sekarat
AAAAAAAaaahhhhhhhhhhhhhhhhhh…………………….
Aku pengen memaki namun entah apa yang dimaki. Aku ingin berteriak namun entah mau berteriak dimana atau apa yang mau aku teriakkan. Aku hanya tahu aku muak. Muak. Muak dengan semuanya. Mungkin aku hanya muak pada diriku sendiri tapi enggan untuk menyalahkan diri. Jadi, aku merasa semua orang ikut berperan serta untuk membuatku semakin muak. Semua salah. Semua tidak pada waktu dan tempatnya. Aku di bawah kontrol diriku.
Pikiranku masih sempat bekerja sedikit dan sesaat. Ia juga sudah berada di bawah kontrol emosiku. Tidak seharusnya aku menuntut terlalu banyak pada dunia ini. Aku tahu tapi masih saja kulakukan walau kadang itu hanya keinginan semata. Hanya bentuk ketidaksetujuanku pada saat ini. Biasanya aku hidup di dalamnya bahkan bangga di dalamnya. Aku mulai menyalahkan orang-orang di sekitar. Mereka tidak mengubah sikap dan perlakuan mereka terhadapku tapi mereka tetap masih salah di mataku. Aku tahu akan hal itu tapi emosiku saja yang sedang meminta lebih. Untuk apa? Entahlah. Ia hanya tidak puas dengan apa yang sedang dijalaninya.
Aku sakit. Aku sakit.
Jiwaku tidak sehat dan aku tahu itu. Entah harus berdiam diri menenangkan dan menyeimbangkan kedua bagian dalam diri ini atau aku tidak boleh kalah dengan mereka. Tidak mempedulikan semuanya. Aku memperkosa perasaanku sendiri.
Biarlah ia mati saja. Apa ia? Kalau iya, maka aku tak lebih hebat daripada binatang. Bahkan aku pernah menulis bahwa aku tak lebih hebat dari sekedar rintikan hujan.
AAAAAAAAAAAAAAhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh…………………………
Aku lelah tapi masih ingin terus berjalan. Aku ingin menyudahi tapi masih penasaran.
Aku sakit. Jiwaku sakit.
Bermalam-malam kucoba menerka-nerka jawaban ‘kenapa’-ku. Nihil. Pikiran serasa mengunci pintunya dari dalam. Aku dibiarkan menunggu di halaman depan rumahnya dan bermain-main dengan emosiku. Saja.
Sudahlah, sudah terlalu banyak energi negative yang mengelilingiku bermalam-malam, bersore-sore, bersiang-siang, berpagi-pagi. Enyahlah. Maaf tapi aku sedang tidak membutuhkanmu. Aku muak dengan muak. Aku tidak ingin ada di sini.Aku ingin tidak punya ingin. Mati.
Mati itu tidak mudah, kata seorang temanku yang pernah berusaha untuk mati. Aku setuju. Bahkan aku tidak pernah menentang dan menyalahkan tindakan percobaannya. Memang kadang dunia terlalu kejam atau kita terlalu lemah dan tidak berdaya di dunia? Entah mana yang lebih masuk akal.
Akal? Gila! Akal menghilangkan dirinya begitu saja saat ini. Aku dalam keadaan darurat. Aku membutuhkannya. Kenapa ia hanya suka mampir tanpa duduk terlebih dahulu? Dan ia akan pergi ketika aku sedang membuat segelas kopi untuk membuatnya semakin nyaman. Biar ia betah dan kerasan tinggal di sini. Apa ia sudah bosan? Apa ia sudah terlalu lama di sini? Apa ia merasa tidak eksis karena keberadaannya tidak aku sadari dan aku gunakna?
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Aku ingin terus menuliskannya berharap rasa itu tertinggal bersama setiap huruf yang kuketik.
Biar rasanya habis di dalam diri ini. Tubuhku tak berjiwa.
Jiwanya sedang sakit.
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Sakit karena muak.
Menuntut yang seharusnya tidak perlu dituntut.
Bodoh.
Bodoh.
Bodoh.
Bodoh.
Bodoh.
AKAAAAALLLLLLLLLL!!!!!!! Ribuan kali aku memanggilmu tapi tak pernah engkau mau menghampiriku. Kenapa???? KAsih tahu aku kenapa??? Emosi ini butuh pendamping. Aku mulai tidak bisa mengontrolnya. Pikiran cepatlah hadir. Tanganku sedah sakit untuk menahan kepergiannya. Tangan kiriku hanya berpeluk pada tiang agar tak terlepas dan ikut dengannya. Namun tarikannya semakin kuat. Tanganku sudah merah dan aku merasakan tiap sakit di titik-titik sendiku.
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Aku harus berjuang. Tanpa tenaga. Aku hanya bisa berjuang dengan peluh. Peluh kesakitan. Sanggupkah aku?
Maaf.
Maaf.
Maaf.
Hanya itu yang dititipkan akal kepadaku. Katanya, kata itu yang harus kusebutkan seandaianya aku lebih memilih untuk tidak menginginkan ingin. Diam. Tak berjiwa.
Tak berjiwa.
Tak berjiwa.
Maaf.
(Pertengahan Februari di umur yang kedua puluh satu. Dan aku gagal mempersembahkan tahun ini untuk orang lain. Nyatanya, ini baru minggu kesekian tapi aku sudah sibuk mengurus diri sendiri. Sekali lagi, maaf. Aku memang tidak layak.)
