just go out from my room, damn it!!!
Entah ini sudah yang keberapa kali.
Aku terbangun. Kulempar pandangan ke sekeliling mencari sosok manusia lain yang kukenal. Kakakku masih tertidur tepat di sebelahku. Aku lihat handphone. Tidak ada message. Tidak ada missed called. Aku lihat jam digital di layer handphone. 02.16 am. Ah, mengapa matahari masih terlalu lama memunculkan dirinya?
Aku tersentak dan terduduk di tempat tidur kakakku. Panik. Mencari sosok manusia lain yang kukenal. Untung saja, masih kudengar dengkuran kakakku. Aku berbaring kembali. Mencari bantal dan menaruhnya di atas kepalaku. Berharap aku segera memasuki dunia lain. Mata terpejam tapi pikiran tak pernah bisa diam. Aku cari handphone. Tidak ada message. Tidak ada missed call. Namun, waktu telah mengubah jam digital menjadi 02.59 am. Bukan message yang kunanti. Bukan telepon yang kunanti. Aku hanya menanti kenikmatan memejamkan mata dan memeramkan pikiran. Tidur nyenyak.
Aku terbangun. Aku mendengar suara keletak-keletok. Tanganku mengepal kuat. Kurasakan sakitnya kukuku sendiri menusuk telapak tangan. Kubuka mata mencari sosok manusia lain yang kukenal. Kasur ini bergerak sedikit. Ternyata kakakku masih di situ dan mengubah posisi tidurnya. Aku lebih memasang kuping. Kucoba mendengar lagi suara yang tadi kudengar. Terdengar lagi. Genggamanku semakin kuat. Mencoba mencari perlindungan dari diri sendiri. Dengar lagi. Dengar lagi. Dari mana asalnya suara-suara itu? Itu apa? Suara itu sepertinya berasal dari atas atap. Mungkin itu hanya suara tikus di atas sana. Kucoba yakinkan diriku lagi. Kucoba lagi pejamkan mata. Tidak mempedulikan pikiran. Mata menolak dan berdalih ke handphone. Jam digitalnya sudah berubah lagi. 03.44 am.
Entah ini sudah malam keberapa.
Badan ini sudah lelah. Kurasakan darah-darah dalam tubuhku tidak selancar biasanya. Kurasakan tulang-tulangku sudah berteriak minta direhatkan. Pikiranku lembur tanpa diminta padahal sudah berkali-kali kusuruh pulang. Aku lelah. Sangat lelah. Lebih lelah dari pengerjaan tugas-tugas dan ujian yang pernah aku lewati. Lebih lelah dari segala latihan fisik yang pernah aku lakukan. Aku ingin rehat. Aku ingin rehat. Ku ingin rehat. Aku ingin. Rehat.
Aku tersentak. Bayangan wajahnya terlihat jelas. Tak samar sedikit pun. Rambutnya. Bercak pada wajahnya. Jelas. Wajahnya suka hadir tiba-tiba. Seolah-olah ada tepat di depanku seperti malam itu. Aku membuang pandanganku. Tek! Aku dikembalikan pada dunia yang ada di depanku. Televisi menyala. Aku duduk di sofa itu. Kakakku di sebelahku. Mama duduk di sofa sebelah situ. Aku kembali menonton acara televisi.
Dia menengadahkan wajahnya. Baju hitam. Rambutnya. Bercak di wajahnya. Jelas. Tak pernah samar. Kata-kata yang terucap olehnya. Ia seolah-olah hadir di depanku. Di kamarku. Aku membuang pandanganku. Tek! Ternyata ada dunia lain di depanku. Keponakan-keponakanku sedang bermain di depanku. Aku duduk di antara mereka.
Entah ini harus sampai kapan.
