buku dan ilustrasi


"Kenapa nggak?" tanya Dodo.
"Nanti, uang cetaknya pakai apa?" Lesya balas tanya.
"Nanti kita cari, seadanya saja."
"Aku bukan penulis, Do. Aku tidak yakin akan ada orang yang mau beli. Ada, sih, mungkin orangtuaku. Teman-teman pasti minta gratisan juga."
"Ini bukan soal laku atau tidak, Lesya. Ini soal lempar hasil kreativitas kepada semesta. Dibaca atau tidak, itu belakangan. Kalau tidak pernah diberi kesempatan untuk baca, bagaimana mereka bisa tahu?"
"Tapi, Do," potong Lesya.
Dodo memajukan posisi duduknya. Menatap Lesya tajam-tajam. Lesya tahu betul, itu saatnya ia diam.
"Bolehkah tidak ada tapi-tapi lagi? Dari awal, aku pikir kita sudah sepakat. Kamu menulis, aku buat ilustrasinya. Kita buat saja, kepuasan bagi kita berdua. Kalau kamu takut tidak laku, sekalian kita sebar dengan gratis. Buat aku, ini soal kita menunjukkan hasrat kita. Bukti nyata," jawab Dodo mencoba sabar.
"Semuanya masih butuh bukti, ya, Do?"
"Untuk hal ini, masih, Lesya. Kamu saja masih bisa bilang bahwa kamu bukan penulis. Buktikan kepada dirimu sendiri."
"Emang bukan. Tulisan aku cuma dibaca kamu."
"Aku mau bagi perasaan setelah baca tulisan itu kepada lebih banyak orang. Dan, berhenti bilang kamu bukan penulis. Sekali kamu mengaku bahwa kamu penulis, kamu akan bertingkah seperti penulis dan akhirnya dianggap penulis."
"Aku rasa aku tidak perlu dianggap dan diperlakukan sebagai penulis."
"Kamu bilang, kamu mau hidup yang baru."
"Mungkin, buat kamu, ini soal lembaran baru. Buat aku, ini soal memunculkan harapan lagi."
"Buat kamu, ini semua masih soal perasaan kamu."
"Kalau dulu aku tidak punya perasaan, aku tidak akan seperti ini."
"Iya, tidak akan menulis bagus juga. Tulisanmu perasaan melulu."
"Apa aku sudah tenggelam, ya, Do? Di tengah pernyataan tidak mau punya harapan, aku masih bisa bilang "kalau" yang artinya sama juga dengan harapan."
""Kalau" itu alat imajinasi, Lesya. Kalau kamu menulis dan aku buat ilustrasi, lalu kita jadikan buku, bagaimana?"
Senyum pun mengakhiri pertemuan sore itu. 

Komentar