Selisipan
Ia yang kuceritakan
berbulan-bulan lalu masih saja menanyakan hal yang sama. Apalagi, pertanyaannya
masih sama dan jawaban saya pun tak pernah berubah. Setidaknya, belum berubah.
Mungkin, memang benar, manusia kadang tak mencari jawaban. Pengulangan pun tak
berbuah perbedaan. Bahkan, sekarang pertanyaan sudah berubah menjadi
permintaan.
Waktu. Itu saja yang ia pertanyakan. Ia minta. Terus-menerus. Tanpa
jera.
Berulang kali pun sudah saya jelaskan. Waktu hanyalah hitungan detik yang
dibagi-bagi lagi. Saya juga sudah bilang, saya memberikannya lebih dari
permintaannya. Ruanglah yang saya berikan. Namun, ia kerap meyakinkan saya
bahwa ia minta waktu, bukan ruang.
Saya pun coba menjelaskan berulang-ulang bahwa waktu bisa dibagi
semaunya. Ruang? Apalah arti waktu jika tak ada ruang? Ruang yang sudah terisi
tak bisa terbagi lagi. Tak paralel sama sekali. Mutlak.
Dalam waktu yang sama, tak mungkin ada satu ruang yang sama berbagi.
Sementara itu, satu waktu sangat mungkin untuk dibagi dengan beberapa ruang.
Dan, masih juga mempertanyakan, bahkan meminta, waktu?
Ia yang kuceritakan berbulan-bulan lalu menganggap dirinya tak hadir
karena tak memiliki waktu. Sementara itu, waktu tak pernah menunggu. Bergulir
tanpa ampun, meskipun sekian banyak orang memintanya berdiam diri tanpa sedikit
yang memintanya berputar arah.
Saya tak mungkin meninggalkan waktu. Ruang mungkin saja ditinggalkan,
tanpa menghilangkan hadirnya. Tetap ada dalam satuan waktu yang berbeda.
Kemudian, sesorean itu, saya menghabiskan waktu yang tak pernah habis,
lengkap dengan ruang yang tak pernah berbatas. Ia yang kuceritakan
berbulan-bulan lalu mungkin berjalan tanpa berhenti, menyaingi kecepatan waktu.
Ia mencari waktu yang tak pernah dikenal wujudnya. Entah sampai kapan.
Komentar
Posting Komentar