Aku memicingkan mataku. Kulihat pintu kamarku terbuka sedikit. Ah, ini pasti ulah kakakku. Masuk ke kamarku untuk mencari DVD, keluar lagi, dan lupa menutup rapat pintu itu. Dengan berat dan sedikit kupaksakan, aku bangun. Aku berjalan kearah pintu hendak menutupnya supaya aku bisa kembali tidur dengan nyaman. Harapku yang masih berupa harap.
Aku melihat ke sebelah kanan. Ada orang. Aku diam. Menunggu semua rohku kembali lagi supaya aku benar-benar yakin apa yang kulihat benar-benar orang. Baju hitam. Celana jeans. Meringkuk di lantai.
“Siapa kamu?”
Dia terdiam bahkan tidak bergerak sedikit pun. Tidak acuh. Aku melangkah mendekatinya.
“Siapa?”
Dia menengadahkan mukanya. Melihatku. Aku tidak mengenalnya bahkan aku tidak pernah melihat mukanya. Dia meletakkan charger laptop yang sudah dilipat rapi di tangannya. Berdiri. Salah tingkah. Saat itu juga aku langsung tahu dia bersalah.
“Udah, Mbak, tidur lagi aja.”
Bicaranya tidak selancar itu. Terbata-bata. Gerak tubuhnya menunjukkan dia tidak tenang. Sempat kupelajari wajahnya. Bercak di wajahnya. Cara bicaranya.
Dia berjalan keluar kamar. Aku mengunci pintu. Duduk di ujung tempat tidur. Kurasakan tubuhku bergetar.
Aku ambil handphone. Kucari di deretan daftar nomor telepon, “kakakku”. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Tidak diangkat. Kucoba sekali lagi. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Tidak diangkat. Aku mencoba menenangkan diri. Tarik napas panjang. Buang pelan-pelan. Lalu kudengar suara pintu. Pintu dibuka. Pintu ditutup. Suara gagang pintu yang dicoba untuk dibuka. Geseran pintu. Geseran pintu terdengar jelas. Getaran tubuhku semakin kencang.
Kupencet menu messages dan kumulai mengetik.
Mas,kamudmana?Akutakutbangetnih!
Aku belum sempat menekan tombol untuk memasukkan nama atau nomor tujuan. Handphone-ku berbunyi. RUMAH.
“Kenapa i?”
“Mas, kamu mau ke sini gak?”
“Kenapa?”
“Nanti aja.”
“Kamar lo ‘kan dikunci.”
“Kamu ke sini aja.”
Aku dengar kembali suara gagang pintu yang dicoba dibuka.
“Siapa?”
Diam.
“Mas Bimo?”
“Mm..”
Kubuka pintu. Kakakku masuk.
Langit ungu. Ada jingga juga di dalamnya. Angin tenang. Tapi saat ini yang ingin kulakukan hanya menangis. Ingin melupakan semua kejadian malam itu. Ingin menjadi manusia biasa. Senang dan berani sendiri. Menikmati sendiri. Menikmati langit ini.
Aku lupa apa aku yang menutup pintu atau dia yang menutup pintu. Mungkin alam bawah sadarku sudah mulai melupakan bagian-bagian pada malam itu.
Air mataku tak bertahan. Pelukan papa melindungiku.
Tanganku menggenggam kuat. Kuat. Aku merasakan tusukkan kukuku pada telapak tanganku. Minta perlindungan dari diriku sendiri. Pelukan kakakku melindungiku.
Polisi baru pergi dari rumahku. Kakakku ikut bersama mereka untuk memberikan penjelasan. Seharusnya aku ada di mobil itu, ikut bersama mereka dan memberikan penjelasan. Tapi mereka tahu. Tapi mereka maklum. Aku tidak sanggup.
Kuingat jelas. Baju hitam. Rambutnya. Bercak pada wajahnya. Kali ini ditambah darah akibat pukulan dari orang-orang yang berusaha melindungiku.
Kuingat jelas. Masih.
Tak bisa selesai karena memang belum selesai.
Entah kapan cerita ini akan kutulis kata selesai.
