last child

Entah hanya terjadi pada saya atau ini juga menjadi pengalaman anak terakhir lainnya. Bisa saja karena saya mempunyai 3 kakak. Bisa saja karena usia saya terpaut jauh dengan kakak-kakak saya, bahkan kakak di atas saya persis. Bisa saja karena pengalaman waktu kecil ketika kakak-kakak saya menjadi orang yang pasti lebih benar, lebih pintar, dan lebih hebat.

Jadi, ketika saya berumur 12 tahun, segala pendapat saya kurang matang, banyak hal yang tidak dipikirkan oleh saya. Ketika saya berumur 12 tahun, segala pendapat yang keluar dari saya selalu dianggap pendapat "anak kecil"--dirasa tidak memikirkan dampak positif dan negatifnya. Ketika saya berumur 12 tahun, segala permintaan dari saya dianggap hanya berupan keinginan, bukan kebutuhan. Saya terima semua itu karena saya sadar, saya belum tahu apa-apa tentang dunia. Ketika itu, yang saya hanya tahu bahwa dunia adalah tempat kita berbagi tawa, mempunyai keluarga yang akan selalu memberikan kehangatan, menikah adalah impian setiap orang dan berbahagia setelahnya, sekolah untuk mendapatkan universitas bagus, kemudian bekerja dengan karier dan gaji cemerlang yan merupakan impian semua orang.

Namun, setelah saya beranjak usia 19 tahun lebih, saya mulai banyak bertanya dan menjawab sendiri. Menjawab sendiri dalam artian berbincang, membaca, dan menonton. Lalu, ternyata saya menyadari. Semua pikiran dan pandangan saya tentang dunia dan kehidupan selama itu adalah bentukan dari keluarga saya yang ingin melindungi saya dari kekerasan--tanpa bermaksud membutakan saya. Tapi, lama-kelamaan, saya semakin memperhatikan tiap pandangan dan pendapat yang ada di keluarga saya. Dari apa yang saya tahu hingga sekarang jadi begitu banyak pandangan yang kurang saya setuju.

Tapi, ternyata, umur 22 tahun sama saja dengan umur 12 tahun. Lulusan SD ataupun S1 universitas negeri tidak ada bedanya. Selalu menertawakan kehidupan seperti anak kecil sangat mirip dengan meneteskan air mata dan darah atas perjuangan hidup. Anak terakhir adalah anak terakhir. Anak bungsu sama saja dengan anak atau adik yang selalu memohon pertolongan pada setiap ucapnya. Selalu saja dianggap susah untuk tegak berdiri sendiri. Anak terakhir mengeluarkan pendapat hanya untuk "ajang--yang katanya--demokrasi".

Terlalu banyak rahasia kepahitan yang tidak pernah saya ungkap sejak kecil. Keinginan saya agar mereka merasa berhasil meyakinkan saya untuk tetap di dunia ini lebih besar daripada ingin diiba.

Komentar