Empat Serangkai

Nama saya Si Empat karena Ibu saya punya 4 anak dan saya anak terakhir. Si Pertama dan Si Kedua sudah menikah. Dan sejak itu, mereka tidak tinggal bersama orangtua saya. Jadi, tertinggalah saya dan Si Tiga. Tapi, sekitar 2002—2004, anak Ibu saya seperti nambah 2. Yang kelima namanya Si Lima. Awalnya, dia teman Si Tiga. Si Lima seringkali menginap di rumah saya, hampir setiap hari, bahkan. Mulai dari hanya menonton DVD, maen CS, gun-bound, ngotak-ngatik motor, ampe akhirnya punya hobi yang sama ama Si Tiga, fotografi. Anak keenam, Si Enam, teman saya pada mulanya. Wah, saya dan dia sudah berteman sejak beberapa tahun sebelumnya. Tapi, saat itu adalah tahun-tahun intensif dia ada di rumah saya, walaupun tanpa ada hubungan rasa. Oh iya, perlu atau tidak, sekadar informasi, hanya saya yang perempuan. Mereka Si--Tiga, Si Lima, dan Si Enam--berjenis kelamin laki-laki.

Dulu, hampir setiap hari kami meluangan waktu bersama, entah hanya untuk makan bersama, menonton DVD, atau ‘cela-celaan’. Haha. Berhubung dulu semuanya masih berstatus single, jadi hingga malam minggu pun kami tetap bersama, bahkan sejak jam 7 malam. Haha. Kebersamaan itu semakin menjadi ketika mereka bertiga mempunyai hobi yang sama, fotografi. Wah, beberapa kali kami pergi untuk hunting. Bayangkan saja, Si Tiga tidak pernah menemani saya joging di Senayan, tapi giliran untuk urusan hunting, mereka bertiga rela menemani saya ke Senayan. Datang ke kampus saya pun dijabani. Pasalnya, mereka mau mencari danau di sana, sekalian Si Enam mengerjakan tugas footografinya. Belum lagi, perjalanan ke Kota Tua dengan membawa model. Saya, sih, ikut-ikut saja. Lumayan juga, beberapa kali jadi korban model percobaan. Haha.


Saya lupa cerita soal makanan. Kami berempat jagonya makan. Kalau ada makanan di rumah, udah pasti rebutan, tidak jarang berantem untuk mendapatkan makanan itu. Bukan karena segitu lapernya atau segitu rakusnya, tapi there’s an art about fighting. Hehe.

Oh ya, kami adalah sekelompok ‘penjahat’, kecuali Si Lima. Haha. Dia memang selalu mendekati perempuan, tapi tidak pernah berhasil pacaran walaupun pengen banget. Jadi, gimana mau jahat? Yang ada, dia yang dijahatin. Saya, Si Tiga, dan Si Enam hanya tertawa mendengar gombalan perempuannya. Hahaha. Because we did it and sometimes its just rubbish. Tidak lama, saya dan Si Enam punya pacar. Waktu saya dan Si Enam sama-sama punya pacar, Si Tiga dan Si Lima suka nunggu kami pulang karena setelah pacaran, kami pasti kembali ke rumah saya dan menghabiskan waktu bersama hingga anjing menggonggong (Di lingkungan rumah saya, kalau pagi hari, tidak hanya ayam yang berkokok, tapi banyak juga suara anjing menggonggong).

Setelah itu, Si Tiga saya kenalin dengan seorang teman saya dan akhirnya dia jatuh cinta. Kami bertiga seringkali mencela dia, apalagi waktu dia bilang kali itu dia mau serius. Haha. Kami bertiga tertawa dan hanya bilang, “yayaya”—saking percayanya. Jadilah kami bertiga punya pacar, tapi Si Lima masih saja menunggu kami di rumah sambil main friendster dan gun-bound. Haha.

