujian juga baginya. Entah apa yang dia rasakan sekarang. Hanya percaya dengan apa yang dia yakini.
Malam tadi lagu keras menemani tapi lirikan menyayat yang terdengar. Mungkin itu gambaran tentangnya, tampak keras namun sangat jelas terlihat sayatannya.


From: +6281510000***
Hey… lg ngaps?

From: +628568597***
Lg mikir cara bikin salib di punggung

From: +6281510000***
Salib??? Apakah???


From: +6281510000***
What’s wrong with you?

From: +628568597***
Nothing

From: +6281510000***
Masih aneh toh, hehe… knp salib? Knp di punggung?

From: +628568597***
Keren, lambang pengorbanan. Seksi aja.

From: +6281510000***
Bkn krn cinta yg gak disetujuin ama Tuhan? No offense…

From: +628568597***
I don’t think so. Pengen aja mengkonkretkan pengorbanan langsung di badan.

From: +6281510000***
Udh kbykan pngorbanan di hati ampe gak muat lg trus mau ditaro di bdn?

From: +628568597***
Justru krn hati gak brani bkorban tp mau ngerasain brkorban.

From: +6281510000***
Kl di bdn, brkorban buat siapa?



Kenapa Engkau bisa menjadi satu-satunya alasan akan hadirnya cinta tapi bisa juga jadi alasan untuk manusia takut merasa? Bukankah perbedaan membuat kaya? Kaya pengertian. Dan cuma pengertian yang membuat kita bertahan hidup dengan manusia-manusia lain bahkan yang tidak punya perbedaan. Apa itukah cinta yang sesungguhnya? Cukup rasa percaya, rasa pengertian, rasa nyaman, senyum, and that’s it!
Banyak manusia yang hanya mencari nyaman dalam hidup ini. Padahal menurut temanku, nyamanlah yang menjadi pembatas kemerdekaan. Aku setuju juga. Banyak manusia yang mengatasnamakan nyaman untuk berhenti pada satu titik tertentu. Terbelenggu di dalamnya. Terhenti. Terkurung. Mungkin garis lainnya menawarkan nyaman yang lain. Apakah manusia akan beranjak untuk berhenti pada titik nyaman lainnya? Apakah kebebasan sama dengan berhenti walau atas nama nyaman? Apa bebas itu nyaman? Apa nyaman itu berhenti?
Have you ever felt hurt? Have you ever cried? Did you feel alive? A real life? I did. I do. I would. Sakit bikin aku berdiri di satu titik yang tanpa kusadari aku nyaman berdiri di atasnya. Titik sakit. Titik nyaman. Titik beku. Titik darah. Titik berhenti tapi untuk melangkah kembali.
Apa iya banyak orang yang sanggup melangkah kembali?


From: +628568597***
Ngorbanin diri sndri. Nite.




Kalau diri ini masih berharga
Apakah terlalu mahal?
karena tidak ada yang mau membeli
Atau terlalu murah?
sampai tidak dihargai


