ASU



Aku terlentang, menatap lurus ke atas. Ia berdiri tepat di depanku. Memainkan mimik dan menggerakkan tangannya seadanya saja demi meyakinkan cerita yang sedang dibawakannya. Suaranya cukup pelan. Sesekali, ia melirik ke bawah, menatap mataku yang jaraknya tentu saja tidak dekat, mungkin untuk meyakinkan bahwa aku tetap memperhatikannya. Aku tertawa-tawa mendengarkan kisahnya yang entah tentang apa. Tapi, mimiknya sudah cukup memancing gelak. Ia juga tak sanggup menahan tawanya sambil terus berceloteh.


Ini terlalu susah digambarkan, bayangkan saja jika kau sedang berdua dengan temanmu di satu ruang kecil dan sedang membicarakan komedi kehidupan tetanggamu tanpa ingin didengar yang bersangkutan. Permainan mimik kuat, suara rendah setengah berbisik. Kadang, yang lebih lucu bukan ceritanya, melainkan cara yang kalian berdua gunakan untuk menceritakan itu. Jika kau belum pernah berada pada situasi seperti itu, mungkin kau memang belum terlalu banyak berteman akrab dengan orang. Mungkin, kau tidak semenyenangkan itu untuk membuat satu orang betah berada hanya berdua denganmu dan berbagi komedi kehidupannya.

Kembali pada cerita awalku. Aku tak peduli dengan situasi khusus atas kehidupan sosialmu. Masa aku harus menjelaskan panjang lebar hanya untuk memberikan gambaran kepadamu? Lebih baik kamu berhenti membaca ini dan coba mulai cari teman bicara ngalor-ngidul di sana-sini. Kalau sudah mengerti kira-kira gambaran latar belakang awal ceritaku tadi, barulah baca ulang ceritaku ini. Ini semata-mata biar aku tak harus panjang kali lebar bicara sesuatu yang tak berhubungan dengan tulisan awalku.

Maaf, ya, kau yang sudah banyak berkawan dan mengerti sejak semula latar belakang yang kumaksud. Kita memang kadang suka terganggu dengan orang-orang yang berbeda pengalaman. Tapi, yaaa, namanya juga hidup di lingkungan sosial, kata orang tua, “ya kita mesti tepo seliro sama mereka itu”.

Oke, oke, kali ini benar kembali pada tulisan awalku. Tadi sampai mana? Ya ya ya, dia berceloteh sambil berdiri, aku mendengarkan ceritanya sambil tiduran. Kemudian, aku dan dia tersedak tawa. Sudah ada tawa lain sebelum tawa sebelumnya berakhir sampai akhirnya tersedak dan terbatuk-batuk. Bahkan, itu pun masih sambil tertawa. Itu rasanya bahagia sekali.

Anjing itu datang menjilat-jilat wajahku. Aku berbalik ke kiri, anjing itu berjalan dari arah kiri dan menjilati wajahku lagi. Ingat, ya, ini masih dalam suasana penuh tawa. Lalu, aku berbalik ke kanan menghindari jilatannya, anjing itu jalan lagi ke kanan sambil ekornya goyang-goyang tanda kegirangan. Aku lari lagi ke arah sebaliknya, menjauhi anjing itu. Anjing itu terus mengejar di belakangku. Berulang kali, bolak-balik. Sementara itu, dia menghentikan ceritanya dan melanjutkan tawanya dengan alasan yang berbeda.

Dan, buat kau yang sudah mulai protes mempertanyakan kenapa tiba-tiba ada anjing tanpa ada jembatan penghubung, aku jujur saja, ya, siapa tahu belum banyak orang yang berani bicara sebegini langsung kepadamu. Kau terlalu serius, kurang komedi. Hidupmu bisa jadi sudah terjadwal dan tersusun rapi tanpa mau dibolak-balik oleh kehidupan. Makanya, untuk urusan sebegini mudahnya saja, kamu sudah mau misuh-misuh. Bukankah kehidupan katanya sering memberikan ketiba-tibaan? Kalau kata orang-orang--yang katanya--kreatif, berpikirlah keluar dari kotak. Sudah, sudah, aku mau lanjut ceritaku.