(desember 2005)
Aku terbangun. Kulempar pandangan ke sekeliling mencari sosok manusia lain yang kukenal. Kakakku masih tertidur tepat di sebelahku. Aku lihat handphone. Tidak ada message. Tidak ada missed called. Aku lihat jam digital di layer handphone. 02.16 am. Ah, mengapa matahari masih terlalu lama memunculkan dirinya?
Aku tersentak dan terduduk di tempat tidur kakakku. Panik. Mencari sosok manusia lain yang kukenal. Untung saja, masih kudengar dengkuran kakakku. Aku berbaring kembali. Mencari bantal dan menaruhnya di atas kepalaku. Berharap aku segera memasuki dunia lain. Mata terpejam tapi pikiran tak pernah bisa diam. Aku cari handphone. Tidak ada message. Tidak ada missed call. Namun, waktu telah mengubah jam digital menjadi 02.59 am. Bukan message yang kunanti. Bukan telepon yang kunanti. Aku hanya menanti kenikmatan memejamkan mata dan memeramkan pikiran. Tidur nyenyak.
Aku terbangun. Aku mendengar suara keletak-keletok. Tanganku mengepal kuat. Kurasakan sakitnya kukuku sendiri menusuk telapak tangan. Kubuka mata mencari sosok manusia lain yang kukenal. Kasur ini bergerak sedikit. Ternyata kakakku masih di situ dan mengubah posisi tidurnya. Aku lebih memasang kuping. Kucoba mendengar lagi suara yang tadi kudengar. Terdengar lagi. Genggamanku semakin kuat. Mencoba mencari perlindungan dari diri sendiri. Dengar lagi. Dengar lagi. Dari mana asalnya suara-suara itu? Itu apa? Suara itu sepertinya berasal dari atas atap. Mungkin itu hanya suara tikus di atas sana. Kucoba yakinkan diriku lagi. Kucoba lagi pejamkan mata. Tidak mempedulikan pikiran. Mata menolak dan berdalih ke handphone. Jam digitalnya sudah berubah lagi. 03.44 am.
Entah ini sudah malam keberapa.
Badan ini sudah lelah. Kurasakan darah-darah dalam tubuhku tidak selancar biasanya. Kurasakan tulang-tulangku sudah berteriak minta direhatkan. Pikiranku lembur tanpa diminta padahal sudah berkali-kali kusuruh pulang. Aku lelah. Sangat lelah. Lebih lelah dari pengerjaan tugas-tugas dan ujian yang pernah aku lewati. Lebih lelah dari segala latihan fisik yang pernah aku lakukan. Aku ingin rehat. Aku ingin rehat. Ku ingin rehat. Aku ingin. Rehat.
Aku tersentak. Bayangan wajahnya terlihat jelas. Tak samar sedikit pun. Rambutnya. Bercak pada wajahnya. Jelas. Wajahnya suka hadir tiba-tiba. Seolah-olah ada tepat di depanku seperti malam itu. Aku membuang pandanganku. Tek! Aku dikembalikan pada dunia yang ada di depanku. Televisi menyala. Aku duduk di sofa itu. Kakakku di sebelahku. Mama duduk di sofa sebelah situ. Aku kembali menonton acara televisi.
Dia menengadahkan wajahnya. Baju hitam. Rambutnya. Bercak di wajahnya. Jelas. Tak pernah samar. Kata-kata yang terucap olehnya. Ia seolah-olah hadir di depanku. Di kamarku. Aku membuang pandanganku. Tek! Ternyata ada dunia lain di depanku. Keponakan-keponakanku sedang bermain di depanku. Aku duduk di antara mereka.
Entah ini harus sampai kapan.
Aku memicingkan mataku. Kulihat pintu kamarku terbuka sedikit. Ah, ini pasti ulah kakakku. Masuk ke kamarku untuk mencari DVD, keluar lagi, dan lupa menutup rapat pintu itu. Dengan berat dan sedikit kupaksakan, aku bangun. Aku berjalan kearah pintu hendak menutupnya supaya aku bisa kembali tidur dengan nyaman. Harapku yang masih berupa harap.