Lama-kelamaan, kami mengenal istilah ‘bajingan tobat’. Si Tiga semakin serius dan semakin banyak menghabiskan waktunya bersama pacarnya. Si Enam? Tak beda jauh. Awalnya, jam 10 malam atau jam 11 malam sudah ada di rumah saya karena pacarnya tidak boleh pulang terlalu malam. Tapi, lama-lama, pacarnya iri melihat kebebasan waktu kami. Tinggalah saya dan Si Lima. Kami berdua masih sering berbincang di rumah hingga akhirnya dia mengurangi waktunya datang ke rumah saya dan jarang datang lagi. Si Enam? Sama saja. Tinggalah saya dan Si Tiga. Akhirnya, seringkali saya bergabung dengan Si Tiga dan pacarnya untuk menghabiskan waktu bersama. Atau, saya dan Si Enam berkumpul dengan teman-teman yang lain. Intinya, kami berempat sudah jarang berkumpul bersama.

Terakhir, kalau tidak salah, kami berempat masih berkumpul pada saat kejadian “maling” brengsek. Mereka bertiga, sahabat-sahabat saya yang lain, dan kakak saya terlihat sangat mendukung saya. Kami menghabiskan malam itu sepagian dengan menghabiskan lintingan-lintingan ganja ditemani Om Jack dan Chivas—sebenarnya, ini hobi lain kami berempat, hehe. Malam itu, saya bisa melupakan ketakutan saya berkat mereka. It was very helpful, guys! Really! Apalagi, pas adegan nyokap bangun di pagi hari dan semua perlahan kabur, kecuali sepupu gila saya “Jangan Lupa” yang harus ngobrol basa-basi. Hahaha.

Beberapa bulan lalu, Si Lima jatuh sakit. Terakhir kali, saya menjenguknya setelah dia berminggu-minggu di rumah sakit. Keadaannya sudh berubah, kurus sekali. Dan, untuk tertawa saja susah, tapi dia masih menyelipkan celaan-celaan untuk kami. Si Enam tampaknya sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya sebagai desainer grafis. Dan, dia juga sudah punya teman inap yang berbeda. Saya saja susah sekali untuk sekadar curhat karena saya mendapat tanggapan yang tidak sehangat dulu. Si Tiga? Juni lalu, dia benar-benar tobat jadi bajingan. Akhirnya, dia menikahi pacarnya yang waktu itu.

Sebenarnya, saya, Si Lima, dan Si Enam pernah membahas apabila pernikahan ini terjadi. Dan, ini yang masih saya bayangkan. Kami bertiga berdiri sejajar menghadap pelaminan dengan memegang gelas. Kami akan tertawa mengenang masa lalu ketika kami menjadi empat serangkai. Atau, bahkan, kami hanya terdiam berdiri di sana denagn scene di otak kami masing-masing dan diakhiri dengan saling tatap berikut senyum penuh makna dari kami—seperti ketika kami masih akrab. Tapi, ternyata, Si Lima tidak bisa datang karena penyakitnya. Si Enam entah ada di mana malam itu, walaupun ia datang bersama teman saya yang lain. Dan, saya? Saya seringkali sendirian di pesta itu menatap ke pelaminan dan banyak sekali scene yang lewat di kepala saya, entah yang sudah pernah saya alami bersama dia atau yang akan saya alami. Saya berharap ada Si Lima dan Si Enam untuk melengkapi malam itu. At least, it would make me stronger.

Mau tahu keadaan sekarang? Si Lima entah bagaimana kabarnya. Padahal, saya sudah berkali-kali memimpikan dia. Si Enam semakin sibuk. Bahkan, ketika sudah tidak berpacaran pun, dia sudah disibukkan dengan teman lain. Si Tiga sekarang sudah punya kewajiban lain. Jadi, mau tidak mau, kami—maksudnya, saya—harus cepat-cepat memaklumi hal itu.

Saya sekarang bekerja 7 hari dalam seminggu. Dan, tidak jarang menghabiskan tengah malam di kantor. Hehe. Mungkin aktivitas saya yang membuat kami tidak akrab lagi atau ketidakakraban kami yang membuat saya beraktivitas seperti ini. Hehe. Kadangkala, aktivitas sengaja dibuat untuk menutupi sesuatu. Bisa saja semua orang beranggapan saya baik-baik saja, padahal dalam hati sini menyimpan banyak kenangan tentang empat serangkai.


Banyak orang yang menggunakan 'topeng' untuk menyelamatkan diri dari penilaian orang lain, sedangkan saya mengenakannya untuk berlindung dari diri sendiri. Yup, that's right, self-defense-mecanism.

Komentar