Pintu
Ia mengetuk pintu. Sekali
saja. Meskipun begitu pelan, saya mendengarnya. Saya buka pelan-pelan tanpa
tahu siapa yang ada di balik pintu, tapi saya tahu betul itu adalah dia. Benar.
Basah kuyup. Meskipun
demikian, ia tetap berusaha memberikan senyuman terbaiknya.
Saya mempersilakannya
untuk masuk. Pakaian kering yang saya punya saya berikan untuknya. Tak bisa
mengeringkannya, setidaknya mengurangi rasa dingin yang begitu lekat.
Diceritakanlah cerita
sedih, tersedih dari yang pernah terdengar. Terlalu sedih sampai tak bisa
diberi tanggapan. Terlalu sedih untuk turut meneteskan air mata.
Tanpa tanggapan apa-apa,
ia juga menceritakan rencananya yang begitu tiba-tiba. Saya mengiyakan saja.
Tanpa tunggu kering, ia meninggalkan tempat saya, siap menjalankan rencana
tiba-tibanya.
Esok paginya, saya mencuci
pakaian saya yang kemarin sempat dipakainya. Saya bersihkan noda darah yang
sampai sekarang tak pernah bisa hilang.
Saya juga masih menyimpan
yang tertinggal saat itu. Entah tertinggal tanpa sengaja atau ia tinggal untuk
diambil kembali atau ia tinggal karena tak mau punya lagi.
*gambar diambil dari sini
Komentar
Posting Komentar