Aku melihat ke sebelah kanan. Ada orang. Aku diam. Menunggu semua rohku kembali lagi supaya aku benar-benar yakin apa yang kulihat benar-benar orang. Baju hitam. Celana jeans. Meringkuk di lantai.
“Siapa kamu?”
Dia terdiam bahkan tidak bergerak sedikit pun. Tidak acuh. Aku melangkah mendekatinya.
“Siapa?”
Dia menengadahkan mukanya. Melihatku. Aku tidak mengenalnya bahkan aku tidak pernah melihat mukanya. Dia meletakkan charger laptop yang sudah dilipat rapi di tangannya. Berdiri. Salah tingkah. Saat itu juga aku langsung tahu dia bersalah.
“Udah, Mbak, tidur lagi aja.”
Bicaranya tidak selancar itu. Terbata-bata. Gerak tubuhnya menunjukkan dia tidak tenang. Sempat kupelajari wajahnya. Bercak di wajahnya. Cara bicaranya.
Dia berjalan keluar kamar. Aku mengunci pintu. Duduk di ujung tempat tidur. Kurasakan tubuhku bergetar.
Aku ambil handphone. Kucari di deretan daftar nomor telepon, “kakakku”. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Tidak diangkat. Kucoba sekali lagi. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Berdering. Tidak diangkat. Aku mencoba menenangkan diri. Tarik napas panjang. Buang pelan-pelan. Lalu kudengar suara pintu. Pintu dibuka. Pintu ditutup. Suara gagang pintu yang dicoba untuk dibuka. Geseran pintu. Geseran pintu terdengar jelas. Getaran tubuhku semakin kencang.
Kupencet menu messages dan kumulai mengetik.
Mas,kamudmana?Akutakutbangetnih!
Aku belum sempat menekan tombol untuk memasukkan nama atau nomor tujuan. Handphone-ku berbunyi. RUMAH.
“Kenapa i?”
“Mas, kamu mau ke sini gak?”
“Kenapa?”
“Nanti aja.”
“Kamar lo ‘kan dikunci.”
“Kamu ke sini aja.”
Aku dengar kembali suara gagang pintu yang dicoba dibuka.
“Siapa?”
Diam.
“Mas Bimo?”
“Mm..”
Kubuka pintu. Kakakku masuk.
Langit ungu. Ada jingga juga di dalamnya. Angin tenang. Tapi saat ini yang ingin kulakukan hanya menangis. Ingin melupakan semua kejadian malam itu. Ingin menjadi manusia biasa. Senang dan berani sendiri. Menikmati sendiri. Menikmati langit ini.
Aku lupa apa aku yang menutup pintu atau dia yang menutup pintu. Mungkin alam bawah sadarku sudah mulai melupakan bagian-bagian pada malam itu.
Air mataku tak bertahan. Pelukan papa melindungiku.
Tanganku menggenggam kuat. Kuat. Aku merasakan tusukkan kukuku pada telapak tanganku. Minta perlindungan dari diriku sendiri. Pelukan kakakku melindungiku.
Polisi baru pergi dari rumahku. Kakakku ikut bersama mereka untuk memberikan penjelasan. Seharusnya aku ada di mobil itu, ikut bersama mereka dan memberikan penjelasan. Tapi mereka tahu. Tapi mereka maklum. Aku tidak sanggup.
Kuingat jelas. Baju hitam. Rambutnya. Bercak pada wajahnya. Kali ini ditambah darah akibat pukulan dari orang-orang yang berusaha melindungiku.
Kuingat jelas. Masih.
Tak bisa selesai karena memang belum selesai.
Entah kapan cerita ini akan kutulis kata selesai.
(desember 2005)
Komentar
Posting Komentar