stasiun akhir adam dan hawa

Kasih, sudahkah kau bercinta hari ini?

Cintaku baru saja datang. Wajahmu tampak lelah, Dewi.

Aku tidak pernah lelah bercinta, kasih. Hari ini sudah jutaan kali aku bercinta.

Dengan siapa?

Tidak perlu dengan siapa-siapa.

Apa maksudmu datang ke sini? Untuk menggores segaris luka pada hati ini?

Mengapa kau rusak emosi dan aura percintaan kita, Kasih?

Aku?



Tidakkah kau lihat peluhku ini? Ini sudah tetesan kesekian.

Aku lihat. Bahkan aku mau merasakannya nanti ketika tubuh kita bercinta.

Ini peluh penantian percintaan itu tapi entah apa rasamu hingga tak menunggu untuk merasakannya bersamaku.

Jiwaku selalu di sini menanti percintaan yang tak pernah redup itu.

Tapi kau telah bercinta jutaan kali sebelumnya. Bagaimana rasanya?

Indah. Tidak ada yang lebih indah aku rasa.

Hebat. Aku kagum dengan apa yang kau ucapkan. Aku serasa butiran debu saja di sini.

Kasih, mengapa kau begitu sinis petang ini?

Wanita, malam masih terlalu panjang. Hentikan malam ini dengan membisikkan teman bermain percintaanmu jutaan tadi?

Pikiranku. Jiwaku. Hatiku. Percintaan ini akan semakin menarik apabila tubuhku ikut bercinta di dalamnya.

Kenapa tidak? Bukankah tak ada lagi yang kau nanti atau kau khawatirkan?

Kasih, pikiranku tumbuh ke atas tanpa cabang, jiwaku menetap, hatiku melebar pada lahan yang sama. Maka aku berdiri sini, mencoba melangkah sedikit untuk menyatukan apa yang bisa kita satukan.

Aku kira sudah kau satukan tubuhmu.

Hanya untuk kau.

Kapan?

Saat titik itu hadir.

Titik itu tak akan hadir, Dewi.

Tidakkah kau ingin?

Kau terlalu sering bercinta dengan dirimu sendiri. Nanti, ketika kau bercinta denganku, kau akan membayangkan aku adalah dirimu.

Tidak mungkin, Pria. Aku selalu menjadikan kau tokoh pada setiap percintaan yang aku lakukan.

Kau yang menciptakan aku. Itu sama saja kau mematikan aku.

Aku menghidupkan engkau, Pria. Tidakkah kau lihat pada mimpi-mimpiku?

Aku ada karena kau ciptakan; karena kau inginkan.

Ya, aku memang menginginkan engkau.

Aku ingin ada karena apa yang aku lakukan. Bukan hanya karena kau inginkan.

Aku menginginkan engkau karena kau apa yang telah kau lakukan.

Apabila aku berhenti melakukan itu semua, apakah kau tetap menginginkan aku?



Angin pun tak sampai hati menyampaikan jawabanmu, Dewi.

Ya, aku tetap menginginkan kau.

Tahan emosimu. Buka sedikit jalan untuk logika, Sayang.





Kalau aku tetap menginginkanmu ketika kau berhenti melakukan apapun berarti aku hanya menginginkanmu maka kau ada.

Ya.

Aku menginginkanmu karena apa yang kau lakukan, Kasih.

Dan aku hanyalah bentuk refleksi dirimu. Itu sebabnya kau mau melakukan percintaan itu denganku. Tidakkah kau sedetik saja berkeinginan untuk membuka sedikit kelopak matamu?



Kau hanya akan melihat dirimu sendiri di sana ketika bercinta. Kau bercinta dengan dirimu sendiri. Kau terlalu mencintai dirimu sendiri hingga akhirnya kau mau orang lain menjelma menjadi kau.

Seandainya angin berhenti sekejap saja agar tidak menyampaikan kata-kata menusuk itu.

Aku tidak bermaksud menusukmu, Dewi. Aku hanya ingin membangunkanmu dari duniamu sendiri.

Kau juga punya dunia lain.

Tapi aku masih ingin membaginya dengan orang lain.

Apa buktinya?

Aku mengundang orang-orang berkunjung ke duniaku, bermain di tengah kota, berenang di danau yang luas sebelah sana, tidak lupa juga menyapa kupu-kupu di tengah taman hijau kota.

Kasih, kau selalu meminta mereka meninggalkan dunianya masing-masing. Baca dan patuh pada kitab aturan duniamu.

Ingat, Dewi. Aku menganggap mereka ada. Dia adalah dia. Dia ada karena dia.

Enggankah kau meninggalkan barang sejenak duniamu itu? Datanglah berkunjung sekali-sekali ke dunia lain, Kasih.

Aku pernah. Dan menjadi jelmaan yang empunya. Maka aku hilang. Seperti yang aku bilang, butiran debu yang sudah usang.





Kasih, aku rasa ini adalah akhir yang ideal untuk sepasang.

Ya, karena semua percintaan akan berakhir di sini. Ini adalah ujung kota percintaan, Dewi.

Kemana kita melangkah kaki?

Beberapa ada yang berdiam diri di sini sementara waktu, sekedar rehat untuk kembali pada stasiun awal percintaan. Cari karcis, cari gerbong, tunggu kereta, rebutan tempat duduk, perjalanan panjang, mabuk, listrik mati, dan kendala perjalanan lainnya, dan mereka pasti berakhir di sini.

Sebagian ada yang lelah dan tinggal di sini. Mungkin mereka sudah lelah berulang kali ke stasiun awal. Mereka duduk di sini, berbincang, dan memperhatikan orang-orang yang masih percaya sampai di kota yang berbeda.

Ya. Percaya itu barang langka, Dewi.

Bagaimana dengan kau, Kasih?

Kau, Dewi?





(February 8, 2006)

Komentar

  1. KEREEEEEEEEEEEEEEEEEEENN!!! kayak narik gw masuk ke perbincangan di diri sendiri!!! GW SUKAAAAAAAAA INIII!!

    BalasHapus
  2. gue baru baca dah komen lo yang ini, hahaha... makasih :)
    dan, gue baru baca ini lagi. wow! it wasnt me, its galau who wrote it, hahaha

    BalasHapus

Posting Komentar