Jangankan Suka, Ngerti Juga Enggak...

Sekumpulan teman saya, termasuk pacar, berhasil menghasilkan satu film Jangankan Suka, Ngerti Juga Enggak.... Selagi liburan, saya bantu membuat booklet-nya, satu hari sebelum pemutaran perdana (26 Desember 2013). Tulisan dibuat selama dua jam dan sisanya habis buat lay out seadanya. Makanya, isinya tidak jauh dari curhat-curhat colongan dan juga pembenaran sana-sini. Maafkan aku, teman-temin. Ketika dibaca lagi beberapa hari kemudian, alurnya lompat-lompat tak keruan dan kurang ngehe. Yah, namanya juga nganu, ya. Ini dia tulisannya.




Jangankan Suka, Ngerti Juga Enggak...

Apakah Anda butuh pemahaman untuk menyukai sesuatu atau seseorang? Atau, ketidakpahaman justru menimbulkan rasa penasaran yang begitu menggelora hingga sampai pada titik suka? Apakah film ini akan berbicara tentang itu?

Nah! Ini tidak sekata-kata memberikan informasi yang Anda butuhkan saja. Jika baca ini sampai selesai, Anda juga disuguhi cerita-cerita yang tidak diperlukan atau setidaknya dianggap tidak penting. Atau, bisa juga, Anda malah tidak mendapatkan apa yang Anda cari pada selebaran yang biasa dibagikan sebelum menonton film atau pementasan. Tapi, toh, siapa yang tahu apa saja kebutuhan Anda?

Ini akan berawal dari satu pengalaman kita yang sama. Hanya dibutuhkan satu pengalaman yang sama untuk berujung pada pembicaraan ngalor-ngidul. Tentu saja, jika termasuk orang yang menyenangkan, Anda pernah berada pada suatu situasi mengobrol seru bersama teman atau teman-teman (jika Anda semenyenangkan itu). Pada situasi itu, tidak ada batasan pembicaraan. Ide-ide semena-mena berkeliaran, bahkan dalam kelakar.

Pengalaman tersebut juga dialami oleh sekelompok anak muda ini. Dalam perbincangannya di suatu meja yang tidak jelas bentuknya, mereka ingin melakukan sesuatu untuk memenuhi hasratnya mempunyai pengalaman baru. Yah, namanya juga anak muda, keinginannya ada banyak dan begitu menggebu-gebu, apalagi demi menambah rentetan pengalaman. Setidaknya, nanti, pada suatu saat tua nanti, anak-anak muda ini punya simpanan kisah untuk diceritakan agar seolah-olah banyak makan asam-garam.

Bicara punya bicara, mereka berencana membuat sesuatu yang berasal dari pengalaman mereka pula. Mulailah mereka menceritakan pengalaman mereka. Seringnya, mereka justru menertawakan pengalaman mereka. Itu dianggap sebagai komedi kehidupan dengan asumsi bahwa banyak pengalaman yang dianggap lebih beruntung dari punyanya masing-masing. Dan, seringnya, kita memang lupa menertawakan hidup kita sendiri. Padahal, itu justru bisa menimbulkan keberanian yang tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Notulen! Itulah yang membuat tawa mereka tak berhenti malam itu. Mereka membahas kisah salah satu di antara mereka yang sering menghabiskan waktunya untuk membuat notulen. Banyak proses tragis di dalamnya yang kini sudah bisa ditertawakan. Bahkan, notulen itu sendiri pun merupakan penyelamatan ingatan yang nantinya akan menjadi dokumentasi penting dan—tentu saja jika dilihat dari sudut pandang tertentu—bisa juga ditertawakan. “Kita buat film saja tentang notulen yang dibungkus komedi. Sudah terlalu banyak orang yang hidupnya serius sampai lupa menertawakan hal-hal seperti ini.”

Ternyata, benar apa yang dikatakan orang-orang tua: berhati-hatilah dalam mengucap, itu bisa dikabulkan begitu saja. Jaringan Arsip Budaya Nusantara (JABN) meluncurkan program Hibah KARYA! (Kembangkan ARsip budaYA!). Mereka membuka kesempatan kepada publik terhadap arsip untuk dikembang-olahkan untuk diutarakan kembali kepada publik dalam berbagai kemungkinan format. Tujuannya jelas, yaitu meningkatkan kesadaran publik untuk memanfaatkan arsip. Konon, inilah yang disebut mestakung—entah itu semesta mendukung atau semesta cah kangkung. Akses disediakan dan juga film dimungkinkan sebagai format penampilannya.

Dibuatlah pada malam-malam suntuk proposal berdasarkan canda-canda mereka. Kemudian, hidup menjadi begitu serius. Banyak malam tanpa cukup tidur dihabiskan untuk menyusunnya.

Tak dinyana, anak-anak buta pembuatan film ini melempar idenya dan justru menarik perhatian para juri. Mereka pun diberi kesempatan untuk mengolah notulen dalam bentuk film sebagai pembacaan ulang. Setelahnya, ternganga-ngangalah mereka, “ini harus dimulai dari mana?” Apakah Anda pernah mengalami hal yang sama; begitu menginginkan sesuatu, kemudian sempat resah sesaat ketika apa yang diinginkan benar-benar ada di depan mata?

