Kriiing. Kriiing.
Sebagian besar teman saya memilih makan siang di kantor karena tuntutan
kapitalis yang terus memaksa pergerakan karyawan hampir tanpa henti. Saya
sendiri sudah muak setelah bermalam-malam di kantor mengikuti perputaran
rodanya. Saya butuh suasana selain ruangan kerja saya. Tak apa sendiri. Saya
memilih makan siang di restoran bawah. Tanpa teman. Kadang-kadang, kita sering
kali melakukan pembenaran alih-alih memberikan hadiah pada diri sendiri untuk
makan di tempat yang sebenarnya tak perlu mahal.
Setelah memesan sepiring nasi goreng dengan harga yang paling murah dari
sederetan menu di situ, saya duduk bersabar. Meletakkan segala alat teknologi
yang saya bawa di atas meja tanpa bermaksud memegangnya karena sungguh bosan. Maklum, pekerjaan saya juga menuntut saya
untuk sedekat itu dengan teknologi yang hampir kewalahan untuk diikuti
perkembangannya.
Ternyata benar, pada saat itulah, panca indera seolah menari lantang.
Lebih banyak suara tertangkap. Bahkan, wewangian tercium sayup-sayup. Tunggu
dulu. Dari sekian harum, ada satu yang pernah saya kenal betul. Panca indera
memang beigtu liar, tak pernah mau menunggu raga. Bergerak bebas mengikuti
kenangan yang tertinggal entah pada masa kapan dan di sembarang tempat.
Saat itu, saya berusaha keras melewati ribuan kenangan berdasarkan wewangian.
Tersaring semakin sedikit. Semakin lama semakin sedikit lagi dan semakin
ragu—sekaligus kagum—dengan kemampuan menyimpan ingatan. Saya harumi sekali
lagi wangi itu. Tertinggallah satu sosok berambut panjang, memakai rok selutut,
dan sepatu tanpa hak. Sosok itu hampir setiap saat berpakaian seperti itu pada
zaman dulu.
Saya menggelengkan kepala. Saya kira itu adalah usaha untuk menepis
kenangan yang sedang melintas di dalam pikiran. Namun, bukannya hilang,
bayangnya justru semakin jelas. Wajahnya mendekat, senyumnya tersipu. Adegan
yang terulang-ulang adalah mata kami yang kerap bertubrukan di antara
keramaian. Ah, kenangan itu.
Tanpa mau mengingat lebih jauh, saya mengalihkan pandangan saya ke kiri.
Saya melihat sosok serupa dengan ingatan saya sedang duduk di meja sebelah.
Memang, hebat sekali kekuatan pikiran kita. Sering sekali kita mengira melihat
apa yang ingin dilihat, padahal jauh berbeda nyatanya. Saya pun mengembalikan
pandangan saya ke arah depan.
Namun, seberapa percaya kita pada diri sendiri? Toh, seringnya ragu
juga, bukan? Saya pun melempar pandangan ke arah meja sebelah lagi yang ada di sebelah
kiri. Itu pun saya lakukan semata-mata untuk mengalahkan diri saya, meyakinkan
bahwa yang saya lihat salah.
Tengokan kedua ternyata membawa saya berada di ambang antara menyalahkan
sekaligus membenarkan, berada di tingkat percaya maupun tidak percaya. Itu
benar dia! Senyumnya. Suaranya. Cara bicaranya. Rambutnya saja yang sudah
berbeda model. Dan, ini memang baunya yang tak pernah berubah.
Entah panggilan apa dari alam yang membuatnya menengok ke arah saya di
sela ceritanya. Ia melempar tatapan terkejut dan tersenyum. Tentu saja, tanpa pikir
panjang, saya balas senyuman itu. Semanis mungkin. Apa yang saya lakukan?
Dia memundurkan kursinya, beranjak dari duduknya, dan mendekati saya. Tatapan
saya tak lepas dari matanya. Masih saja semempesona itu.
“Kamu dulu sering main di Panggung Jaya, ya?”
“Iya. Kamu juga, kan?” saya memberanikan diri mengulurkan tangan sambil
setengah berdiri untuk menghormati usahanya menghampiri saya.
“Iya. Dulu, saya sering sekali lihat kamu main di sana. Masih sering
main?”
“Sudah lama nggak. Saya hampir selalu ada setiap kamu main dulu. Anggap
saja fans,” saya tertawa untuk menyamarkan keseriusan saya.
“Masa?” matanya membesar, benar-benar memberikan tampang tak percaya.
“Iya,” pandangan saya sebisa mungkin meyakinkan karena betul adanya,
bahkan tak sekadar fans belaka.
Dia diam tanpa keinginan untuk duduk. Sayangnya, saya sudah terlanjur
mendudukkan diri lagi. Tak ada kata-kata apa pun.
“Bahkan, saya jatuh hati dulunya sama kamu, tapi nggak pernah punya
keberanian dan seperti tidak ada jalan untuk kenal; cukup tahu saja,” saya mengeluarkan
perasaan yang tertahan selama bertahun-tahun. Kenapa tiba-tiba saya punya
keberanian ini?
“Saya jatuh cinta dulu sama kamu,” jawabnya pelan sekali. Masih berdiri.
Kriiing. Kriiing.
Telepon saya berdering. Di layar ponsel, nama istri saya tertera.
Komentar
Posting Komentar