Matahari memberikan senyumannya lagi. Artinya kenyataan akan menyambut kita kembali pada hari ini. Burung murai berisik di luar seolah sibuk membangunkan semuanya.
Pernahkah kau merasa kau mempunyai dua sisi yang sangat bertolak belakang? Kau punya sayap namun kadang kau hanya diam di atas batuan. Kau punya kicau namun kadang lebih memilih untuk diam. Bahkan, manusia mempunyai berpuluh kepribadian. Mereka akan menyesuaikan diri dengan lingkungan, entah itu alam atau bahkan makhluk sejenis mereka yang beragam.
Mungkin suatu saat nanti kita bisa duduk bersama di pinggir danau seperti Narcisius, sekedar menatap bayangan diri dan melihat satu benang merah pada diri kita. Benang merah di antara kekompleksan diri ini atau yang mereka sebut dengan karakter. Tiap makhluk hanya punya satu karakter. Benang merah yang tidak pernah bisa kita tinggalkan kapanpun, dimanapun, dengan siapapun. Itulah saat diri menjadi diri.
Kau benar, murai kecil. Bulan merupakan pantulan matahari. Dan saat itulah matahari memberikan sisinya yang berbeda. Saat itulah matahari menjadi dirinya. Saat itulah matahari mempunyai karakter yang begitu kuat. Benang merah dirinya begitu nyata. Kemudian dia akan bercerita tentang tempat yang ditemaninya secara utuh ataupun tidak, yang berbeda tiap detiknya karena ada yang berputar mengelilinginya.
Sayang manusia terlalu takut mengakui bahwa dirinya lemah. Padahal pengakuan lemah itulah yang membuat mereka kuat bahkan diakui bahwa mereka memang kuat. Bukan sok kuat. Sayang kita hidup pada tataran dimana semua seolah harus dinilai dan kita tak bisa keluar dari kerangkeng itu. Semuanya mempunyai arti yang berbeda, tidak ada satu pun yang mempunyai jajaran yang sama. Karena Yang Maha selalu menciptakan dengan maksud. Tidak sejajar. Harga diri itu begitu nyata di depan mereka sampai kita semua harus dikelompokkan lagi, entah apa dasarnya. Entah apakah ada yang lebih tinggi. Ataukah?

“Mau ikut nggak?”
“Kmana?”
“Puncak.”
“Serius lo? Pagi-pagi gini?”
“Breakfast di sana. Hahaha. Banyak tanya lo! Siap-siap ya!”
“Siapa aja sih?”
“Yaelah, anak-anak siapa lagi sih? Orangnya masih yang itu-itu aja kok. Paling yang kemaren ngumpul aja.”
“Rame juga.”
“Yuk?!”
“Pengen juga sih tapi kayaknya hari ini gue lagi pengen di rumah gitu.”
“Alaah! Apa-apaan sih? Gak ada alesan deh! Bentar lagi dijemput yak?”
“Yaaah. Kenapa ke Puncak sih?”
“Emangnya kenapa sih?”
“Sebenernya kalo ke Puncak, gue rada-rada males gitu.”
“Kenapa?”
“Ada senyum ama nyaman yang ketinggalan. Gue gak mau gangguin.”
“Tai kucing!”
“Gue di rumah aja deh kalo loe pada ke sana.”
“Ngerem mulu di rumah! Seneng-seneng bisa ngilangin galau lho. Yah, seenggaknya ngurangin deh.”
“Siapa yang lagi galau?”
“Kok sewot? Emangnya ngerasa lagi galau?”
“Kampret!”

Pagi meninabobokanku kembali. Mungkin lelah setelah semalaman menjejaki perasaan. Aku yakin ia pernah tinggal di sini. Mungkin ia tertinggal, atau bersembunyi di belakang bunga bakung, atau terbawa kupu-kupu dan ikut bermetamorfosis. Kalau hal itu sungguh terjadi, berarti perasaan itu tak akan pernah sampai sini lagi. Kini mataku terpejam dijaga peri kecil utusan Pandora.

karena kau tak henti menghargai lainnya lebih dari siapa
karena warna kau bermacam tanpa pudar tertelan kala
karena kau terlalu lincah mencari jawab hidup
maka dia diam di sini, di sana
nanti tawa dan tangis
,,,
bahkan diam
,,,
sebagai jawabmu atau malah sampahmu!


Lampu jalan yang kuning menciptakan nuansa yang penuh dengan kenangan. Persis. Kamu seolah mematikan suara sekitarmu dan menikmatinya sendirian. Egois. Tapi ini adalah salah satu keinginanmu yang kau pendam. Jalanan basah setelah diguyur hujan. Lampu jalanan terpendar di jalanan dan membentuk perspektif yang makin lama semakin jauh dan semakin mengecil. Pohon-pohon di sebelah kiri jalan juga tertimpa hal yang sama. Terlihat sangat kecil jauh di ujung sana. Musik yang menyentuh meniadakan subjek-subjek lain dalam kendaraan itu.
Kau memintaku menemani melewati tempat-tempat yang mengusik memorimu karena kau tak bisa lagi melewati masa itu. Kawan, sampai saat ini, kabar terakhir yang kudengar, waktu masih belum bisa diulang. Tadinya kau berharap memori-memori itu hanya bertahan dalam jangka waktu yang pendek. Namun, sepertinya kesan berkeputusan lain. Semuanya menjadi memori jangka panjang. Entah kenangan indah atau semacam stimulus untuk dijadikan trauma. Tapi kita memang tak bisa terlepas dari apa yang sudah pernah kita rasakan dan kita lalui.
Sekarang hanya ada kita. Kamu. Aku, sepi.



