Jakarta: Untuk yang Percaya
“Jakarta diperuntukkan bagi orang-orang yang percaya.”
Begitulah yang selalu mereka katakan. Bukan hanya sekali-dua kali, tetapi
berulang kali. Kemudian, di manakah tempat bagi orang-orang yang sudah tak
mempercayai apa pun? Ini sungguh berbeda dengan orang yang tidak percaya sejak
awal. Mulanya, kaum ini begitu percaya, tetapi pengalaman menuntut mereka untuk
menolak itu kembali demi keberlangsungan hidupnya atau demi apa pun lah itu.
Apakah mereka harus tersingkir dari ibukota yang mulia nan suram ini?
Jakarta adalah ibukota harapan. Begitu banyak harapan yang terpanggul di
pundaknya. Pun tak ada satu pun yang ia janjikan, orang menaruh kepercayaan
yang berlebihan dan kemudian menuntut Jakarta untuk memenuhi harapannya.
Memang, sesekali harapan itu terjawab. Tapi, ingat, itu hanya berlaku bagi
sebagian orang. Dan, kata mereka, itulah jatah orang-orang percaya.
Lalu, di manakah tempat bagiku?
Mereka terbahak ketika kubertanya serius. Aku ikut nyegir seolah tahu letak
kelucuannya. “Ya, di Jakarta juga.” Dalam kebingungan, salah satu di antara
mereka menjawab tanpa menghilangkan gelaknya. Orang-orang sepertiku tidak boleh
musnah dari Jakarta sebagai santapan kaum yang percaya, setidaknya percaya
bahwa mereka lebih beruntung.
Aku ikut tertawa, berusaha mengakak, sebisa mungkin untuk bisa bertahan di antara mereka; berusaha membuat mereka percaya bahwa ini memang lelucon. Mereka kira aku sudah
sanggup menertawai nasibku yang tak pasti di ibukota. Lihat saja. Sebagian besar perantau
mendapatkan apa yang mereka harapkan, sedangkan aku yang lahir dan besar di
kota ini disiksa habis-habisan. Mungkin mereka datang karena percaya, sementara
aku menetap karena tidak ada pilihan. Apa yang bisa dipercayai oleh orang yang
tidak punya pilihan?
Mereka kemudian mengajarkanku cara berharap; seakan itu adalah satu-satunya
jalan untuk bertahan hidup. Sekian tahun hidup tanpa harapan, toh aku masih di
sini, pun menjadi bahan tertawaan mereka. Jadi, bukan. Harapan bukan untuk
bertahan hidup. Satu orang lainnya semakin mengakak melihat keraguanku. “Tidak
perlu harapan untuk percaya. Percayalah karena memang percaya.”
Apa yang harus aku percaya? Percaya bahwa orang-orang sepertiku memang
tidak tersedia ruang di Jakarta?
Selepas keterbahakan itu, tentunya ada jeda yang biasa terjadi di antara
percakapan. Dalam kesempatan itu, seseorang yang sedari tadi hanya menyimak
bertanya bagaimana aku bisa berpindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa ada
kepercayaan. Pindah pasti memerlukan kepercayaan bahwa ada sesuatu di langkah
selanjutnya, ada sesuatu yang ditunggu atau menunggu di tempat berbeda, percaya
bahwa waktu terus bergulir yang juga seringnya terasa hanya mengulir.
Perpindahan ini hanya tentang keharusan, Puan dan Tuan. Tak ada kepercayaan
dalam keharusan.
“Apakah kamu tidak percaya?”
Dia terus mencoba mengejarku. Dan, jangan lupa, ini semua masih dalam
suasana yang dianggap penuh komedi. Semua orang menyambung terus tawanya. Aku
mengangguk, menahan sesengguk. Dia bilang, itu bagian dari percaya, tanpa
mengikuti yang lain untuk melanjutkan pingkal. Sungguh, saat itu juga, aku
ingin menyumpal.
Jakarta ini sudah penuh dengan kebanyakan orang yang tak lagi menyambung
cara berpikirnya. Orang berhasil mengakalkan amarahnya justru dianggap sakit
mental karena habis rasa. Orang memadu kasih disebut-sebut jahanam dan menyiksa
diri. Kemacetan dilupakan sebagai kesalahan dan dilimpahkan kepada jelata yang
tak tahu-menahu. Ketidakpedulian disamaratakan dengan siasat hidup berbudaya.
Taman-taman dijadikan tempat mesum yang dipertontonkan. Kemiskinan malah
dirayakan dengan menjadikannya objek wisata. Kegagalan untuk bersimpati
ditertawakan tanpa ada penjelasan. Jika ini memang cara mereka untuk percaya
bahwa yang mereka lakukan lebih baik, mereka berarti menukarnya dengan rasa
yang tak terasah. Masih adakah resah? Atau, resah merupakan petanda atas ketidakpercayaan
sehingga dihindari betul agar tak antul?
Puan dan Tuan terlalu takut untuk ragu. Semua sibuk lomba angkat dagu.
Namun, kemudian, aku tersadar. Ini tidak hanya terjadi di Jakarta saja.
“Kehidupan hanya untuk orang-orang yang percaya. Dan, kaum yang tidak
percaya lupa diletak di mana.”
Salah satu di antara mereka yang tak melerai tawanya sejak mula,
menambahkan, “di keterpurukan.”
Butuh banyak waktu untuk percaya atau kembali percaya. Percaya? (ES)
BalasHapus