Selalu Ada yang Pertama
Permohonan mengakses arsip di Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) dikirimkan. DKJ menunda per-izinannya. Lantas, dari mana notulen yang menjadi ide dasar film ini berasal? Kebingungan ditunda, proses diputuskan untuk dimulai dari arah yang berbeda. Sembari berusaha meyakinkan DKJ untuk memberikan aksesnya, proses pengumpulan data dimulai dengan melihat-lihat kliping media.

DKJ melunak. Akses diberikan. Berto Tukan dan Sulaiman Harahap mengutus dirinya untuk meneliti tumpukan notulen DKJ. Disambi juga dengan wawancara dengan Ajib Rosidi dan Iravati Soediarso. Kisah mereka penuh dengan gelak akibat cerita kejayaan mereka pada masa lalu. Itu meningkatkan kembali semangat untuk melanjutkan perjuangan. Tanpa suplemen penguat, mereka melahap semua data dan menyajikannya kembali dalam bentuk ringkasan.

Pembahasan mendalam dilakukan dengan tim disambi seruput kopi pada malam-malam yang tak kenal lelah di Kedai Lentera dan tempat-tempat lain. Ini juga merupakan kisah tersendiri. Tempat menetap yang saling berjauhan, kesibukan masing-masing, dan kemacetan Jakarta (yang sudah tidak masuk akal untuk dijadikan kambing hitam karena terlalu mainstream) membuat kesusahan untuk menentukan tempat bertemu. Markas juga tidak ada. Alhasil, penelusuran tempat yang buka 24 jam dijajal, sembari berpindah-pindah. Misalnya saja, dari jam 19.00 sampai jam 22.00, tim berkumpul di bilangan Kuningan. Setelah lampu mulai dimatikan perlahan-lahan, lagu diperkeras, kursi-kursi diangkat—sebagai tanda pengusiran halus, mereka harus berangkat ke tempat lain. Luntang-lantunglah mereka sambil cari-cari tempat lain yang masih menawarkan pelayanan entah sampai jam berapa. Ini bukan sekadar kesulitan tempat, juga harga yang harus dibayar demi “sewa tempat” yang kadang malah tak menghasilkan sesuatu yang brilian. Uang keluar, ide malah mandek. Setidaknya, ini bisa berguna bagi Anda. Jadi, jika nanti membutuhkan tempat berkumpul dengan teman-teman atau sekadar tempat kencan hingga larut pagi, Anda bisa tanya mereka tempat-tempat strategis.

Kembali kepada kisah Berto dan Sulai. Pembahasan hasil riset menghasilkan berbagai kemungkinan pilihan ide. Thirdi Canggi Cahayanu turut dalam pembahasan-pembahasan absurd. Banyaknya pilihan bisa memompa imajinasi sekaligus justru bikin pusing tujuh keliling. Beberapa anak muda yang tadinya begitu bersemangat untuk turut berkontribusi dalam pembuatan film ini mulai melipir perlahan-lahan dan teratur. Piye iki? Semangat mengendur. Pertemuan-pertemuan tak lagi dipenuhi dengan remeh-temeh spontan, tapi justru dengan persiapan bahan pembicaraan. Apakah Anda pernah mengalami hal serupa? Jika tidak, kemungkinannya ada dua: lingkungan Anda memang begitu ideal dan, sungguh, jangan tinggalkan lingkungan itu atau bisa jadi Anda memang tidak punya teman sehingga tidak pernah mengalami kejadian-kejadian serupa.

Bagai malaikat di tengah hari terik, Eka Kurniawan menanggapi curahan hati sekelompok anak baru sembuh ingusan yang tersisa dengan mengajukan satu ide cerita. Gayung bersambut! Ide itu menjadi pilihan untuk dikembangkan sebagai rentetan dialog. Ninus D. Andarnuswari melanjutkan kisah menjadi rentetan cerita utuh. Jumpalitan dia. Hingga pada suatu jam tidak wajar, “Ini naskahnya,” dia menyenderkan tubuhnya pada suatu kursi renta setelah membubuhkan titik di akhir.

Tanpa judul, skenario sudah siap masuk produksi. Ini dia waktunya ketika kebingungan semakin merajalela. Beberapa orang menawarkan diri untuk membantu. Sekelompok anak muda ini belum terlalu ranum untuk memisahkan antara basa-basi dan niat betul. Setelah bertemu dengan beberapa orang dan merasakan lika-likunya, Dedih Nur Fajar Paksi dan Age A. Maulana menjadi orang-orang yang membantu proses produksi.

Survei lokasi, mohon izin penggunaan tempat, diskusi ini, diskusi itu, baca naskah, tetek-bengek lainnya dilakukan sebelum proses syuting. Kemudian, layaknya pemain film sesungguhnya, para pemain pun menjalankan proses pengambilan gambar selama dua hari dua malam. Di mana? Di Bantar Gebang dan di Studio Hanafi.

