Tas
Sore itu, aku termangu di balkon belakang. Kudengar kutukan pintu. Sempat ada harapan melesat, tapi sesegera mungkin kuhempaskan. Aku berjalan lambat menuju pintu sembari merapikan pikiran. Kubuka.
Kutemukan dirinya. Ternyata, harapan tadi sudah betul. Telah berapa waktu ia tak tampak. Kini, hadir di depan pintu. Basah kuyup oleh air mata dan peluhnya. Dari atas kepala sampai ujung sepatu. Termasuk juga tasnya yang begitu besar, turut basah.
Apakah tas itu baru? Aku belum pernah lihat. Hendak ke manakah? Dari manakah? Aku mau diajak ke mana olehnya? Besar sekali tas itu. Cukup untuk bepergian beberapa minggu. Ini apa? Nyata dan mimpi membaur haru.
Itu apa? tanyaku terucap, tidak lagi dalam harapan semata. Ia segera membebaskan punggungnya dari bebas tas yang dipanggul. Susah payah melepasnya. Makan waktu lama pula. Aku belum terima jawaban.
Aku ulangi sekali lagi, takut ia tidak dengar sebelumnya. Itu apa?
Ia menatapku. Lekat. Aku sampai ingin menunduk karena tatapannya. “Boleh titip?” suaranya sengau. “Aku harus pergi lagi, tapi tidak bisa bawa ini,” masih sengau. “Sampai kapan?” tanyaku mulai mengindahkan pertanyaanku yang masih juga belum dijawab. “Sampai semua selesai,” jawabnya tetap sengau.
Entah ada pilihan atau tidak, aku menarik tas itu ke dalam dengan susah-payah. Bayangannya berlalu sekelebat. Kulihat ke pintu, ia sudah menghilang. Kutarik susah payah tasnya. Kusandingkan di ruang tamu, tepat di sebelah empat tas sama besar yang lain milikku. Tas-tas itu sudah lebih dulu bersemayam di sana.
Aku tak berani membuka tas miliknya. Aku berusaha megaromainya, berusaha dapat menebak isinya melalui indera penciuman. Aroma itu sungguh sama benar dengan tas-tasku yang berisi lelah dan takut.
Cepatlah kau temukan harapan agar selesai.
Komentar
Posting Komentar