Aku pengen memaki namun entah apa yang dimaki. Aku ingin berteriak namun entah mau berteriak dimana atau apa yang mau aku teriakkan. Aku hanya tahu aku muak. Muak. Muak dengan semuanya. Mungkin aku hanya muak pada diriku sendiri tapi enggan untuk menyalahkan diri. Jadi, aku merasa semua orang ikut berperan serta untuk membuatku semakin muak. Semua salah. Semua tidak pada waktu dan tempatnya. Aku di bawah kontrol diriku.
Pikiranku masih sempat bekerja sedikit dan sesaat. Ia juga sudah berada di bawah kontrol emosiku. Tidak seharusnya aku menuntut terlalu banyak pada dunia ini. Aku tahu tapi masih saja kulakukan walau kadang itu hanya keinginan semata. Hanya bentuk ketidaksetujuanku pada saat ini. Biasanya aku hidup di dalamnya bahkan bangga di dalamnya. Aku mulai menyalahkan orang-orang di sekitar. Mereka tidak mengubah sikap dan perlakuan mereka terhadapku tapi mereka tetap masih salah di mataku. Aku tahu akan hal itu tapi emosiku saja yang sedang meminta lebih. Untuk apa? Entahlah. Ia hanya tidak puas dengan apa yang sedang dijalaninya.
Aku sakit. Aku sakit.
Jiwaku tidak sehat dan aku tahu itu. Entah harus berdiam diri menenangkan dan menyeimbangkan kedua bagian dalam diri ini atau aku tidak boleh kalah dengan mereka. Tidak mempedulikan semuanya. Aku memperkosa perasaanku sendiri.
Biarlah ia mati saja. Apa ia? Kalau iya, maka aku tak lebih hebat daripada binatang. Bahkan aku pernah menulis bahwa aku tak lebih hebat dari sekedar rintikan hujan.
AAAAAAAAAAAAAAhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh…………………………
Aku lelah tapi masih ingin terus berjalan. Aku ingin menyudahi tapi masih penasaran.
Aku sakit. Jiwaku sakit.
Bermalam-malam kucoba menerka-nerka jawaban ‘kenapa’-ku. Nihil. Pikiran serasa mengunci pintunya dari dalam. Aku dibiarkan menunggu di halaman depan rumahnya dan bermain-main dengan emosiku. Saja.
Sudahlah, sudah terlalu banyak energi negative yang mengelilingiku bermalam-malam, bersore-sore, bersiang-siang, berpagi-pagi. Enyahlah. Maaf tapi aku sedang tidak membutuhkanmu. Aku muak dengan muak. Aku tidak ingin ada di sini.Aku ingin tidak punya ingin. Mati.
Mati itu tidak mudah, kata seorang temanku yang pernah berusaha untuk mati. Aku setuju. Bahkan aku tidak pernah menentang dan menyalahkan tindakan percobaannya. Memang kadang dunia terlalu kejam atau kita terlalu lemah dan tidak berdaya di dunia? Entah mana yang lebih masuk akal.
Akal? Gila! Akal menghilangkan dirinya begitu saja saat ini. Aku dalam keadaan darurat. Aku membutuhkannya. Kenapa ia hanya suka mampir tanpa duduk terlebih dahulu? Dan ia akan pergi ketika aku sedang membuat segelas kopi untuk membuatnya semakin nyaman. Biar ia betah dan kerasan tinggal di sini. Apa ia sudah bosan? Apa ia sudah terlalu lama di sini? Apa ia merasa tidak eksis karena keberadaannya tidak aku sadari dan aku gunakna?
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Muak.
Aku ingin terus menuliskannya berharap rasa itu tertinggal bersama setiap huruf yang kuketik.
Biar rasanya habis di dalam diri ini. Tubuhku tak berjiwa.
Jiwanya sedang sakit.
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Sakit karena muak.
Menuntut yang seharusnya tidak perlu dituntut.
Bodoh.
Bodoh.
Bodoh.
Bodoh.
Bodoh.
AKAAAAALLLLLLLLLL!!!!!!! Ribuan kali aku memanggilmu tapi tak pernah engkau mau menghampiriku. Kenapa???? KAsih tahu aku kenapa??? Emosi ini butuh pendamping. Aku mulai tidak bisa mengontrolnya. Pikiran cepatlah hadir. Tanganku sedah sakit untuk menahan kepergiannya. Tangan kiriku hanya berpeluk pada tiang agar tak terlepas dan ikut dengannya. Namun tarikannya semakin kuat. Tanganku sudah merah dan aku merasakan tiap sakit di titik-titik sendiku.
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Sakit.
Aku harus berjuang. Tanpa tenaga. Aku hanya bisa berjuang dengan peluh. Peluh kesakitan. Sanggupkah aku?
Maaf.
Maaf.
Maaf.
Hanya itu yang dititipkan akal kepadaku. Katanya, kata itu yang harus kusebutkan seandaianya aku lebih memilih untuk tidak menginginkan ingin. Diam. Tak berjiwa.
Tak berjiwa.
Tak berjiwa.
Maaf.
(Pertengahan Februari di umur yang kedua puluh satu. Dan aku gagal mempersembahkan tahun ini untuk orang lain. Nyatanya, ini baru minggu kesekian tapi aku sudah sibuk mengurus diri sendiri. Sekali lagi, maaf. Aku memang tidak layak.)
Komentar
Posting Komentar