titik selesai


Titik. Pemberian tanda titik dalam akhir tulisanku seharusnya merupakan tanda bahwa aku sudah siap mengutarakannya. Namun, bukankah tidak ada yang harus dalam hidup ini? Orang-orang saja sibuk memberikan penekanan pada hidupnya dan menciptakan konsep harus.

Sudahlah, kembali pada tulisanku. Sekian malam aku habiskan untuk menuliskan rangkaian kata yang akan kukatakan padamu. Pada saatnya nanti, aku harus mengucapkannya lantang, selantang perasaanku padamu. Aku akan mengucapkan tiap inti paragraf tanpa harus melirik tulisan ini.

Meskipun demikian, setiap kali berniat membubuhkan titik terakhir pada draf perkataan yang berupa tulisan ini, banyak sekali pertanyaan menggoda. Kalau pertanyaan saja, aku bisa menepisnya walaupun belum tentu dengan menjawabnya. Namun, bagaimana dengan kenangan? Ah, itu terlalu sulit!

Aku ingat betul awal perjumpaan kita. Duduk di salah satu sudut warung sambil menyeruput yang panas-panas. Kita saling menunjukkan kegundahan yang entah milik siapa. Senyummu terbawa hingga malamnya.

Ah iya, satu lagi. Malam pertama kita pergi hanya berdua saja. Sekian banyak waktu kuhabiskan untuk mencari pakaian yang nyaman karena aku tahu itu pasti menjadi malam yang panjang. Aku ingat topik-topik pembicaraan kita malam itu. Aku pun ingat betul kita begitu bergulung dalam tawa.

Dan... dan... Siapa yang masih ingat dengan mesem-mesem ketika kita saling melempar tanda? Entah tanda apa itu, tetapi kita hanya mau menginterpretasikannya dengan bayangan kita. Ah, kita sejatuh itu. Atau, ini hanya aku?

Maka itu, siapa yang menantikan malam ini? Sudah kupersiapkan sedemikian rupa segala tumpah ruah perasaan. Biar kita bicara malam ini. Titik. Itu adalah titik terakhir. Aku harus siap berbicara denganmu.


“Aku jatuh cinta. Itu betul adanya. Sudah sekian lama aku jatuh hati padamu, itu pun benar adanya. Tidak ada “tapi” dalam hubungan kita selama ini. Tidak juga ada “terlalu”. Begitupun dengan “kalau”. Aku yakin ini adalah hubungan impian bagi sebagian besar orang. Mereka terlalu iri pada kita yang masih bebas melakukan apa pun tanpa harus tarik-menarik dengan paksa.

 Malam ini, aku berniat mantap untuk berbicara padamu. Aku kehabisan perasaan. Aku masih sanggup bersenang-senang dan menghabiskan waktu denganmu bermalam-malam. Hanya saja itu tanpa perasaan yang dulu selalu kita gembor-gemborkan. Aku masih merasakan nyaman. Rasa itu bisa hadir tanpa perasaan. Sekali lagi, aku kehabisan perasaan. 
 
 Jadi, bagiku, inilah waktunya si selesai hadir. Bukan selesai untuk hubungan kita, tetapi selesai untuk rasa yang dirasa.

Hatiku tidak jatuh lagi. Tanpa sebab. Aku tidak perlu mengada-ada agar dipahami dan merasa dibenarkan. Rasa itu hilang begitu saja. Tanpa aku merasa sebaliknya padamu. Sudah aku bilang, aku tetap nyaman denganmu dan tak akan menghindarimu sama sekali. Bisakah kita tetap akrab tanpa intim? Setidaknya, aku merasa cukup mengenalmu. Tak akan kau terima segala penjelasan jujur ini. Kau butuh satu hal sebagai kambing hitam, seperti orang ketiga, aku, atau bahkan dirimu sendiri untuk dipersalahkan. Menurutmu, selesai merupakan hasil dari kesalahan. Padahal, bagiku, selesai adalah selesai. Ada saatnya selesai itu ada tanpa sebab-akibat. Ia hanya menunggu waktunya untuk hadir. Ya, kita selalu bertentangan akan hal ini."

Maka itu, siapa yang menantikan malam ini? Sudah kupersiapkan sedemikian rupa segala tumpah ruah perasaan. Biar kita bicara malam ini. Titik. Itu adalah titik terakhir.

Surat itu aku masukkan lagi dalam laci terkunci.

*gambar diambil dari http://weheartit.com/entry/29481110


Komentar