“Eh, di mane lu?”
“Di jalan. Sadis, kebetulan banget. Semalem gue baru mimpi loe gitu.”
“Weits… Berarti energinya sampe dong?”
“Yaaa, kurang lebihlah. Lagi kenapa lu?”
“Gak kenapa-kenapa.”
“Klasik ah. Masih zaman pake acara maksa-maksa dulu? Kenapa harus jawab gak papa kalo sebenernya ada apa-apa?”
“Yah, semacam pembuktian aja kalo ternyata gue masih kayak orang kebanyakan, hehe.”
“Tai! Gak kemana-mana loe?”
“Tadinya gue mau ke rumah loe.”
“Weits, ada apa ni?? Tumben bener.”
“Kalo kata Chairil Anwar mah, bukan maksudku mau berbagi nasib, nasib adalah kesunyian masing-masing. Hahaha…”
“Alaaah! Itu mah korban anak tahun 2000-an, macam Rangga dan Cinta aja. Tuh kan bener, there’s something.”
“Ternyata masih sakit.”
“Dan akan selalu begitu. Yah, seenggaknya loe masih iduplah. Masih ngerasain sakit ‘kan? Hehehe…”
“What should we call this? Love?”
“Or habit? Hahaha…”
“Hahaha… It could be.”
“Inget Before Sunrise gak?”
“Pas kapan?”
“Pas Jessenya bilang, why does everybody think relationship should last forever, anyway?”
“Indeed. But love is not just about relationship, aight?”
“You already knew the answer.”
“…”
“Tuhan suka gak adil ya?”
“Tuhan atau Dewi Parsa?”


Hari ini kita banyak berbincang dalam perjalanan, selain perjalanan malam tadi ketika kita sama-sama berjalan di aspal yang dipenuhi daun gugur. Kita tidak sempat bicara banyak karena terlalu banyak yang ingin kita nikmati. Aku tahu itu salah satu impianmu juga. Kau tersenyum sendirian sambil menendang-nendang tumpukan daun gugur itu seolah mengusik kediamannya.
Sore tadi kau juga tak mengucapkan sepatah kata pun padaku. Kau duduk di sana, di pinggir trotoar tanpa mempedulikan matahari yang sinarnya masih mengganggu kebanyakan pejalan kaki. Kau duduk, tidak peduli keramaian jalan atau bincangan orang lain. Kau baca, wajahmu menunduk dengan mata yang bergerak lincah dari kiri ke kanan, cepat. Kadang wajahmu menunjukkan ekspresi yang lucu, seolah tak mengerti tetapi kadang kau tersenyum dilarutkannya seolah jawabannya membuat kau tersenyum satir. Kau menutup kertas itu, melipatnya, memasukkannya dalam tas. Pandangan lurus ke depan. Ah, seandainya dapat kuabadikan wajahmu saat itu. Semua indramu tampak tak bekerja, hanya perasaan yang sedang bermain di dalamnya. Mungkin mencoba mencerna tiap kata yang telah tertutup tadi.


Am I feeling what I am feeling?


Entah senyumku yang akan hadir kembali atau malah air mata. Atau malah keduanya? Kau beranjak dari dudukmu dengan senyum cerah dan air mata yang menetes. Smiling even when crying. Tapi aku tetap merasa nyaman itu masih dan tetap hadir. Percaya.

2005

Komentar