Kompromi
Tadi malam, saya bertemu
dengan teman lama saya. Terakhir bertemu, dia merasa dirinya begitu lemah
karena menggantungkan sebagian keputusan kepada orang lain, bahkan keputusan
untuk merasa bahagia. Malam tadi, dia begitu kuat, bahkan menurut saya terlihat
pada guratan wajahnya. Wajahnya semakin berbentuk, mengeras, tatapan matanya
tajam, bahkan saya pun sempat terperanjat ketika melihatnya. Saya terdiam
seolah langsung memasukkan kembali segala cerita yang ingin saya lontarkan
karena merasa tidak aman. Saya merasa diserang bahkan oleh bahasa tubuhnya.
Ya, dia memang begitu
berbeda. Semua keputusan kini ada di tangannya. Hidupnya seolah menawarkan dua
hal kepadanya: iya atau tidak. Saya dan teman-teman saya di meja itu pun seolah
dipaksa untuk memilih saat itu juga. Iya atau tidak. Tidak ada pilihan lain.
Ia kehilangan rasa
komprominya. Ia kehilangan rasanya. Kompromi dianggap seperti sesuatu yang
menyakitinya dan bahkan dianggap sebagai rasa awal ia tidak dipahami. Bukankah
sebaliknya, kawan? Ketika mulai berkompromi, orang-orang akan sibuk turut
berkompromi. Namun, ketika tidak ada kompromi, kamu tidak akan dimengerti
sepenuhnya, walaupun tidak ada pengertian yang penuh.
Bagi saya, malam itu ia terasa
begitu jenaka. Dialah yang mengingatkan saya untuk tetap dekat dengan orang
lain—sebagai pacar, kekasih, selingkuhan, teman, sahabat, kakak, adik, apa pun
namanya—agar terus mengasah rasa kompromi. Lebih dekat bahkan, cenderung intim
agar terjadi pertentangan pikiran dan perasaan yang kerap dikompromikan.
Bahagia adalah satu hal.
Bahkan, dengan berkompromi pun, kita bisa berbahagia.
Bagi saya, malam itu ia terasa
begitu jenaka.
Komentar
Posting Komentar