Aku berdiri, mencoba berjalan menjauhi anjing itu. Anjing itu malah makin sumringah. Anjing itu berlompatan naik ke pahaku. Apakah anjing itu masih mau berusaha menjilati wajahku? Aku lari ke arah yang menjauh dari anjing itu. Anjing itu matanya makin membulat, bernyala-nyala. Goyangan ekornya makin cepat. Berlari mengejarku dan bahkan kali ini melompat-lompat di punggungku. Aku lari tertawa. Aku lari lagi ke arah sebaliknya, menjauhi anjing itu. Anjing itu terus mengejar di belakangku. Berulang kali, bolak-balik. Dia yang kini sudah di ujung ranjang memperpanjang tawanya. “Aku ketawa melihat kamu ketawa. Ketawanya sampai tidak kuat.”

Apakah sudah terbayang adegan ini di kepala kau? Apa kau hanya seorang penyuka kucing yang tak punya pengalaman bermain dengan anjing sehingga kesulitan membayangkan adegan kejar-kejaran ini? Sudah tadi tak punya teman, sekarang kau tak suka anjing pula? Ah, sudahlah, habis riwayat penulis kalau semua-semua harus dijelaskan. Eh, ini saran saja, ya. Sudahlah, sesekali tinggalkan kucing busukmu itu di kolong meja. Dia tidak akan mati, bahkan mungkin ia akan mengawinkan kucing-kucing lain yang nantinya harus kau buang karena makananmu suka hilang tiba-tiba. Kucing-kucing itu butuh tempat dan makanan gratis. Nanti, bisa-bisa, dompetmu hilang dan malah temanmu juga bisa bilang, “Mungkin itu ulah kucingmu juga. Awalnya nyuri makanan, lama-lama ngelunjak malah nyolong dompet.” Pusing setengah mati kan, kau? Bukan uangnya, karena memang tidak ada, bikin kau pening. Pun ada, paling tidak banyak. Dari mana orang-orang seperti kita dapat uang banyak? Justru, kepalamu pening bikin sedih betul karena kehilangan foto mantanmu di dalam dompet itu. Ah, jangankan mantan, dia bahkan hanya cem-ceman bertahun-tahun yang tak kau apa-apakan. Jadi, memang begitulah cara bermain dengan anjing. Kau bisa berkejar-kejaran, bukan hanya gelendotan malas-malas macam kucing. Anjing itu terlihat lebih lincah, lebih semangat, lebih memberikan gairah. 

Dan, kalau mau kembali ke ceritaku, anjing itu memang bergairah betul hari itu. Aku sampai lelah berlarian dengan anjing itu. Aku pun melemparkan diri di kasur, berharap ini seperti adegan-adegan di banyak film. Kasurnya akan turun dan naik lagi mengikuti berat tubuhku, begitu empuk, begitu lembut, dan biasanya ini akan dibuat dalam slow motion, se-slow-slow-nya. Sayang sungguh sayang, lain film lain kenyataan memang. Kasur itu jauh dari kata empuk. Bunyinya saja seperti, “brukkk”. Dia makin tertawa melihatku meringis kesakitan. Aku menahan tengsin dengan membuatnya seolah-olah sakitnya menjadi kelewatan.

Kemudian, setelah tawanya habis. Kami saling berpandangan. Berhadapan. Berjauhan. Seolah berbicara banyak dalam tatapan. Padahal, tatapanku kosong. Mungkin, ini bisa disandingkan dengan adegan orang-orang yang baru mau ciuman di film-film. Di tengah tatapan itu, ada interupsi, Yang Mulia. Ketukan pintu. Berkali-kali. Makin lama makin keras.

Ini adalah bagian terpenting. Biasanya, kalau di buku-buku plot yang bertumpuk itu, ini masuk dalam langkah pengenalan konflik.

Aku bangun dari kasur dengan terkejut. Hatiku dag-dig-dug. Sekelilingku begitu berbeda dari semua  yang kugambarkan tadi. Tidak lama, terdengar suara seseorang dari luar sedikit berteriak, “Amalia, masih hidup atau sudah loncat dari lantai 34? Sudah dua hari dalam kamar, dikunci pula.” Aku panik. Bingung. Aku ada di mana? Apartemenku lantai 33.  

Komentar