Tanpa boleh habis energi, proses berlanjut. Editing. Kemudian, tibalah pada saat melihat hasil secara keseluruhan. Ada satu momen mereka saling tengok kiri dan tengok kanan setelah melihatnya sendiri. Mereka pun memberanikan diri untuk memperlihatkannya kepada orang lain. Tentu saja, anak-anak kemarin sore ini mempertontonkannya dengan was-was. Dikasih lihat kepada si ini, dikasih lihat kepada si itu. Segala kritik tajam dan menukik ditelan macam smash di pertandingan bulu tangkis yang sudah tak bisa dibendung. Semua masukan didengar.

Melihat kelesuan tak terkira di wajah mereka, orang-orang yang baru dikenal memberikan semangat dan membantu dengan caranya masing-masing. Dan, akhirnya, sekelompok anak muda tadi tidak patah semangat. Memang seringnya sisa-sisa energi justru mendobrak keputus-asaan. Mereka bersikeras ingin memberikan “warna” pada film pertamanya ini. Kalau semua hal memang selalu ada yang pertama, biarlah film ini menyuguhkan “warna” mereka sendiri demi pengalaman pertama. Layaknya pengalaman pertama; ada canggung yang diiringi gairah penasaran untuk mengeksplorasi. Kalaupun memang harus mengambil untungnya, di tengah keriuhan ini, mereka mendapatkan judul untuk film pertama mereka: Jangankan Suka, Ngerti Juga Enggak....

Sebut saja namanya Vicky Rosalina, Ana Rosdianahangka, Rio Tupay, Fifi Juliana Jelita, Dimas Wahyu T. melalui malam-malamnya tanpa tidur. Berbagai perangkat lunak dicoba-coba. Berbagai benda dimanfaatkan untuk mengisi bunyi-bunyian; sudah habis itu sepeda renta dan galon air minum dipukul-pukul pada jam kerja ronda keliling. Belum lagi “unknown error” yang terjadi. Bahkan, perangkat lunak dan keras canggih saja tidak bisa mendeteksi eror yang terjadi, apalagi kumpulan otak yang belum beristirahat? Itu pun masih ditanggapi dengan canda, “aja-aja ada” ala mereka. Belum selesai, masih ada penantian render berjam-jam yang buat perut mulas tak keruan.

Bagaimana pun juga, pengalaman pertama selalu meninggalkan jejak yang sulit untuk dilupakan, seperti cinta pertama atau jatuh hati pada pandangan pertama. Masih ingat segala pertama Anda?

Ini Bukan Reka Ulang
Kurang-lebih beginilah cerita filmnya. Seorang seniman pemula bernama Yogi turut serta dalam pameran. Karyanya menjadi pergulatan tersendiri di antara seniman lain, publik, media, anggota Dewan Kesenian, dan pemerintah. Elit ribut, yang lain kalang kabut. Berangkat dari pemantik itu, ada wacana-wacana yang disentil, semacam kebebasan berekspresi, dukungan terhadap seniman maupun kesenian, respons dari media juga pemerintah, dan posisi yang tidak ajek dari Dewan Kesenian sendiri. Ada juga selipan komedi atas misinterpretasi sebuah karya dan juga penggunaan kata-kata susah yang digunakan semaunya.

Di dalam publikasi atas peluncuran film ini, disebutkan pula bahwa, “Kebebasan berekspresi seniman ternyata tidak selamanya utuh. Kesepakatan atas kebebasan berekspresi itu yang akhirnya menjadi penting. Namun, mungkin sepakat saja tidak cukup. Karena ketika sebuah karya seni dipresentasikan kepada publik atau di ruang terbuka di tengah masyarakat, ruang itu bukanlah ruang anonim yang tidak bertuan. Lantas, apalah arti sebuah karya seni ketika ditempatkan di tengah pemirsa yang tidak memiliki pemahaman dan gagasan yang sama?”

Jadi, inilah dia pengalaman mereka yang baru pertama kali. Jangankan Suka, Ngerti Juga Enggak... Apa harapan Anda? Pemikiran-pemikiran besar dari tokoh-tokoh seni dan berbudaya? Situasi mencekam selama rapat demi menciptakan ruang mencipta yang bebas? Yah, berharap boleh saja. Atau, Anda terlalu serius, kurang komedi. Hidup Anda bisa jadi sudah terjadwal dan tersusun rapi tanpa mau dibolak-balik oleh kehidupan. Makanya, untuk urusan begini, Anda sudah mau misuh-misuh. Bukankah kehidupan katanya sering memberikan ketiba-tibaan?

Film ini merupakan usaha pembacaan ulang atas arsip berupa notulen-notulen. Segala yang personal menjadi sorotan. Dan, seperti yang terjadi belakangan, kehidupan personal orang-orang besar menjadi sorotan yang kadang justru dijadikan senjata menyerang. Padahal, tidak perlu sebesar dan sesohor itu, orang-orang yang dianggap biasa pun selalu mempunyai karakter serupa dalam setiap lingkungan. Begitulah.

Dengan memulai ide membuat film komedi, setidaknya proses pembuatan film ini sudah menjadi komedi tersendiri bagi para penggagasnya. Tragic comedy.


Komentar