Teras Depan

Dua kursi rotan yang dicat putih dihalangi oleh satu meja kecil dengan asbak yang penuh dengan puntung rokok dan gelas-gelas sisa minum. Aku duduk di bangku yang lebih dekat dengan pintu keluar. Kepala ini terlalu berat untuk menopang tanpa bantuan dinding dan kepala kursi bahkan tanganku pun masih harus ikut serta menopangnya. Isinya kosong. Mungkin justru kekosongan adalah hal yang paling berat untuk kepala ini.

Pria tinggi dengan baju corak barong Bali itu mengistirahatkan tubuhnya pada kursi satu lagi. Aku hanya melirik sekilas. Peduliku jauh dari sosok yang terduduk itu. Diamku pun tak mampu lagi diam hingga ia berteriak, “Aduuuuuuuuuuhhh!!!!” dan diakhiri dengan helaan napas tanpa maksud mengiba. Teriakan si diam mendapat respon yang sama namun diisi dengan intonasi yang lebih tenang dan pelan, “Aduh”. Aku menoleh, entah untuk apa. Salah satu respon spontan barangkali.

“Gue temenin ngomong aduh-nya.”

Pria itu masih duduk dan baru kuperhatikan posisi tangannya sama denganku. Tangan itu membantu menopang kepalanya. Mmm… hanya memegang tampaknya karena kepala itu masih mampu berdiri sendiri bahkan terlihat enteng. Aku merespon dengan senyum kecil.

“Seenggaknya ngerasa sedikit tenang kalo ada orang yang simpati.”

Senyum kecil masih menjadi sarana komunikasiku untuk sedikit bersosialisasi. Aku sempat mengelak pernyataannya. Tentu saja dalam hati. Simpati untuk menenangkan orang lain. Apakah tetap terjadi walaupun ia tinggal dalam dunia kepura-puraan? Akhirnya, pikiranku sendiri yang menjawab kalau kepura-puraan adalah kegemaran manusia.

“Kenapa?”

Pria itu sekarang mulai menawarkan hubungan sosial antara dua manusia. Ia seolah membuka gerbang yang sedari tadi kubiarkan saja begitu. Apalagi ia bangkit sedikit dan mengambil sebungkus rokok dari kantongnya. Ia ambil korek dari kantong satu lagi dan menyalakan rokok itu. Pelan. Santai. Lagi-lagi rokok menjadi salah satu sarana bersosialisasi, menghidupkan kematian perilaku atau sekedar pembuat diri sendiri. Sebenarnya, bisa saja kuenyahkan tapi rasanya sensor yang menghubungkan pada syaraf refleks tadi bergerak kembali.

“Biasa. Bertarung dengan hidup.”

“Kenapa harus bertarung?”

“HHhhh… enggak tau.”

“Ajak berkawan.”

Saran yang sudah terucap beberapa kali dari sumber yang berbeda-beda. Ternyata, masih ada yang sama di antara keberagaman manusia. Mungkin kali ini hanya dengan pilihan kata yang berbeda saja.

Untung aku masih punya senyum. Senjata untuk respon apapun, senjata yang pelurunya ampuh, langsung kena sasaran.

“Mati aja.”

“Mmm… terpikir sih tapi masih banyak yang mau dilihat dan dirasakan di dunia,”

Kenapa aku masih menjawab pertanyaannya, itu juga yang kupertanyakan setelah menjawab. Pertanyaan lain di kepalaku, pertanyaan macam apa dari seseorang yang sama sekali belum pernah berjumpa dan belum pernah bertukar kata bahkan satu kata pun keluar dari mulutnya. Awal percakapan yang aneh tapi aneh sudah menjadi hal yang tidak aneh lagi saat ini.

“Mati untuk hidup lagi.”

Ia mengisap rokok kreteknya lagi. Aku memperhatikan bentuk asap yang dikeluarkan dari mulutnya sembari mencerna makna dari tiap kata yang diucapkannya dan menggabungkannya menjadi kesatuan makna. Aku belum selesai mencerna namun bentuk asap yang keluar dari mulutnya berubah bentuk dan semakin abstrak.

“Matiin hasrat, matiin keinginan, matiin semuanya. Kalo semuanya udah mati, baru kita bisa hidup lagi.”

Pikiran itu sudah terlalu sering lalu-lalang.

“Sering terlintas tapi kadang masih pengen jadi orang kebanyakan.”

Pria itu berdiri. Ia berjalan menuju pintu dan membuang abu rokoknya ke luar padahal ada asbak di meja itu. Ia menengok ke arahku ketika di ujung pintu situ.

“Kebanyakan itu murah!”

(17 Mei 2006)

Komentar