Berteduh
Saya
sudah berdiri di sini sedari pagi. Melihat ke atas, ke bawah, dan ke samping,
tanpa pernah melihat ke belakang. Sudah saya kenal betul keadaan di sekeliling
saya. Pohon yang tak bergerak dan tetap mengisi ruang. Burung-burung datang dan
pergi dan tetap mengisi suasana. Orang lalu lalang memperhatikan saya dan
berlalu. Ada pula orang berjalan tanpa melihat saya.
Kepala
kita sudah terisi dengan setiap jenisnya. Tak ada keinginan untuk saling
melebur. Saya juga sadar, tubuh saya sudah terbalut oleh peluh. Matahari saja
sudah lelah hingga semakin bersender ke barat.
Seorang
ibu yang berjualan jamu sudah lumayan lama duduk di samping trotoar. Kebaya
kunonya manis, terlihat melekat di tubuhnya yang tak kurus dan terlihat begitu
elok kecantikannya. Ia menyapa ramah tiap pembelinya, mengajak bertukar kata
sepatah-dua patah sekalian mengungkapkan kejenakaannya mengatasi hidup.
Saya
masih berdiri; memperhatikan semua. Ketika pelanggannya sepi, ibu itu
memperhatikanku.
“Sini, Manis. Duduk sini. Masih ragu? Tak apa ragu
sedikit, nanti lama-lama juga tahu.”
Ia diam
lagi, sibuk melakukan sesuatu dengan gelas-gelas jamunya.
“Manis, sampai kapan mau berdiri di situ? Aku tak apa
kalau kau mau duduk sama aku. Tak apa pun jauh. Kalau tak mau bicara, ya tak
apa. Setidaknya, duduk saja. Kita bisa diam tanpa kata. Lama sekali pun. Mungkin,
kamu tak merasa lelah, tapi kakimu sudah bergetar sejak tadi.”
Perkataannya
menyadarkanku akan rasa yang tak kualami lagi. Getar di kaki dan sakit yang
menelusuk tetiba terasa. Ah, jika saja ibu itu tak bicara apa-apa, aku tak akan
merasakan ini—mungkin saja. Namun, seharian ini, hanya dialah yang memang
menaruh peduli kepadaku.
“Tenang saja. Tak ada nasihat, meskipun aku sudah usang.
Sini, Manis, duduk barang sebentar. Biar kita sama-sama merasa ditemani, tak
sendiri.”
Dia
memberikan senyum, sepertinya itu adalah senyum terbaiknya. Terbaik bagiku.
Komentar
Posting Komentar